Advertisement
Advertisement
Analisis | Sinyal Lemah Ekonomi dari Surplus Neraca Dagang - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Sinyal Lemah Ekonomi dari Surplus Neraca Dagang

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Surplus neraca perdagangan Indonesia Januari-Agustus 2020 tak sepenuhnya bermakna keberhasilan ekspansi ekonomi. Sebaliknya, menyimpan sinyal perlambatan ekonomi di tengah Covid-19.
Author's Photo
28 September 2020, 10.44
Button AI Summarize

Sepanjang Januari hingga Agustus 2020, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan US$ 11,05 miliar. Hal ini terjadi lantaran nilai ekspor lebih tinggi dari impor, yakni masing-masing US$ 103,15 miliar dan US$ 92,10 miliar.

Kondisi ini biasa dianggap sebagai keberhasilan ekspansi ekonomi suatu negara lantaran mampu menggenjot ekspor. Namun, bila ditilik lebih dalam, surplus neraca dagang Indonesia justru memberi sinyal perlambatan ekonomi di masa pandemi Covid-19.

Surplus sangat terpengaruh anjloknya impor barang di seluruh jenis penggunaan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan impor barang konsumsi -7,86%, bahan baku/penolong -18,85%, dan barang modal -20,13% secara kumulatif (ctoc).

Situasi semacam ini pernah terjadi pada 2015 dan 2016. Pada kedua tahun itu, neraca dagang surplus masing-masing US$ 7,67 miliar dan US$ 9,53 miliar. Terpengaruh penurunan bahan baku/penolong dan barang modal.

Pada 2015 nilai impor bahan baku/penolong turun hingga 21,4% menjadi US$ 107,08 miliar. Sementara barang modal turun 15,6% menjadi US$ 2,47 miliar. Pada 2016, hanya bahan baku/penolong yang turun 5,7% menjadi US$ 100,95 miliar.

Penurunan impor barang konsumsi masih bisa bermakna baik. Menunjukkan ketergantungan kepada barang konsumsi luar negeri berkurang, atau dalam bahasa politik kerap disebut berdikari.

Sebaliknya, seperti kata Kepala BPS Suhariyanto pada 15 Juni lalu, “impor bahan baku berpengaruh besar kepada pergerakan industri yang akan berpengaruh pada perdagangan. Sementara impor barang modal harus diperhatikan karena ini untuk pertumbuhan ekonomi dari segi investasi.”

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi