Presidensi G20 Indonesia Tidak Sekadar Ngobrol, Ada Aksinya
Hari ini Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara G20 di Bali mencapai puncaknya, setelah dibuka oleh Presiden Joko Widodo, Selasa kemarin. Dalam sepekan ini, berbagai summit telah digelar mendahului KTT G20 di Pulau Dewata tersebut, seperti pertemuan forum bisnis 20 atau B20.
Jauh sebelum itu, sejak awal tahun ini, berbagai pertemuan telah digelar di sejumlah daerah dan beberapa di luar negeri. Ada dua jalur pembahasan: keuangan dan sherpa. Sherpa diambil dari bahasa Nepal, istilah untuk pemandu yang menggambarkan para sherpa G20 membuka jalan menuju KTT.
Bagi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid, hasil pertemuan maraton yang sudah dilaksanakan itu membuahkan hasil cukup baik. Capaian tersebut yang ia klaim membedakan KTT G20 kali ini dengan penyelenggaraan Presidensi G20 sebelumnya.
“Pak Presiden mengatakan pada kami, ini bagaimana, ngomong, ngobrol saja mengenai kebijakan. Aksinya mana?” kata Arsjad Rasjid dalam wawancara khusus dengan Pemimpin Redaksi Katadata.co.id, Yura Syahrul, di sela-sela perhelatan G20 di Bali. Karena itu, dia melanjutkan, “Kami create namanya legacy, aksi yang bisa berlanjut. Kita ingin ada proses yang continuous dan sustainable.”
Menurut Arjsad, untuk merelisasikan konsensus menjadi aksi konkrit maka dibentuklah sejumlah proyek bersama. Misalnya, dalam sisi transisi energi dibuat proyek pembangkit listrik tenaga surya.
“Tapi bukan hanya tenaga surya yang nanti masuk ke green electricity. Yang untuk kampung-kampung, kami lakukan supaya membuka peluang juga investor masuk ke sana,” ujarnya. “Harapannya, kita membawa suara negara berkembang pada dunia.”
Berikut ini wawancara lengkap Katadata.co.id dengan Arsjad Rasjid.
Bagi Indonesia, seberapa penting G20 dilihat dari kacamata sektor usaha? Bagaimana pandangan Anda sebagai Ketua Kadin?
Ini penting untuk Indonesia karena kita merupakan negara pertama dari negara berkembang yang menjadi Presidensi G20. G20 dan B20 ini selaras antara pemerintah dan bisnis. Kita bilang sekarang ini Indonesia Incorporated.
Di sisi agenda sudah jelas, ada tiga yang utama: kesehatan, transisi energi, dan transformasi digital. Namun yang paling penting adalah agenda ini mau kita dorong dengan fondasi yang paling penting, yaitu SMEs atau UMKM.
Selama ini UMKM sudah didiskusikan di G20 dan B20, namun tidak menjadi topik utama sebagai fondasi. Dengan demikian, ini yang mau kita bawa di G20 dan B20. Nah selain daripada itu, G20 dan B20 kali ini cukup berbeda dengan dahulu-dahulu.
Apa yang membedakan?
Satu, Pak Presiden mengatakan pada kami, “Ini bagimana, ngomong, ngobrol saja mengenai kebijakan. Aksinya mana?” Dengan demikian kami create namanya legacy, aksi yang bisa berlanjut. Biasanya di G20, B20, agenda yang dibicarakan pada saat presidensi itu nanti diubah lagi di presidensi selanjutnya. Kita ingin ada proses yang continuous dan sustainable.
Jadi ada aksi warisannya. Contoh dari tiga agenda tadi, pertama healthcare. Kami diskusikan One Shot. Kami dari Kadin Indonesia bekerja sama dengan Tony Blair Institute akan menjadi house untuk membicarakan vaksin, mengenai kesehatan. Untuk negara maju mudah vaksinnya: ada capital-nya, ada teknologinya.
Bagaimana dunia berkembang, negara-negara miskin? Indonesia alhamdulillah, presiden kita, pemerintah kita cepat, jadi dapat. Tapi belum tentu negara lain begitu. Makanya we start One Shot itu bukan hanya untuk Covid-19 tapi juga yang lainnya, tuberkulosis, dll.
Kami juga bicara mengenai legacy di transisi energi. Kami bersama Bloomberg bersama-sama melakukan Carbon Center of Excellence. Kami perlihatkan The Carbon Center of Excellence pada waktu G20 di mana carbon footprint kita besar. Kami tidak ingin menjadi followers, ingin menjadi leaders. Kami sudah melakukan banyak untuk memastikan komitmen pada 2060 net zero emission.
Bagaiamana dengan aspek lainnya di luar itu?
Dari konteks digital transformacy, kami ambil dua legacy. Satu untuk SME dengan nama Wiki. Ini sepeerti di Indonesia kami sudah buat untuk Kadin, Wiki Wirausaha atau Wiki Entrepreneurship. Agar UMKM bisa bertumbuh dan juga perusahaan besar bisa ada di sana, memberikan demand. Supply-nya bisa dari SME.
Kami bawa dari Indonesia, mulai antarprovinsi dan kabupaten, ke tingkat G20 dan B20. Supaya terjadi konektivitas antar-SME di negara G20. Kami sudah melakukan dengan Jepang. Kalau kami melakukan dengan India, kita konektivitas yang lain. Kami akan bawa ini juga ke ASEAN karena kita menjadi Chair ASEAN.
Satu lagi women empowerment. Indonesia penting memperlihatkan bahwa kita adalah bagian dari equality untuk women leaders. Ini juga menjadi legacy.
Ada yang sudah sampai pembahasan proyek untuk mengimplemtasikannya?
Kami meng-introduce project-project di Indonesia yang bisa scalable dunia. Contoh dalam kesehatan ada PeduliLindungi. Tapi bukan itunya, bagian kami melakukan gotong royong dalam prosesnya. Waktu PeduliLindungi, kami kerja sama dengan telemedicine dll untuk zaman Covid-19. Hal-hal ini sesuatu yang bisa scalable dan bisa mendunia.
Dari sisi transisi energi, kami sharing juga proyek. Contohnya pada solar, tapi bukan hanya tenaga surya yang masuk ke green electricity. Yang island itu, yang untuk kampung-kampung, kami lakukan supaya membuka peluang juga investor masuk ke sana.
Dalam konteks digital transformation, kami melihat upaya startup kita. Jadi, selain policy, ada legacy, ada projects-nya. Makanya saya katakan ini agak berbeda. Dilihat dari B20 sendiri, ini skala yang paling besar. Jadi Indonesia turut bangga dan kita dilihat oleh dunia. Harapannya kita membawa suara negara berkembang pada dunia.
Jadi tinggal menunggu implementasinya agar jangan hanya berhenti di pembahasan B20?
Itu kenapa kami membuat supaya ada proses continuation. Kami sudah bicara dengan India. India setuju untuk meneruskan.
India sebagai presidensi berikutnya?
Iya. Ini penting sekali, dan nanti setelah itu Brazil, lalu Afrika Selatan. Ini semua negara berkembang. Dan kelihatannya, isu dari negara berkembang akan terus, apa yang sudah dibuat akan dikembangkan, langsung aksi. Kalau nanti India akan menambah legacy-nya, monggo. Tapi ini berjalan, tidak diam.
Hal-hal lain yang juga krusial untuk dikedepankan?
Salah satu hal yang juga paling penting adalah mengenai mindset. Apa new mindset itu? Saya bilang ada 5P.
Pertama adalah peace, kedamaian; kedua prosperity, kesejahteraan; ketiga people, manusia; keempat planet, kelima partnership atau perjanjian. Lima ini penting untuk mindset yang harus berubah.
Kalau tidak ada kedamaian, bagaimana kita mau bicarakan economic development? Kedamaian itu core-nya, yang membuat konflik terjadi, adalah kesejahteraan. Semua manusia harus diberikan kesejahteraan. Di sisi inilah kerja sama antara negara kaya dan negara berkembang dan miskin untuk bersama-sama melakukan hal ini.
Yang ketiga adalah people atau manusia. Ini penting karena kita melakukan ini buat siapa? Buat rakyat, manusia. Di sini dipastikan bagaimana masalah pendidikan equitable. Jangan sampai ada satu negara lebih baik dari pendidikan dari negara lain. Untuk itu harus sharing, harus kerja sama. Jadi, bukan hanya berpikir ekonomi. Misal, vaksin harus sama-sama sharing technology supaya bisa didapat semua.
Keempat, kita juga bicara planet. Di dunia kita terpisah-pisah oleh perbatasan, tapi satu bumi. Kalau kita bicara bumi, kita bicara udara. Apa bisa kita dipisahkan oleh climate di antara satu negara dengan negara lain? Tidak bisa. Dalam konteks ini, revolusi industri pertama, kedua, dan sekarang keempat menghasilkan karbonisasi.
Dan sekarang bicara dekarbonisasi, nggak masalah. Negara berkembang seperti Indonesia siap. Kita sudah buat komitmen 2060, nah itu jangan didikte caranya. Karena karakteristik negara-negara berbeda-beda, dan caranya berbeda-beda. Yang harus dilakukan adalah negara berkembang harus bisa membantu masalah ini.
Padahal pembangunan melalui revolusi industri sudah lama dilakukan oleh negara maju ya?
Selama ini, mereka melakukan pembangunan dengan karbonisasi, sekarang kita dekarbonisasi dan biayanya enggak murah. Sharing dong technology-nya, bagaimana supaya technology-nya bisa lebih murah dan kita bisa melakukannya dengan lebih cepat lagi.
Kelima bicara partnership, ini penting sekali. Partnership atau perjanjian antara semua ini harus dilakukan dengan value. Kami bilang value Indonesia namanya gotong royong. Jadi, kalau bicara collaborate secara inclusive, tidak ada orang yang tertinggal. Itulah yang Indonesia lakukan. Kalau ada rakyat yang belum dapat listrik, bagimana affordability supaya bisa membayar listrik.
Nah dari itu semua, 5P ini bisa terjadi dengan satu fondasi lagi, nilai Indonesia, namanya Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity. Kita boleh mempunyai perbedaan tapi harus tetap bersatu. Inilah yang dibutuhkan dunia.
Dengan bermacam isu dan berbagai dinamakanya, apa respons negara-negara maju, seperti Amerika, Eropa, dan Cina?
Saya bangga sekali dan Insya Allah, Tuhan berkati semua. Komunike dari B20 akan keluar. Berarti, the business community negara-negara G20 ada satu kesepakatan. Semua setuju untuk bekerja sama. Title B20 itu sustainable growth dengan innovative growth dengan proses inclusiveness dan collaboration.
Ini value yang kami bawa pada semua dan semua setuju. Kami kan bicara ekonomi, kalau tidak ada stabilitas, bagaimana? Dan kami sebagai agent of change untuk kesejahteraan. Kalau ekonomi bagus, rakyat akan sejahtera.
Di sisi lain memang ada perubahan struktur dari supply chain dunia. Pasti ada perubahan dan Indonesia ingin jadi bagian dari itu. Contoh, ekosistem kendaraan listrik. Kami bisa jadi bagian dari supply chain dunia. Selain itu, dari konteks transisi energi, banyak diskusi dengan negara maju yang selama ini keras.
Untuk memenuhi agenda dekarbonisasi industri di sektor swasta di Indonesia, seperti apa perjalanannya?
Ini PR besar. Makanya, waktu kami melakukan komitmen 2060 net zero emission di COP26, pemerintah dan kami mewakili dunia usaha, Indonesia Incorporated. Kita beruntung memiliki presiden yang visioner tapi memiliki hati kepada rakyat.
Kami membikin Kadin Net Zero Hub. Kami menggelar forum Net Zero Hub kemarin di Bali, bagian dari B20. Untuk apa? Kami harus men-define peta menuju net zero. Karena apa? Setiap sektor punya tantangan yang berbeda, jadi harus dibuat yang roadmap.
Untuk yang besar, menengah, dan kecil itu juga berbeda, ada subsector-nya. Kadin Net Zero Hub ini untuk membuat awareness semua, terutama untuk UMKM. Habis itu membicarakan cara menghitungnya. Jangan dibuat complicated. Ini yang harus dilakukan Indonesia juga, harus menjadi pemimpin. Kami memastikan untuk mengajak perusahaan besar. “Ayo Anda bisa dulu, bisa dulu.”
Itulah yang bisa kami lakukan. Salah satu yang juga harus pikirkan dan menjadi strategi kita yakni mendorong apa yang Pak Jokowi katakan, melakukan elektrifikasi kendaran. Kalau agenda ini bisa kita usahakan secara besar, apa yang terjadi? Subsidi fuel atau minyak di Indonesia bakal turun. Yang kedua kita juga mengurangi emisi karbon.
Kalua leading, kita bisa membuat ekosistem, membuat supply chain. Jadi strategi-strategi seperti ini yang penting buat Indonesia selain harus men-define semuanya dan Kadin Indonesia melaksanakan itu, tidak sendiri, tapi juga gotong royong. Kami ajak asosiasi, dan inklusifnya kami ajak teman NGO, pekerja dan buruh karena kita bicara productivity, bukan hanya UMR tapi produktivitas.