LPEM

Pandemi, Momentum Transformasi ke Ekonomi Hijau

Pandemi Covid-19 memukul pekonomian Indonesia. Pemulihan dampak pandemi dapat ditempuh dengan penerapan prinsip ekonomi berkelanjutan.


Pandemi Covid-19 membuat perekonomian Indonesia terpukul. Dampak tersebut terlihat pada sejumlah indikator utama makro ekonomi nasional. Menurut OECD, pandemi telah memicu resesi ekonomi terparah dalam seabad terakhir dan mengakibatkan kerusakan besar pada sektor kesehatan, pekerjaan dan kesejahteraan manusia.

Stimulus pemerintah diperlukan untuk menangani dampak pandemi dalam upaya pemulihan ekonomi. Upaya pemulihan ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk mempertimbangkan penerapan aspek keberlanjutan karena krisis lingkungan dapat memicu penyakit menular di masa depan.

Untuk mewujudkan penerapan aspek berkelanjutan tersebut, pemerintah perlu menentukan sektor usaha prioritas yang menjadi fokus dalam pemulihan pasca pandemi Covid-19. Pemerintah juga perlu mempromosikan pasar tenaga kerja untuk menanggulangi kemiskinan.

Prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut juga perlu didukung dengan inovasi pembiayaan berkelanjutan seperti penerapan sovereign wealth fund dan pembiayaan hijau secara langsung oleh masyarakat.

Pandemi Pukul Perekonomian dan Tingkatkan Kemiskinan


Pandemi Covid-19 turut berdampak pada banyak sektor usaha ekonomi di Indonesia. Jika dibandingkan dengan kondisi saat business at usual (BAU), sektor akomodasi menjadi yang paling terdampak dengan perubahan minus 9%. Pariwisata juga menjadi sektor yang terdampak dengan perubahan minus 8,2% dibandingkan kondisi saat BAU.

Dampak yang terjadi akibat pandemi Covid-19 tidak hanya terjadi di sektor usaha perekonomian. Tapi juga turut berdampak pada kondisi sosial seperti kemiskinan dan pengangguran. Di sisi lain, sektor perekonomian dengan tingkat kemiskinan tertinggi turut terpukul akibat pandemi.

Pada periode September 2019 hingga Maret 2020, BPS mencatat angka kemiskinan bertambah 1,63 juta orang. Kenaikan tersebut membuat jumlah penduduk miskin menjadi 26,42 juta orang atau 9,78% dari total penduduk. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi hingga akhir 2020, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 28,7 juta penduduk.

Temuan LPEM UI memperkirakan tingkat kemiskinan meningkat menjadi 10 hingga 14 persen. Selain itu, pandemi Covid-19 turut mengancam kelompok masyarakat rentan miskin. Seperti dikutip CNN Indonesia, Bappenas memperkirakan sebesar 47 persen kelompok masyarakat rentan miskin berpotensi turun kelas menjadi kelompok miskin akibat tekanan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.

“Kita harus mengarah ke pathway yang lebih green dan sustain. Bukan hanya untuk mendapatkan manfaat lingkungan, melainkan juga ekonomi yang nantinya bisa menurunkan angka kemiskinan,” ujar Alin Halimatussadiah Kepala Studi Lingkungan LPEM FEB UI pada acara Reimagining the Future of Indonesia 22 Maret lalu.

Peningkatan kemiskinan di tengah pandemi turut dibayangi kondisi kerawanan pangan. Program Pangan Dunia (World Food Programme) memproyeksikan jumlah masyarakat rawan pangan pada 2020 meningkat 130 juta dibandingkan 2019 sehingga menjadi total 265 juta jiwa.

Kondisi ketahanan pangan Indonesia secara umum tercermin dari indeks ketahanan pangan global (Global Food Security Index/GFSI). Pada 2019, indeks ketahanan pangan global Indonesia sebesar 62,6. Dengan skor tersebut, Indonesia berada di peringkat 62 dari 113 negara.

Pada 2018, sebanyak 81 Kabupaten dan 7 Kota termasuk  daerah yang rentan rawan pangan menurut berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2018 yang diterbitkan Kementerian Pertanian.

Penerapan karantina wilayah dan pembatasan pada aktivitas ekspor-impor ataupun logistik barang juga menambah permasalahan kerawanan pangan. Sebagai catatan, Indonesia mengimpor komoditas pangan senilai USD576,18 juta pada 2018.

Jika impor dibatasi, maka bisa berakibat buruk bagi keadaan pangan nasional. Imbasnya, angka masyarakat yang kekurangan gizi dapat bertambah. Selain kekurangan gizi, risiko malnutrisi juga perlu menjadi perhatian.

Penerapan karantina wilayah ataupun pembatasan sosial membuat aktivitas perekonomian terbatas. Hal tersebut berdampak pada menurunnya pendapatan rumah tangga termasuk kelompok masyarakat miskin. Imbasnya, angka pengangguran meningkat hingga ancaman kebangkrutan usaha kecil seperti UMKM.

Pada Februari 2020 BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2020 sebesar 4,99 persen dengan jumlah pengangguran sebanyak 6,88 juta orang. Namun, angka tersebut belum sepenuhnya mencakup dampak pandemi Covid-19. Angka TPT tersebut pada Agustus 2020 meningkat menjadi 7,07 persen dengan jumlah pengangguran mencapai 9,77 juta orang.

Pengangguran
Sejumlah warga antre untuk mengurus pembuatan Kartu Pencari Kerja (Kartu Kuning) di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kota Serang, Banten, Selasa (9/6/2020).
Vaksinasi
Anggota Karang Taruna Basinda membersihkan limbah pecahan kaca di Dusun Sindangrasa, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (20/4/2020). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/hp.

LPEM UI memprediksi angka pengangguran tersebut bakal naik menjadi 10 hingga 15 juta orang. Sekitar 37 ribu UMKM juga diperkirakan terdampak pandemi seperti mengalami penurunan penjualan hingga terkendala dalam hal distribusi.

Selain itu, dampak pandemic Covid-19 terhadap ketenagakerjaan tidak hanya diukur melalui jumlah pengangguran saja, tapi juga termasuk dampak Covid-19 terhadap pasar kerja. Badan Pusat Statistik mencatat sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi Covid-19 pada Agustus 2020. Angka tersebut mencapai 14,28% dari total penduduk usia kerja sebanyak 203,97 juta jiwa.

Angka tersebut terdiri dari 2,56 juta orang yang menjadi pengangguran, 760 ribu orang menjadi bukan angkatan kerja, 1,77 juta orang menjadi sementara tidak bekerja. Sementara itu 24,03 juta pekerja mengalami pengurangan jam kerja.

"Jadi itu tidak dilihat hanya dari pengangguran saja," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers Pertumbuhan Ekonomi dan Ketenagakerjaan Indonesia, Kamis (5/11).

Strategi Pemulihan Berkelanjutan


 Pandemi Covid-19 berdampak bagi peningkatan kemiskinan, pengangguran, hingga kerawanan pangan di banyak sektor usaha. Pemulihan ekonomi pasca pandemi dapat menjadi momentum pemerintah untuk menerapkan aspek yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

SDGs merupakan kesepakatan pembangunan global pada 2015 yang fokus pada agenda pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan, serta bertujuan mengurangi kemiskinan, kesenjangan dan melindungi lingkungan. Agenda SDGs terdiri atas empat pilar yaitu: pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, pembangunan lingkungan, serta pembangunan hukum dan tata kelola.

Penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan akan mengurangi dampak bagi lingkungan, mewujudkan ekonomi lebih tangguh, setara dan berkeadilan, serta memperluas lapangan kerja baru.

Untuk mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut, pemerintah perlu menentukan sektor usaha prioritas yang menjadi fokus pemerintah dalam pemulihan pasca pandemi Covid-19.

 Pemerintah patut memprioritaskan lima sektor usaha dengan tingkat kemiskinan tertinggi dalam pemulihan pasca pandemic Covid-19, sektor pertanian misalnya. Dalam mendukung agenda ketahanan pangan pemerintah dapat fokus pada beberapa poin mitigasi pada jangka pendek seperti lapangan kerja dan aktivitas ekonomi. Pada jangka panjang, faktor SDM dan pertumbuhan berkelanjutan patut menjadi fokus.

Pantjar Simatupang, peneliti ekonomi pertanian di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Kementerian Pertanian menyebut pada wawancara dengan Katadata bahwa kunci utama untuk menurunkan tingkat kemiskinan di sektor pertanian adalah meningkatkan pertumbuhan pertanian. Menurut Pantjar, pertumbuhan pertanian merupakan indikator yang responsif terhadap tingkat kemiskinan baik di perdesaan maupun perkotaan.

Hal kedua yang dapat dilakukan pemerintah yaitu mengendalikan harga pangan khususnya beras. Hal tersebut menurut Pantjar, garis kemiskinan utamanya ditentukan oleh harga pangan khususnya harga beras.

“Jadi, kalau kita tidak dapat mempertahankan pertumbuhan pertanian utamanya pertumbuhan tanaman pangan, maka jumlah kemiskinan akan melonjak tajam,” ujar Pantjar terkait pemulihan di sektor pertanian.

Untuk mendukung aspek pembangunan berkelanjutan, Pantjar menilai pemerintah perlu membenahi infrastruktur sumber daya lahan dan air. Infrastruktur pengairan khususnya sumber air utama lahan pertanian perlu menjadi perhatian pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemulihan sektor pertanian pasca pandemi.

Menurut Pantjar, ketersediaan sumber air saat ini sudah semakin sulit, hal ini terjadi akibat dampak perubahan iklim. Isu perubahan iklim adalah permasalahan global, namun perubahan iklim nasional patut untuk diperhatikan karena berpengaruh terhadap data pertanian.

“Begitu ada sedikit (perubahan iklim menjadi) agak kering atau agak basah, maka (sektor pertanian) akan turun. Artinya (sektor pertanian) sudah tidak kuat, tidak sustainable,” kata Pantjar terkait aspek pembangunan berkelanjutan.

Dari sisi lapangan kerja dan sumber daya manusia, Pantjar menyarakan pemerintah mengambil kebijakan yang berpihak pada buruh tani dibandingkan pemilik lahan. Keberpihakan tersebut dapat dilakukan melalui penyaluran bantuan alat kerja bagi buruh alih-alih pemilik lahan.

Bantuan alat kerja kepada buruh tersebut menstimulus mereka agar tetap mendapatkan kesempatan kerja meskipun tidak memiliki lahan pertanian. Hal tersebut tentunya dapat membantu buruh tani untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Selain menentukan sektor prioritas untuk pemulihan, pemerintah juga perlu mengambil langkah untuk mempromosikan pasar tenaga kerja. Kebijakan terkait pasar tenaga kerja ini perlu memperhatikan demand side (sisi permintaan) dan supply side (sisi penawaran).

Dari sisi permintaan, pemerintah patut mempertimbangkan perlunya insentif pajak bagi sektor UMKM atau sektor industri lainnya yang potensial. Selain itu, pemerintah perlu mendukung pekerja dan pendapatannya, seperti proteksi sosial dan retensi pekerja.

Perlindungan pekerja juga turut menjadi perhatian pemerintah karena hal ini menyangkut beberapa hal seperti jenis perjanjian kerja, akses perawatan kesehatan seperti BPJS Kesehatan. Kondisi pandemi Covid-19 turut mempengaruhi kebijakan yang diambil terkait akses perawatan kesehatan ini. Selain itu, masalah ketidakcocokan pekerjaan dan kebijakan terkait gender di kalangan pekerja juga patut diperhatikan.

Dari sisi penawaran, perlu ada dukungan dari pemerintah agar pekerja memenuhi kebutuhan pasar. Peningkatan kemampuan atau mengurangi masalah ketidakcocokan pekerjaan dapat dilakukan melalui Lembaga Pendidikan ataupun pelatihan.

Pemerintah meluncurkan Kartu Prakerja pada April lalu yang ditujukan bagi pekerja yang terkena PHK atau dirumahkan tanpa insentif, pekerja informal, dan pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak COVID-19.

Pemerintah kemudian menambah anggaran Kartu Prakerja dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun. Penerima manfaat yang awalnya ditargetkan sebanyak 2 juta orang ditingkatkan menjadi 5,6 juta orang pekerja.

Akses ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta peningkatan kualitas pendidikan juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mempromosikan pasar tenaga kerja dari sisi penawaran.

Langkah lain yang perlu diambil pemerintah dalam rangka upaya pemulihan ekonomi berkelanjutan pasca Covid-19 yaitu menggandakan manfaat bantuan tunai seperti jumlah keluarga yang menerima bantuan dari Program Keluarga Harapan (PKH), Keluarga Penerima Manfaat (KPM), serta jumlah penerima manfaat dari Kartu Sembako.

Jika gelombang kedua pandemi melanda, LPEM UI memperkirakan bakal ada sejumlah rumah tangga tambahan yang masuk ke dalam KPM bantuan sosial dari pemerintah. Tambahan tersebut mungkin dapat mempengaruhi realokasi anggaran, seperti anggaran pelestarian lingkungan dan penanggulangan bencana.

Senada dengan LPEM UI, menurut Amalia Adininggar Widyasanti dari Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas bahwa penerapan ekonomi hijau ini dapat menciptakan peluang pekerjaan dan investasi baru.

Pemerintah dapat menambahkan aspek pembangunan keberlanjutan pada mekanisme pemberian bantuan tunai tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan melalui menambahkan persyaratan pada bantuan tunai yang terkait dengan upaya mitigasi risiko lingkungan atau sosial, terutama dalam upaya pembangunan keberlanjutan.

Persyaratan tersebut dapat berupa larangan bagi para penerima bansos untuk melakukan illegal fishing atau illegal lodging. Penyaluran Dana Desa juga dapat ditambahkan persyaratan bahwa Kepala Desa penerima Dana Desa memastikan masyarakat desa tersebut tidak melakukan kegiatan yang merugikan lingkungan.

Inovasi Pembiayaan yang Mendukung Prinsip Berkelanjutan


Pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi COVID-19 perlu dilakukan dengan strategi yang matang dan penerapan prinsip berkelanjutan. Salah satu faktor penting dalam pemulihan ekonomi dan pembangunan adalah pembiayaan. Inovasi pada pembiayaan yang ada perlu menerapkan prinsip berkelanjutan, agar pembiayaan tersebut bisa semakin optimal. Pembiayaan berkelanjutan yang bisa dilakukan contohnya adalah sovereign wealth fund, debt for climate swap, dan pembiayaan hijau secara langsung oleh masyarakat.

Sovereign wealth fund atau Lembaga Pengelola Investasi di Indonesia bertugas mengelola dana publik untuk diinvestasikan ke berbagai instrumen investasi. Sumber dana ini bisa berasal dari cadangan devisa, surplus perdagangan, surplus anggaran, penerimaan negara bersumber dari sumber daya alam, ataupun penerimaan negara lainnya.

Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi ini sebagai salah satu bentuk pelaksanaan Undang-undang Cipta Kerja. Dalam UU Cipta Kerja, diatur modal awal Lembaga Pengelola Investasi minimal sebesar Rp 15 triliun. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan lembaga ini diharapkan dapat mengundang investasi dari negara-negara lain, lembaga internasional dan korporasi.

Lembaga Pengelola Investasi diharapkan bisa menjadi angin segar untuk alternatif investasi di Indonesia, terutama pasca pandemi untuk mendukung pemulihan ekonomi. Penempatan investasi dari Lembaga Pengelola Investasi ini pun perlu mempertimbangkan keberlanjutan.

Presiden Joko Widodo juga telah melantik direksi untuk Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA) yang bertugas mengelola investasi tersebut bersama-sama di Indonesia. Target dari LPI ini adalah mengoptimalkan nilai investasi pemerintah pusat, meningkatkan investasi asing atau Foreign Direct Investment (FDI), serta mendorong perbaikan iklim investasi.

Laba yang dihasilkan wajib disisihkan sebesar 10 persen sebagai cadangan wajib, dan jika akumulasi laba ditahan melebihi 50 persen dari modal maka kelebihannya dapat digunakan sebagai pembagian laba untuk pemerintah.

Dengan pola kerja sama antara LPI dengan para investor memungkinkan investor untuk berinvestasi langsung ke aset atau proyek seperti pembangunan jalan tol, bandara, atau infrastruktur lainnya. Dana kelolaan ini juga dapat digunakan untuk sektor lain seperti sektor kesehatan dan pariwisata.

Pembiayaan hijau ini juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pembiayaan ke proyek pembangunan atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergerak di bidang keberlangsungan, contohnya proyek pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan (EBT). Pembiayaan hijau ini diperlukan untuk menstimulasi investasi dan usaha ramah lingkungan.

Selain pembiayaan hijau, pasar green bond atau obligasi berwawasan lingkungan juga bisa menjadi opsi pembiayaan yang menerapkan prinsip keberlanjutan. Green bond ini memiliki pamor yang tinggi di pasar global. Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, potensi Energi Baru Terbarukan sangat tinggi di negara maju yang sedang menaruh perhatian pada isu lingkungan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir 2017 telah mengeluarkan POJK No. 60 /POJK.04/2017 tentang penerbitan dan persyaratan efek bersifat utang berwawasan lingkungan atau Green Bond. Green Bond didefinisikan sebagai efek bersifat utang yang dana hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai atau membiayai ulang sebagian atau seluruh kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL). KUBL tersebut misalnya kegiatan terkait energi terbarukan, efisiensi energi, pencegahan dan pengendalian polusi, dll.

Beberapa contoh green bond dan green sukuk:

Dengan adanya penerbitan Green Bond dan Green Sukuk ini artinya pemerintah turut mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut selaras dengan komitmen Indonesia sebagai negara peratifikasi Paris Agreement 2016 untuk ikut mengurangi emisi gas rumah kaca.

***