Advertisement
Advertisement
Analisis | Untung-Rugi Omnibus Law UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Untung-Rugi Omnibus Law UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Omnibus Law UU Cipta Kerja ingin mereformasi sistem perpajakan Indonesia. Namun, ini akan menggerus penerimaan perpajakan karena banyaknya relaksasi.
Dwi Hadya Jayani
19 Oktober 2020, 09.00
Button AI Summarize

Klaster perpajakan menjadi salah satu isi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang kontroversial. Masyarakat menilainya sebagai klaster siluman karena pemerintah dan DPR memasukkannya diam-diam sebelum disahkan pada 5 Oktober 2020. 

Namun, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyatakan, “ini (klaster perpajakan) juga menjadi bagian reformasi perpajakan yang fundamental. Harapannya, kegiatan ekonomi bergerak lebih cepat lagi."

Melansir DDTC,  pemerintah pun menyebut empat tujuan utama klaster ini, yakni: meningkatkan pendanaan investasi, mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela, meningkatkan kepastian hukum, dan menciptakan keadilan iklim berusaha dalam negeri.

Empat tujuan utama tersebut memang telah selaras dengan masalah perpajakan yang selama ini terjadi. Skor indikator pembayaran pajak Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berbisnis masih 75,8 pada 2020. Jauh di bawah Singapura yang 91,6. Tak ayal investor lebih memilih berinvestasi di negara tetangga, seperti halnya dilakukan perusahaan teknologi.

Pemerintah memperbaikinya salah satunya dengan menghapus pajak penghasilan (PPh) atas dividen dalam  dan luar negeri selama diinvestasikan di Indonesia. Hal ini termaktub dalam Pasal 111 yang mengubah Pasal 4 ayat (3) huruf (f) UU Pajak Penghasilan.

Kepatuhan wajib pajak pun memang belum sesuai target. Hingga semester I 2020, jumlah wajib pajak yang melaporkan surat pemberitahuan pajak (SPT) hanya 11,46 juta atau 60,34% dari target 19 juta. Artinya, masih 7,54 juta wajib pajak yang belum menyampaikan kewajiban tahunannya.

Rendahnya kepatuhan tak lepas dari kualitas pemungutan pajak yang masih buruk. Bank Dunia dalam laporannya berjudul Kajian Belanja Publik Indonesia: Untuk Hasil yang Lebih Baik menyatakan, kerumitan dan perlakuan tak setara dalam peraturan meningkatkan inefisiensi sistem perpajakan.

“Sebagai contoh, pembebasan PPN yang luas menghasilkan efek penurunan. Sehingga, beberapa sektor atau wajib pajak menanggung beban pajak yang lebih tinggi daripada yang seharusnya dibayar jika PPN diterapkan secara luas dan tidak ada pembebasan,” tulis Bank Dunia dalam laporan tersebut.

Pandangan Bank Dunia menunjukkan bahwa, masalah kepatuhan berkelindan dengan kepastian hukum dan keadilan berusaha di dalam negeri yang juga menjadi tujuan utama klaster perpajakan. Misalnya, belum jelasnya aturan tentang pajak transaksi elektronik pelaku usaha luar negeri. Sebuah hal yang mengakibatkan diskriminasi terhadap pelaku dalam negeri.

Guna mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela, salah satunya pemerintah mengatur ulang sanksi administratif dalam Pasal 9 ayat (2a) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sehingga, dalam Pasal 113 UU Ciptaker sanksi administrasi berupa bunga yang tadinya sebesar 2% per bulan menjadi sesuai ketetapan Menteri Keuangan.

Jangka waktu pengenaan sanksi administratif berupa bunga pun lebih jelas dengan menambah frasa “dikenakan paling lama 24 bulan.”

Lalu, peningkatan kepastian hukum antra lain dengan mengubah ketentuan subjek pajak orang pribadi dalam dan luar negeri di Pasal 2 ayat (3) dan (4) UU Pajak Penghasilan. Perubahan termaktub dalam Pasal 111 UU Ciptaker.

Pada Pasal 2 ayat (3) yang berubah di poin (a), bahwa subjek pajak dalam negeri kini meliputi juga warga negara asing dengan beberapa ketentuan, seperti bertempat tinggal di Indonesia atau berada di negeri ini lebih dari 183 hari dalam jangka waktu setahun.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi