Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengapa Pulau Jawa Masih Jadi Episentrum Covid-19? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Pulau Jawa Masih Jadi Episentrum Covid-19?

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringoringo
Enam bulan pandemi Covid-19 berjalan, kasus di Pulau Jawa tak melandai. Sebaliknya semakin kukuh jadi episentrum corona Indonesia.
Andrea Lidwina
9 September 2020, 16.08
Button AI Summarize

Pulau Jawa semakin kukuh sebagai episentrum Covid-19 di Indonesia di bulan keenam masa pandemi. Total kasus positifnya menyumbang 59% angka nasional per 7 September 2020. Sementara total kasus aktifnya menyumbang 56% angka nasional.

Jumlah tersebut menjadi ironi, mengingat fasilitas kesehatan mayoritas berada di Jawa sejak awal Covid-19. Dari total 1.827 rumah sakit di Indonesia, 936 atau 51% di Jawa. Sementara dari total 5.834 ventilator, sebanyak 4.942 di Jawa. Pertanyaannya kemudian, kenapa bisa terjadi?   

Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 2 September 2020 menyatakan di Jawa “akumulasi kasus baru dalam sepekan (24-30 Agustus 2020) kembali mencapai puncaknya di masing-masing provinsi.”

Lonjakan kasus Covid-19 terjadi setelah penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berakhir. Di DKI Jakarta, misalnya, penambahan positif corona kurang dari 1.000 kasus per pekan selama PSBB (10 April – 4 Juni). Namun kasus baru meningkat setiap pekan setelah penerapan PSBB Transisi.

Hal serupa terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat. Tambahan kasus terus berfluktuasi pada kisaran angka yang lebih tinggi setelah PSBB tingkat provinsi atau kota/kabupaten tidak diperpanjang.

Melansir CNNIndonesia pada 12 Juni, Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai pembukaan sektor-sektor ekonomi dan publik pasca PSBB berpotensi meningkatkan penularan virus corona. Tak heran kerap muncul klaster penyebaran baru dalam 1-2 bulan terakhir, mulai dari kantor, pabrik, hingga sekolah asrama.

Atas pertimbangan itu, Gubernur Banten Wahidin Halim menerapkan PSBB seluruh provinsi mulai 7 September lalu sampai dua pekan mendatang.

Khusus di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang tak menerapkan PSBB, lonjakan kasus terjadi setelah pembatasan berakhir di provinsi lain. Penyebabnya tak ada batasan kunjungan masyarakat dari wilayah lain, di samping juga memiliki klaster penyebaran lokal.  

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi