Advertisement
Advertisement
Analisis | Mampukah Food Estate Mengatasi Krisis Pangan di Indonesia? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mampukah Food Estate Mengatasi Krisis Pangan di Indonesia?

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Penurunan produksi pangan bukan hanya terkait berkurangnya lahan tanam untuk pelbagai komoditas. Ada juga faktor iklim dan jumlah petani. Lokasi food estate pun memiliki riwayat gagal menjadi lahan pangan pada masa Orde Baru.
Andrea Lidwina
27 Oktober 2020, 08.30
Button AI Summarize

Pemerintah berusaha mencegah krisis pangan dengan membuat lumbung pangan terintegrasi atau food estate. Program ini memanfaatkan lahan seluas 164,6 ribu hektare di Kalimantan Tengah untuk intensifikasi dan ekstensifikasi. Penggarapan mulai tahun ini sampai 2022 dengan rincian 20 ribu hektar di kabupaten Kapuas dan 10 ribu hektar di kabupaten Pulang Pisau.

Produksi beberapa bahan pangan di dalam negeri memang menurun. Beras misalnya, tercatat menurun dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,3 juta ton pada 2019. Kemudian, jumlahnya pada Januari-Agustus 2020 yang sebanyak 23 juta ton masih lebih rendah 6% dibandingkan periode sama pada tahun lalu.

Ketergantungan impor pangan turut mengkhawatirkan. Kedelai dan daging sapi meningkat masing-masing menjadi 88,1% dan 34,7% pada 2019 dan gula masih di kisaran 60%. Hanya beras dan jagung yang menurun signifikan.

Oleh karena itu, food estate bertujuan menanam dan membudidayakan berbagai komoditas. Dalam kunjungan kerjanya, Presiden Joko Widodo telah menyaksikan penanaman tanaman selain padi dan budidaya ikan keramba di irigasi lumbung pangan tersebut.

“Kita harapkan hasilnya bukan hanya padi, tetapi ada jeruk dan kelapa, plus bawang merah,” kata Jokowi di kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah pada 8 Oktober 2020.

Meski telah berjalan baik, apakah food estate mampu menyelesaikan krisis pangan di Indonesia dalam jangka panjang? 

Penurunan produksi pangan memang berkaitan erat dengan berkurangnya luas lahan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas lahan baku sawah di Indonesia sebesar 8,1 juta hektar pada 2015, tetapi merosot menjadi 7,5 juta hektar pada tahun lalu. Namun, menambah lahan produksi pangan dengan food estate tidak lantas menyelesaikan masalah.

Lokasi food estate sebetulnya menggunakan lahan bekas proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) pada masa Orde Baru. Pada 1995, pemerintah berencana mengembangkan lahan gambut seluas 1,5 juta hektar untuk menyangga pasokan beras nasional dan menjadi tujuan baru transmigrasi bagi 1,7 juta jiwa. Namun, proyek ini gagal karena gangguan irigasi dan berhenti pada 1998.

Akibatnya, melansir situs Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), pemerintah harus mengeluarkan Rp 3,9 triliun untuk merehabilitasi lahan tersebut. Padahal, proyek PLG telah memakan anggaran Rp 1,6 triliun. Bukan hanya merugikan negara, kegagalan itu juga mengancam biodiversitas tanaman endemik, merusak habitat asli orangutan, dan menyebabkan kekeringan yang menyulut terjadinya kebakaran setiap tahun.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebanyak 134,2 ribu hektar hutan dan lahan terbakar di Kalimantan Tengah pada 2019. Angka itu menjadi yang terluas di Indonesia.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi