Lanskap Industri Perbankan setelah Dihantam Berbagai Krisis

Gabriel Wahyu Titiyoga
15 Juli 2022, 07:30
Lanskap Industri Perbankan setelah Dihantam Berbagai Krisis
Katadata

Dyota Marsudi mengaku beruntung sistem dan rencana bisnis Bank Aladin tengah dibangun ketika pandemi Covid-19 memicu krisis ekonomi pada 2020-2021. Presiden Direktur PT Bank Aladin Syariah Tbk. itu mengatakan pagebluk memicu perombakan besar dalam rencana bisnis perusahaannya menjadi bank digital syariah. “Kami bangun lagi dari awal pada 2021, ganti core banking system dan membuat aplikasinya,” kata Dyota.

Ketika bank-bank lain berjibaku untuk mempertahankan bisnisnya, tim Bank Aladin bergerak mencari investor dan mitra dalam mengembangkan bank digital syariah. Aplikasi digital Bank Aladin pun meluncur pada Januari lalu. “Sekarang kami sudah memiliki hampir 700 ribu nasabah,” ujar Dyota dalam perbincangan dengan Katadata.co.id pada Kamis (7/7).

Bank digital itu bahkan mendapatkan peluang menambah nasabah baru setelah berkolaborasi dengan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. yang mengelola lebih dari 17.000 toko Alfamart. Jaringan minimarket ini melayani lebih dari 4 juta pelanggan setiap hari. “Nasabah bisa melakukan berbagai transaksi, termasuk tarik dan setor tunai di Alfamart,” kata Dyota.

Bank Aladin menjadi salah satu bank digital yang lahir di kala pandemi. Bank ini merupakan hasil transformasi Bank Net Indonesia Syariah Tbk. yang beroperasi sebagai bank umum syariah devisa sejak 2019. Sebelumnya, perusahaan ini dikenal dengan nama Maybank Nusa Internasional yang didirikan 28 tahun lalu.

Pandemi mendorong transformasi digital perbankan berlangsung lebih cepat. Pasalnya, masyarakat cenderung menggunakan layanan keuangan digital ketika mobilitas publik dibatasi demi menekan laju penularan virus. Bank Aladin pun melihatnya sebagai peluang besar. “Masyarakat butuh yang simpel,” ujar Dyota. “Kami memilih menjadi bank digital syariah karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.”

Sejak PT Bank BTPN Tbk. memperkenalkan aplikasi bank digital Jenius pada 2016, platform bank digital memang berkembang pesat. Menariknya, banyak bank digital baru yang muncul selama pandemi Covid-19. Fenomena pertumbuhan bank digital ini membawa dampak besar pada lanskap industri perbankan Indonesia.

Wakil Direktur Utama Bank BTPN, Darmadi Sutanto, mengatakan layanan perbankan digital berperan sangat penting membantu masyarakat di tengah keterbatasan mobilitas selama pandemi. Mempermudah proses membuka rekening, menabung, mengelola, dan melakukan transaksi keuangan menjadi kunci perkembangan bank digital.

Menurut Darmadi, kehadiran bank digital menarik bagi masyarakat digital savvy yang tak ingin lagi berurusan dengan birokrasi dan kurangnya fleksibilitas bank tradisional. Mereka membutuhkan layanan yang relevan. “Ini yang ditawarkan perbankan digital, yaitu kecepatan, layanan yang nyaman dan relevan, serta kemudahan,” kata Darmadi Jumat (1/7).

Jerat Ekonomi Wabah Global

Sejak merebak pada Maret 2020, pandemi Covid-19 langsung mengguncang dunia. Aktivitas publik berubah total ketika pemerintah di banyak negara menutup perbatasan, sentra bisnis, sekolah, dan menerapkan karantina untuk membatasi penularan penyakit akibat virus corona itu.

Pasar saham dunia berantakan. Perekonomian global ikut terguncang dan memicu rangkaian krisis keuangan serius di berbagai negara.

Krisis ekonomi menyusul hingga terjebak dalam jurang resesi. Guncangan ekonomi akibat Covid-19 bahkan tiga kali lebih buruk dari krisis finansial yang mengguncang dunia pada 2008. “Dilihat dari merosotnya Produk Domestik Bruto tahunan. Eropa dan negara-negara berkembang yang paling terpukul,” kata ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh, seperti dilaporkan laman World Economic Forum.

Perekonomian Indonesia pun ikut terpukul. Pada kuartal kedua 2020, Badan Pusat Statistik menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok hingga -5,23%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kumulatif sepanjang 2020 pun merosot mencapai -2,07%. Ini adalah kondisi perekonomian terburuk di Indonesia sejak dihantam krisis moneter pada 1998.

Krisis yang mendera Indonesia di akhir era Orde Baru itu menjadi masa kelam bagi perbankan Indonesia. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga keuangan ini anjlok. Nasabah ramai-ramai menarik dana simpanan mereka. Bank-bank kesulitan likuiditas parah. Ekonomi kian kolaps ketika banyak perusahaan bangkrut dan inflasi terus meroket.

Depresiasi rupiah kala itu mencapai 197% dan membuat industri perbankan yang sudah terpuruk makin kalang-kabut. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan jeblok sampai -13%. Dana Moneter Internasional (IMF) sampai merekomendasikan 16 bank di Indonesia harus ditutup. Pada 1999, bahkan ada 38 bank yang dilikuidasi. Kemudian dalam periode 2004-2005, tiga bank menyusul ditutup.

Krisis moneter 1998 menjadi pelajaran berharga untuk memperbaiki dunia perbankan. Pengamat perbankan, Paul Sutaryono, mengatakan kini modal perbankan semakin kokoh. Pada awal pandemi Covid-19, modal perbankan nasional sempat menipis dan baru menguat kembali saat ini.

Meski demikian, permintaan kredit belum sepenuhnya pulih. “Tetapi jumlah restrukturisasi kredit makin menurun, artinya banyak debitur mulai bergairah lagi untuk berbisnis” kata Paul, Rabu (22/6).

Skema dan bantuan dana dari Program Pemulihan Ekonomi (PEN) yang diberikan pemerintah juga memperkuat posisi perbankan ketika perekonomian terpuruk selama pandemi. “Dengan bantuan dana PEN, makin lama peran bank makin tinggi dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional,” tutur Paul.

Meredam gejolak perekonomian akibat dampak pandemi, pemerintah merilis kebijakan ekonomi untuk menjaga tiga sektor penting yaitu kesehatan, riil, dan perbankan. Dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara 2020, pemerintah menggelontorkan dana penanganan Covid-19 sebesar Rp 695,2 triliun.

Dana jumbo itu dibagi antara lain untuk anggaran kesehatan Rp 87,5 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, dan insentif usaha Rp 120,6 triliun. Ada juga dana bantuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Rp 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun, hingga sektoral kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah sebanyak Rp 106,11 triliun.

Ada pun pagu anggaran penanganan Covid-19 pada 2021 mencapai Rp 744,7 triliun. Dalam tiga tahun terakhir, dana yang dikeluarkan untuk program penanganan Covid-19 mencapai Rp 1.895,5 triliun.

Mendongkrak Modal, Menarik Nasabah

Masalah yang muncul di sektor riil akibat pandemi Covid-19 merembet ke perbankan. Pasalnya, bank adalah lembaga intermediasi yang menjadi andalan dunia usaha memenuhi kebutuhan dana untuk roda bisnis mereka. “Di awal pandemi, pertumbuhan kredit melambat bahkan sampai minus, sekarang sudah mulai membaik,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama , Intan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Video Pilihan
Loading...

Artikel Terkait