Undang-Undang Migas Mengarah ke Mana?

A. Rinto Pudyantoro
Oleh A. Rinto Pudyantoro
25 Juni 2022, 08:00
A Rinto Pudyantoro
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Dosen Universitas Pertamina & Penulis Buku Bisnis Hulu Migas

Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Migas tidak masuk dalam Prolegnas, namun RUU Migas masih berpeluang untuk dibahas di DPR dan diselesaikan tahun ini. Karena, RUU Migas bukan rancangan baru. RUU Migas adalah undang-undang ‘revisi’ dengan tambahan dan penyesuaian yang mengikuti putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 36/PUU-X/201.

Putusan MK intinya ‘membubarkan’ BP Migas karena dinilai inkonstitusional. BP Migas, badan hukum milik negara yang mewakili pemerintah yang menjadi manajemen operasi pada kegiatan usaha hulu migas, secara kelembagaan dinyatakan tidak sejalan dengan UUD 1945. Dianggap tidak mungkin tata kelola dengan model BP Migas mengimplemntasikan Pasal 33 UUD 1945. Bahkan pembentukan BP Migas dianggap mendistorsi.

Advertisement

Sejalan dengan amar Putusan MK, institusi pengganti BP Migas dilaksanakan oleh pemerintah, c.q. kementerian terkait. Sehingga dibuat Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013, membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Lembaga ini bersifat sementara dan akan digantikan dengan institusi baru saat UU Migas baru disahkan.

Memang tidak terlalu ideal. Karena SKK Migas semestinya memiliki karakteristik bisnis. Namun karena statusnya sebagai bagian dari pemerintah, sehingga wajib mengikuti pola kerja, cara kerja, dan tradisi kepemerintah yang relatif sarat dengan ketentuan, aturan, dan pekerjaan adminstrasi.

Meskipun demikian, segala upaya dilakukan dengan mengatasnamakan profesionalisme. Layaknya perusahaan yang memiliki intensi bisnis, SKK Migas mengeliat dan beraksi seperti korporasi. Meskipun, tetap saja geraknya terbatas.

Sebagai contoh dalam penganggaran dan pelaksanaan kegiatannya, SKK Migas menggunakan APBN. SKK Migas harus tunduk dan mengikuti proses dan diatur APBN. Bandingkan saja dengan BUMN seperti PT. Pertamina yang relatif lincah, yang semestinya pekerjaan di lapangan juga dieksekusi lebih cepat.

Pilihan BUMN

Lembaga pengelola kegiatan usaha hulu migas ke depan tidak ada pilihan selain mengacu pada putusan MK. Pertimbangan hakim poin 3.12 menyatakan bahwa: “sepanjang negara memiliki kemampuan modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung maka bisa dipastikan seluruh hasil dan keuntungan bisnis menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat.”

Lalu ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan langsung adalah pengelolaan oleh negara melalui badan usaha milik negara (BUMN).

Pertimbangan hakim ini memberikan garis batas pilihan. SKK Migas yang bersifat sementara harus dipermanenkan dan hendaknya dalam undang-undang migas nantinya dinyatakan dengan tegas bahwa bentuknya adalah BUMN.

Pertanyannya, BUMN yang bagaimana? Sedikitnya kemungkinannya ada tiga: (1) DPR dan pemerintah membuat BUMN Khusus Migas. (2) DPR dan pemerintah tidak perlu membuat BUMN baru, cukup menggabungkan SKK Migas dengan BUMN yang sudah ada, yaitu PT. Pertamina. (3) Fungsi dan kewenangan mengelola WK Migas dibagi: sebagian dilakukan Pertamina dengan memanfaatkan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan sebagian dilakukan BUMN baru.

Pilihan pertama, yaitu membentuk BUMN Khusus Migas nampaknya peralihan dari SKK Migas ke lembaga baru relatif mudah, relatif lebih smooth. Seolah SKK Migas hanya ‘ganti baju’.

Fungsi, tugas dan kewenangan sama, pindah dari SKK Migas ke BUMN Khusus Migas. Hanya ada tambahan kewajiban mengelola petroleum fund. Yaitu dana yang disisihkan dari penerimaan negara migas, pada prosentase tertentu, yang nantinya menjadi ‘modal’ bagi badan usaha berbisnis layaknya perusahaan minyak.

Pembentukan BUMN khusus migas relatif dapat menjamin keberlangsungan kegiatan hulu migas dengan tetap berpegang pada Renstra IOG 4.0 yang digagas SKK Migas dan menjadi strategi pemerintah. Ada kesinambungan kegiatan untuk mencapai long term plan satu juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) tahun 2030.

Pilihan kedua, yaitu menggabungkan peran pengelola, pengendali, dan pengawas WK migas ke Pertamina. Sejatinya, tata kelola hulu migas Indonesia kembali ke Undang-Undang Nomor 8/1970.

Sebagian pengamat yang mendukung pada pilihan ini berpendapat bahwa situasi dahulu dan sekarang berbeda. Terutama berkaitan dengan unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada ‘jaman’ itu memang Pertamina seolah terperangkap pada ‘permainan’ politik. Artinya bukan model tata kelola yang menciptakan KKN. Tetapi KKN memang sudah ada dan merasuk lebih mudah dengan model tata kelola hulu migas saat itu.

Atau dengan kata lain, pada waktu itu boleh dibilang tidak ada institusi pemerintah terkontaminasi KKN. Jadi, bukan malah model tata kelolanya. Berkaca pada Petronas, yang menggunakan pola yang sama, toh tetap berjaya dan semakin jaya.

Sementara sebagian yang tidak setuju mengkawatirkan bahwa kewenangan yang berlebihan masih tetap berpotensi memicu KKN. Stigma KKN di zaman itu seolah sulit dihilangkan.

Halaman:
A. Rinto Pudyantoro
A. Rinto Pudyantoro
Dosen Ekonomi Energi Universitas Pertamina dan Penulis Buku Bisnis Migas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement