Lima Elemen Mengatasi Disparitas Inklusi dan Literasi Keuangan

Bahtiar Rifai, Ph.D
Oleh Bahtiar Rifai, Ph.D
8 Maret 2023, 07:30
Bahtiar Rifai
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Bahtiar Rifai, Ph.D,Peneliti Ekonomi Pusat Riset Makro Ekonomi dan Finansial, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan tiga tahun memiliki banyak dampak negatif. Namun pandemi juga berperan signifikan dalam mengakselerasi transformasi digital di Indonesia.

Menurut Hootsuite Digital 2022 Local Country Headlines Report, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 204,7 juta orang pada 2022, atau 73,7% dari total populasi Tanah Air. Transformasi digital yang diproyeksi tumbuh semakin pesat akan berdampak positif pada pembentukan nilai ekonomi digital Indonesia. Google memproyeksinya dapat menembus US$ 146 miliar pada 2025, tertinggi di kawasan ASEAN. 

Advertisement

Cepatnya adopsi teknologi digital masyarakat juga terefleksi dari tingginya kecenderungan anak muda, terutama yang tinggal di kota-kota Pulau Jawa, untuk berinvestasi sejak dini. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan pada 2021, terdapat 1.067.728 investor individual di Jakarta dan 317.266 di Bandung.

Selain itu, peer-to-peer (P2P) lending menjadi produk keuangan yang diminati di enam provinsi di Pulau Jawa (81,63%) dengan total nilai pinjaman Rp 70,88 triliun.

Disparitas Inklusi dan Literasi 

Meningkatnya akses masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan dimungkinkan karena kemunculan beragam inovasi teknologi finansial alias tekfin. Platform lokapasar investasi bagi investor ritel, point of sales (PoS), software as a subscription (SaaS), pinjaman online, dan bank digital adalah sebagian wujud dari hal tersebut.

Peran tekfin juga makin terintegrasi di keseharian masyarakat. Hal ini didukung salah satunya oleh tingkat adopsi teknologi yang tinggi, terutama generasi milenial dan Generasi Z (kelahiran 1995-2010) yang merupakan setengah (53,81%) dari total penduduk Indonesia (BPS, 2022).

Pesatnya adopsi teknologi menjadikan generasi muda sebagai pendorong pertumbuhan investor ritel yang sangat penting. Dominasi investor ritel dalam pasar keuangan dianggap mampu untuk menjaga ketahanan perekonomian dari tekanan eksternal, salah satunya akibat dari keluarnya arus modal.

Mayoritas investor ritel juga memiliki persepsi bahwa berinvestasi meningkatkan pendapatan negara melalui penerimaan pajak, memperluas kesempatan kerja melalui pendanaan ke perusahaan publik, hingga mengalihkan dana ke kegiatan yang lebih produktif.

Dengan tingkat penggunaan internet yang tinggi oleh generasi muda, generasi ini dianggap mumpuni dan menjadi motor perekonomian lewat pemanfaatan teknologi.

Sayangnya, kecepatan adopsi teknologi digital yang turut mendongkrak inklusi keuangan masyarakat tersebut belum sejalan dengan tingkat literasi keuangan masyarakat. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) keempat yang dilakukan OJK pada 2022 menunjukkan literasi keuangan masyarakat baru mencapai 49,68%. Sementara itu, indeks inklusi keuangan sudah melesat di angka 85,10%.

Disparitas inklusi dan literasi keuangan ini perlu jadi perhatian seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan transformasi digital yang sehat di sektor keuangan.

Rendahnya literasi ini menghambat optimalisasi inovasi tekfin di kalangan generasi muda. Studi LIPI (2021) dan UNDP (2020) menunjukkan bahwa salah satu tantangan mendasar saat ini adalah penggunaan internet yang masih lebih banyak terkonsentrasi pada media sosial dan belum banyak menyentuh penggunaan sektor produktif, seperti wirausaha dan investasi. Akibatnya, masih ada dari generasi ini yang belum mampu memanfaatkan peluang tekfin untuk penciptaan bisnis baru ataupun mengembangkan ekonomi lewat investasi.

Strategi yang Bisa Dilakukan 

Ada lima elemen yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi ini: konektivitas, keterjangkauan, pengetahuan, kemampuan, dan keamanan.

Pertama, percepatan pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di wilayah luar Jawa-Bali melalui kolaborasi pemerintah dan swasta. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi swasta melalui pengurangan pajak, percepatan perizinan, subsidi, hingga kontribusi dasar pembangunan infrastruktur di daerah yang belum padat penduduk. Hal ini agar akses yang baik dapat dirasakan oleh generasi muda luar Jawa-Bali, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan literasi yang sama baiknya dengan masyarakat di daerah Jawa-Bali.

Kedua, pemerintah dapat meregulasi persaingan bisnis di sektor telekomunikasi dan informasi untuk menciptakan harga dan kualitas layanan yang merata. Hal ini dapat memungkinkan masyarakat dari seluruh wilayah dan kelas ekonomi untuk mengakses koneksi internet yang baik.

Halaman:
Bahtiar Rifai, Ph.D
Bahtiar Rifai, Ph.D
Peneliti Ekonomi Pusat Riset Makro Ekonomi dan Finansial, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement