Advertisement
Advertisement
Analisis | Menyorot Pasal Komersialisasi Pendidikan dalam UU Cipta Kerja - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Menyorot Pasal Komersialisasi Pendidikan dalam UU Cipta Kerja

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Pasal-pasal tentang pendidikan di dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja berpotensi mengurangi kesempatan masyarakat Indonesia mengenyam pendidikan. Potensi ini khususnya pada masyarakat dengan tingkat perekonomian terbawah.
Author's Photo
14 Oktober 2020, 09.00
Button AI Summarize

Belum semua masyarakat Indonesia dapat mengenyam pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pergurutan tinggi hanya 30,28%. Ini lebih rendah dari target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang sebesar 36,70%.

Untuk jenjang SMA, nilai APK sebesar 83,98%. Lalu, jenjang SMP sebesar 90,57%. Terbesar adalah jenjang SD dengan 107,46%. Seluruhnya juga masih di bawah target dalam RPJMN 2015-2019.

APK menggambarkan proporsi penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan terhadap kesesuaian usia sekolah. Nilai semakin mendekati 100%, maka semakin sesuai.

Jika lebih dari 100%, artinya banyak penduduk yang bersekolah di suatu jenjang tak sesuai dengan usianya. Penyebabnya kemungkinan terlalu cepat masuk, terlambat masuk, atau tinggal kelas.  

Jika nilai APK jauh di bawah 100%, berarti partisipasi penduduk di jenjang tersebut rendah. Angka-angka itu menjadi indikator keberhasilan program pembangunan pendidikan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk mengenyam pendidikan.

Data tersebut juga mengindikasikan tak semua penduduk mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Pasalnya, semakin tinggi jenjang pendidikan, nilai APK semakin rendah.

Selaras dengan data rata-rata lama sekolah nasional penduduk berusia di atas 25 tahun pada 2019 yang 8,34 tahun. Berarti, penduduk hanya mampu bersekolah sampai jenjang SMP atau belum mampu mencapai program wajib belajar 12 tahun.

Secara status ekonomi rumah tangga, penduduk dalam kelompok pendapatan terendah atau kuintil 1 memiliki rata-rata lama sekolah terpendek, yakni 6,82 tahun atau setingkat SD. Sebaliknya, pada kelompok pendapatan tertinggi atau kuintil 5 rata-rata 11,31 tahun atau hampir mampu menyelesaikan SMA.

Data tingkat pendidikan yang ditamatkan berdasarkan status ekonomi memperkuat hal itu. Jumlah terbanyak penduduk yang menamatkan perguruan tinggi di kuintil 5, yakni 24,95%. Sebaliknya, persentase penduduk yang tidak/belum pernah bersekolah tertinggi di kuintil 1, yakni 7,86%. 

Faktor ekonomi sangat memengaruhi tingkat pendidikan penduduk. Apalagi semakin tinggi jenjang, biaya pendidikan memang semakin mahal.

Untuk tahun ajaran 2017/2018, rata-rata biaya pendidikan SD Rp 2,4 juta. Naik ke jenjang SMP, rata-ratanya menjadi Rp 4,2 juta. Lalu, rata-rata biaya SMA Rp 6,5 juta dan perguruan tinggi Rp 15,3 juta.

Sedangkan rata-rata upah buruh/karyawan/pegawai yang merupakan pekerjaan utama masyarakat di Indonesia pada 2019 hanya Rp 2,91 juta per bulan. Nominal itu sangat pas-pasan untuk membiayai sekolah di jenjang SD, apalagi tingkat selanjutnya.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi