Perjalanan B20 Indonesia, Tidak Mudah Mendapatkan Kesepakatan

Redaksi
Oleh Redaksi
10 November 2022, 18:17
Shinta Widjaja Kamdani
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Ketua Penyelenggara B20 – Presidensi G20 Indonesia

Sejak awal tahun, Shinta Widjaja Kamdani makin sibuk berkeliling daerah, juga ke luar negeri. Sebagian besar lawatannya merupakan rangkaian maraton 130 pertemuan forum The Business 20 atau B20. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri ini memang didaulat menduduki Chair of B20 Indonesia.

Sebagai CEO Sintesa Group yang mengendalikan 17 perusahaan, Shinta memahami seluk-beluk dunia bisnis dan konstelasi di negara-negara yang tergabung dalam kelompok 20 atau G20. Dalam Presidensi G20 Indonesia kali ini, banyak kepentingan yang mesti dinegosiasikan untuk mencapai konsensus.

Menurut dia, ini pertama kali Indonesia sebagai negara berkembang menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi tersebut. Di sini, Indonesia pun mengedepankan agenda-agenda yang berhubungan dengan negara berkembang. “Karena selama ini lebih banyak di-drive oleh negara maju,” kata Shinta dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id pekan lalu.

Adanya gap antara negara maju dan berkembang tersebut memicu tak terhindarkannya perdebatan yang sengit untuk mencapi konsensus. Kepentingan pelaku usaha di negara maju kadang tidak sejalan dengan negara berkembang.

Presidensi Indonesia juga diwarnai situsai dunia yang baru mau pulih dari pandemi Covid-19, lalu menjadi makin keruh dengan perang antara Rusia dan Ukraina. “Ini menjadikan lebih hot. Karena semua perhatian ke sana,” ujar Shinta. “Karena itu kami mengingatkan bahwa ini adalah urusan ekonomi, tidak mengaitkan dengan geopolitik.”

Hampir satu jam Shinta bercerita bagaimana proses yang berjalan di B20. Tidak semua normal-normal saja. Namun begitu, dia merasa 80 persen dari pekerjaan B20 sudah tuntas dan cukup membanggakan karena dari konsensus sudah bisa menghasilkan komunike.

Sebentar lagi B20 Summit segera diselenggarakan. Hingga kini, sudah sejauh apa persiapannya?

Presidensi Indonesia di G20 maupun kami di B20 sudah mulai dari awal tahun ini. Kalau G20 itu pemerintah, B20 merupakan acara bisnis di G20. Semua pelaku usaha global ada di dalam B20, sampai 6,5 juta pebisnis. Dan itu masuk ke dalam hampir 80 persen dari PDB dunia.

Di B20 ada enam taskforce dan satu action consul, dari digitalisasi; energy, sustainability and climate; finance and infrastructure; trade and investment; future of work and education; dan integrity and complience. Lalu ada Woman in Business Action Council.

Dari B20, kami mesti memberikan masukan kebijakan kepada pemerintah, dari pertemuan-pertemuan semenjak Januari 2022. Dalam komunitas B20 Indonesia ada lebih dari 1.200 pelaku bisnis yang sudah mengikuti prosesnya dari awal.

Yang membuat Presidensi Indonesia berbeda yakni enggak mau mengikuti standar proses yang biasa saja. Dari sisi outcome, Presiden Jokowi ingin melihat ada outcome yang konkrit dan actionable, tidak hanya policy tapi legacy Indonesia.

Kemudian keterlibatan dari banyak pihak. Biasanya, di B20 dan G20 semenjak 2010 itu cuma segelintir pebisnis yang terus mengikuti. Kali ini, Presiden ingin melibatkan banyak kalangan. Jadi spirit B20 disebarkan ke seluruh masyarakat.

Untuk itu, kami melakukan banyak aktivitas. Puncak acara benar di Bali, tapi sebelumnya hampir ada 130 acara side events di banyak daerah di Indonesia dan luar negeri saat mengadakan roadshow dan dialog publik. Kalau maraton, ini sudah hampir selesai komunikenya. Konsensus sudah mencapai hasil di policy, tinggal tahap terakhir di acara besarnya.

Dalam gebrakan yang tidak biasa tadi, yang tidak sebatas berhenti pada rekomendasi kebijakan, apa sudah sampai pada tahap detail program atau proyek yang hendak disepakati dalam summit nanti?

Pertama-tama, B20 ini memang berbeda dalam cara proses penunjukan maupun integrasi di G20 kepada B20. Biasanya, di negara lain itu mereka jalan sendiri-sendiri. Di Presidensi Indonesia ini, kami sudah libatkan dari awal. Saat Indonesia ditunjuk jadi Presidensi G20, proses konsultasinya sudah jalan.

Fokus pemerintah di tiga hal: arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi. Dari ketiga hal tersebut, kami di B20 bawa semua isunya dari awal, fokus di tiga hal tersebut. Hanya di tema yang membedakan.

Tema pemerintah “Recover Together, Recover Stronger”. Sementara tema B20 itu advancing, innovative, inclusive, and collaborative growth. Jadi ketiga fokus pemerintah dimasukan ke dalam tema ini. Kami lalu mengeluarkan legacy-legacy program, tidak hanya policy.

Apa saja legasi yang sudah dihasilkan?

Ada empat legasi utama. Pertama carbon center of excelence untuk pengembangan carbon market yang menjadi isu dunia. Peluang Indonesia banyak sekali. Carbon center ini sudah didukung B20 dari banyak pelaku usaha. Nanti yang menjadi anchore-nya Kadin dan Bloomberg. Sebagai organisasi internasional, nanti platformnya ada di Bloomberg.

Kedua, program yang kami beri nama Wiki. Program ini dimulai di Kadin untuk membawa UMKM naik kelas. Di dalamnya ada inclusive close loop system, di mana ada kemitraan antara pengusaha besar dan kecil, supaya pengusaha kecil ini masuk dalam suply chain pengusaha besar.  

Di dalam Wiki itu ada Wiki Learn, Wiki Do, Wiki Scale. Ini sangat spesifik terutama untuk Wiki Learn ini untuk pengetahuan UMKM, Wiki Do untuk membuka akses ke pasar global, Wiki Scale lebih ke business matching dengan pengusaha-pengusaha dari berbagai negara. Dalam konsep ini, kami memulai mitra utama kami dari Jetro, Jepang. Tapi sudah banyak perusahaan, sekitar 40, yang masuk ke dalam inclusive close loop system ini.

Ketiga ada One Global Women Empowerment, ini pengembangan UMKM perempuan. Di dalamnya kami akselerasi digitalisasi UMKM, lalu peningkatan kapasitas, serta sumber daya dan pendanaanya. Pembiayaan ini sesuatu tantangan yang besar, karena itu kami menyiapkan women fund. Keempat, terkait dengan aspek regulasi.

Di OGWE, partner kami adalah International Organization of Employers. Kami akan membawa lebih banyak lagi perusahaan untuk masuk dalam platform ini. Jadi perushaan besar di-match dengan organisasi-organisasi yang memobilisasi UMKM untuk membantu dalam program kerja. Sebetulnya banyak yang sudah melakukan, tapi kebanyakan sendiri-sendiri. Kami menghubungkan itu.

Ini adalah beberapa contoh. Sebelum masuk ke summit saja ini udah mulai jalan. Jadi pada saat kami sampaikan di G20 juga ada legacy program, bukan hanya rekomendasi kebijakan dari B20. Di luar itu, kami juga punya banyak porject, termasuk investasi di negara-negara G20.

Anne Hathaway B20
Anne Hathaway B20 (Instagram B20 Indonesia 2022)

Jadi, tiga isu prioritas pemerintah di G20 dari arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi diwujudkan dalam empat legasi tadi?

Iya. Tapi di luar itu kami di B20 juga ada 25 policy regulation, 69 policy action. Biasanya kan cuma itu. Nah di Presidensi Indonesia ini ada tambahan yaitu legasi.

Dalam hal transisi energi, pemerintah meminta B20 ikut mensukseskannya. Dalam hal apa dukungan ini akan diterjemahkan?

Dari hasil policy yang keluar, kami sudah membicarakan soal carbon market. Karen itu kami tidak hanya keluar pada kebijakan dan diskusi, tapi kami ada outcome konkritnya.

Selama maraton pertemuaan yang digelar B20, apa ada isu krusial dalam hal transisi energi, seperti terkait harga karbon?

Setiap negara punya regulasi masing-masing. Misalnya terkait carbon market, ini sesuatu yang masih banyak perdebatan dan pembahasan. Tapi prinsipnya, kami bukan regulator, kami adalah pelaku. Kami meminta kebijakan-kebijakan yang bisa mendapatkan kesempatan menjadikan carbon credit ini juga punya bisnis.

Apalagi Indonesia punya banyak kesempatan untuk melakukan transaksi dari segi karbon. Jadi, bagaimana caranya pelaku usaha mengambil kesempatan juga sekaligus untuk menurunkan emisi. Target pemerintah ini kan juga harus dikerjakan oleh pelaku usaha.

Lalu, pembahasannya, regulasi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah tidak bisa distandardisasi semua. Tapi ada masukan dari pelaku, “ini yang kami butuhkan agar kebijakan itu bisa berjalan”. Karena kita tidak bisa melihat dari satu kepentingan saja.

Seperti apa posisi B20 saat Indonesia menjadi Presidensi G20?

B20 Indonesia ini juga menyangkut gap. Ini pertama kali Indonesia sebagai negara berkembang menjadi tuan rumah. Untuk itu Indonesia juga mengedepankan agenda-agenda yang berhubungan dengan negara berkembang, karena selama ini lebih banyak di-drive oleh negara maju. Karena itulah, isu UMKM yang di presidensi sebelumnya tidak begitu diperhatikan sekarang kami kedepankan.

Dengan adanya gap ini, untuk mencapi konsensus ada konflik-konfliknya. Sebab, interest pelaku usaha di negara maju dan di negara berkembang belum tentu sama. Begitu mencapai konsesus, ini sesuatu yang luar biasa.

Untuk para UMKM ini, platform apa yang sedang dikembamgkan? Dan bagaimana memetakan UMKM tersebut untuk terlibat sehingga mereka bisa naik ke level global?

Di Kadin ada program Wiki yang sudah berjalan. Kami baru launching juga yang dihadiri Bapak Presiden “Inclusive Loop Ecosystem” untuk membawa perusahaan besar bermitra dengan UMKM. Kita selama ini selalu mengatakan bahwa UMKM untuk go global. Tapi kami menyadari pentingnya menyiapkan UMKM itu sendiri, dari segi produksi, pembiayaan, jaringan akses marketnya.

Di sinilah peran kami untuk bisa menggandeng mereka melalui platform-platform agar masuk ke jaringan perusahaan besar. Kuncinya, untuk naik kelas UMKM harus difasilitasi, tidak bisa sendiri. Ini juga platform digital sangat penting karena orang jualan harus ada medsos-nya, dan kami akan siapkan platform digitalnya.

Sudah berapa korporasi yang berkomitmen untuk bergabung dalam platform ini?

Termasuk yang ekosistem, saat ini ad sekitat 40 perusahaan besar. Dari sisi produk, mereka itu dari bermacam perusahaan. Dalam ekosistem itu ada dari e-commerce, pembiayaan, pelaku usaha besar yang punya produksi sendiri juga ada. Kami membagikan kuenya lalu mereka bisa masuk ke ekosistem ini.

Mengenai transisi energi, ada isu bantuan dana US$ 100 miliar dari negara maju yang jadi pembicaraan lama. Apakah itu juga menjadi pembahasan yang serius di B20?

Pembiayaan transisi energi jelas masuk topik pembahasan prioritas. Pembiayaan itu ada yang dari pemerintah dan dari swasta. Model pembiayaannya balnde finance yang kami kedepankan di energy transsition mechanism (ETM). Yang menarik di B20 kali ini, itu memang topik yang hangat. Negara maju kan mau kita mencapai transi ini, tapi ya bantu dong pembiayaannya.

Kalo pelaku kan bukan pemerintah, jadi kami tidak bisa mengatakan harus seperti ini. Tapi kami mengingatkan bahwa negara maju menjanjikan untuk membantu dari segi pembiayaan.

Menariknya, INA - The Indonesia Investment Authority- yang kebetulan chairman-nya mengepalai investasi dan infrastruktur, membahas blanded finance, misalnya, untuk mempercepat pensiun pembangkit listrik IPP yang berbahan batu bara. Kami menyiapkan fund yang bisa dimanfaatkan untuk mempensiunkan itu menuju renewable.

Dalam transisi energi perlu kesimbangan. Kita bukan hanya memikirkan soal pembiayaan, tapi juga harus berkeadilan. Transisi ini akan mempengaruhi masyarakat, misalnya apakah lebih mahal, atau lebih tinggi biayanya bagi masyarakat. Juga, apa akan mempengaruhi jenis pekerjaan.

Pekerjaan dari jenis renewable memang akan besar, tapi di sisi lainnya akan banyak kehilangan pekerjaan. Semua harus diperhitungkan menjadi topik yang dikedepankan.

B20 Indonesia Chair Shinta Kamdani
B20 Indonesia Chair Shinta Kamdani (B20Indonesia.org)

Apa di skema blended financing tadi bisa memasukkan bantuan dari negara-negara maju dalam transisi energi tadi?

Masuk tapi melalui pelaku usahanya, tidak langsung dari negara. Blended financing itu misalnya masuk melalui BUMN, development fund. Kebetulan di B20 ini lebih di pelakunya, bukan langsung dari uang negara. Ada kaitannya kalau dia BUMN, tapi tidak langsung. Blended financing juga bisa dari filantropi, dari berbagai perusahaan.

Dan program-program tersebut sudah satu jalur dengan dunia usaha?

Kami mau mencari solusi, mana model yang jalan dan bisa menjadi contoh. Kami tidak berhenti pada mencari policy. Nanti di lihat di berbagai negara, model mana yang berjalan, mana yang bisa diadopsi.

Dan sejauh ini, apa suara di B20 sudah kuorom dalam menyepakati berbagai hal tersebut?

Sudah. Saya meras 80 persen dari pekerjaan kami sudah tuntas. Yang paling penting, konsensus itu sudah bisa menghasilkan komunike. Tidak mudah mendapatkan satu kesepakatan ini.

Paling tidak nanti di summit, secara formalitas sudah bisa kami sampaikan. Dalam proses itu kami juga sudah melakukan advokasi dari berbagai stakeholder, di dalam dan luar negeri maupun ke pemerintah. Summit ini ajang puncak untuk kami menyampaikan masukan-masukan tadi.

Tadi disebutkan tidak mudah mendapatkan satu kesepakatan ini. Apa saja isu alot yang diperdebatkan?

Jelas itu ada. Tapi saya tidak bisa sharing persisnya seperti apa prosesnya. Untuk mencapai konsensus itu ada konflik-konfliknya. Kita thau negara-negara mana yang membawa pelaku usahanya untuk comeout dengan konsensus isu itu. Ada negara-negara yang sangat sensitif terhadap hal-hal tertentu. Tapi saya tidak bisa buka.

Yang pasti ada perdebatan itu, tidak semuanya normal. Dengan adanya perang Ukraina-Rusia ini menjadikan lebih hot lagi. Karena semua perhatian ke sana, bagaimana dampaknya. Tapi kami di B20 kan bisnis ya, bukan politik. Dan G20 ini sebenarnya juga forum ekonomi, bukan forum politik. Karena itu kami mengingatkan bahwa ini adalah urusan ekonomi, tidak mengaitkan dengan geopolitik.

Apa delegasi Ukraina dan Rusia akan datang di KTT G20, atau delegasi di B20 Summit?

Sampai saat ini kami melihat belum melihat signifikan number yang datang. Dari Ukraina ada beberapa pengusaha. Tapi keterlibatan mereka mungkin tidak seperti biasanya. Juga Rusia yang bisanya sangat aktif, ini tidak terlalu kelihatan. Mereka juga membatasi keterlibatan mereka karena mungkin merasa kurang nyaman.

Dari rangkaian kegiatan tadi, dari hulu sampai rencana implementasinya di B20, sebesar apa dampaknya bagi Indonesia?

Dari awal banyak yang menayakan, apa manfaat sebenarnya bagi Indonesia dengan presidensi ini? Yang pasti, kita sebagai tuan rumah, semua proses formalnya harus kita jalankan. Lalu apa yang kita butuhkan? Dengan presidensi ini menempatkan Indonesia di peta dunia. Masih banyak masyarakat dunia yang tidak tahu Indonesia di mana. Jadi kita mempromosikan Indonesia.

Tapi yang utama, jelas kita mau menarik investasi. Karena itu, dalam setiap kunjungan roadshow, kami bekerja sama dengan Kementerian Investasi dengan mengkurasi proyek-proyek yang ramah investasi. Ini kesempatan membawa Indonesia di dalam perhatian dunia.

Kedua, dengan Indonesia menjadi tuan rumah juga kesempatan untuk membuka peluang, membuat jaringan dengan pelaku usaha di banyak negara. Ini penting.

Nah yang jelas terlihat, ajang atau aktivitasnya saja yang berlangsunng hingga saat ini tentu berdampak langsung pada ekonomi Indonesia. Banyak pelaku usaha mendapat manfaat dalam keterlibatan mereka di acara ini. Atau ada pembelian produk. Belum acara puncaknya saja sudah banyak sekali yang datang. Ada belanja, makan, banyak yang langsung berdampak.

Setelah Presidensi Indonesia, apa sudah ada pembicaraan terkait isu-isu yang akan belanjut pada presidensi berikutnya, ketika di tangan India, terutama untuk isu-isu di B20?

Kami baru dua pekan lalu kunjungan ke India. Kami bertemu dengan organizer-nya di sana. Mereka baru menunjuk Chair B20 India dari perusahaan Tata. Dan jelas, keberlanjutan b20 itu sangat penting. Waktu menerima dari Itali kami juga seperti itu.

Kami sudah berdiskusi dengan mereka, terutama agar legasi-legasi yang ada terus berlanjut. Ini yang kami pastikan bahwa mereka akan melanjutkan apa yang sudah dilakukan di Indonesia.

Reporter: Nadya Zahira

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...