Advertisement
Advertisement
Analisis | Nasib Investasi Perikanan vs Nelayan Kecil dalam Omnibus Law - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Nasib Investasi Perikanan vs Nelayan Kecil dalam Omnibus Law

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Kemudahan izin berusaha dalam Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menggenjot investasi perikanan. Namun, beberapa pasal bisa juga berdampak buruk kepada nelayan kecil. Misalnya perubahan definisi nelayan kecil dan kemudahan investasi asing lewat pemanfaatan pulau kecil dan perairan.
Cindy Mutia Annur
15 Oktober 2020, 17.38
Button AI Summarize

Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) mengatur juga tentang perikanan, termasuk perizinan pengoperasian kapal ikan sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 dalam draf versi 812 halaman. Pasal ini menghapus angka 16 sampai 18 dalam Pasal 1 UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Poin-poin yang dihapus berbunyi sebagai berikut:  

Angka 16: Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.

 Angka 17: Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.

 Angka 18: Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan.

Sehingga, dalam peraturan baru pengoperasian kapal cukup memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang berwenang. Khusus nelayan kecil tak perlu mengajukan perizinan berusaha.

Definisi nelayan kecil dalam Omnibus Law Ciptaker adalah “orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak.” Mengubah definisi di UU Perikanan yang menyebut nelayan kecil menggunakan kapal penangkap ikan berukuran di bawah 5 gross ton (GT).

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan, perubahan perizinan pengoperasian kapal akan memberikan jaminan usaha di sektor kelautan dan perikanan. Begitu juga mengoptimalkan investasi yang sempat mandek senilai Rp 300 triliun akibat iklim usaha sulit.

“Omnibus Law ini yang sangat ditunggu-tunggu para nelayan. Ilustrasinya, dalam lima tahun terakhir izin kapal sulit didapat,” kata Edhy, Rabu (7/10), melansir Tempo.co. Ia juga menyebut beleid ini melindungi nelayan kecil dari diskriminasi di tengah laut dan pesisir.

TARGET KONSUMSI IKAN NASIONAL
TARGET KONSUMSI IKAN NASIONAL (ANTARA FOTO/Feny Selly/hp.)

Kondisi sektor perikanan dalam negeri sebenarnya tidak terlalu buruk. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, Indonesia menyumbang 8% atau sebanyak 6,71 juta ton dari total tangkapan ikan laut global pada 2018. Angka ini setara dengan Peru, tapi di bawah Tiongkok yang menyumbang 15%.

Tangkapan ikan global pada 2018 mencapai 84,4 juta ton. Meningkat dari tahun sebelumnya yang 81,2 juta ton. Sementara, produksi perikanan global pada 2018 mencapai 96,4 juta ton atau meningkat 5,4% dari rata-rata tiga tahun sebelumnya.

Indonesia memiliki laut yang mencakup dua per tiga dari seluruh luas wilayah, yakni sekitar 5,8 juta kilometer persegi. Potensi sumber daya ikan tangkap sekitar 6,5 juta ton per tahun. Tangkapan ikan laut negeri ini dalam rentang 2015-2018 sudah mendekati titik potensial tersebut.

Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) perikanan dari 2015-2019, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), juga selalu lebih tinggi ketimbang laju ekonomi nasional. Pada 2019, PDB sektor ini sebesar 5,81%, sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional 5,02%.

Kontribusi PDB perikanan terhadap nasional secara kuartalan pun selalu konstan di atas 2,5% dalam rentang 2016-2019. Tertinggi pada kuartal I 2019, yakni 2,70%. Terendah pada kuartal II 2016, yakni 2,50%.   

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi