Advertisement
Advertisement
Analisis | Alarm Penurunan Kualitas Demokrasi Periode Kedua Jokowi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Alarm Penurunan Kualitas Demokrasi Periode Kedua Jokowi

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Persepsi publik menunjukkan setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf lebih tak demokratis. KontraS dan SAFEnet pun mencatat deretan kasus pembungkaman terhadap sipil yang kritis. Namun, Jubir Presiden, Fadjroel Rachman masih menganggap Jokowi tegak lurus menjalankan demokrasi.
Dimas Jarot Bayu
28 Oktober 2020, 09.01
Button AI Summarize

Setahun pertama masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin menunjukkan alarm penurunan kualitas demokrasi. Tampak dari hasil survei Indikator Politik Indonesia terkait persepsi publik atas demokrasi yang keluar pada Minggu (25/10).

Dari hasil survei tersebut, 62,4% responden atau mayoritas masih menyatakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik meski tidak sempurna. Namun, jumlah ini menurun dari Februari 2020. Saat itu 72,9% responden yang menyatakan demikian.   

Survei Indikator pun mencatat 36% responden menyatakan Indonesia menjadi kurang demokratis saat ini. Jumlahnya berbeda tipis dengan yang menganggap keadaan demokrasi tetap sama, yakni 37%. Lalu, hanya 17,7% responden yang menilai Indonesia menjadi lebih demokratis. Sisanya, 9,3% responden tidak menjawab.

“Ini adalah angka alarming, meski persepsi ini bisa benar atau salah. Apalagi persepsi bisa memengaruhi tindakan,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dalam pemaparan secara virtual, Minggu (25/10).

Lebih lanjut, 69.6% responden setuju bahwa sekarang warga semakin takut menyatakan pendapatnya. Hanya 25,6% responden yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Sebanyak 4,9% lainnya tidak menjawab.

Mayoritas (73,8%) responden pun setuju kini warga makin sulit berdemonstrasi. Hanya 21,1% responden yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Sisanya sebesar 5,1% responden tidak menjawab.

Kemudian, 57,7% responden setuju dengan pendapat bahwa aparat makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pilihan politik dengan penguasa. Sebanyak 36.5% responden tidak sepakat dengan pendapat tersebut. Sedangkan 5,8% responden tidak menjawab.

Persepsi publik yang menjadi alarm penurunan demokrasi dan kebebasan sipil tersebut tak berasal dari ruang hampa. Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menilainya muncul lantaran pembatasan terhadap ruang kebebasan sipil cukup banyak terjadi selama setahun pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Data KontraS menunjukkan, 157 peristiwa pelanggaran, pembatasan, maupun serangan terhadap kebebasan sipil terjadi sejak Oktober 2019 sampai September 2020. Rinciannya, pelanggaran terhadap hak asosiasi sebanyak empat kasus, hak berkumpul 93 kasus, dan hak berekspresi 60 kasus.

Serangan terhadap kebebasan sipil paling banyak berupa penangkapan, yakni 63 kasus. Pembubaran menjadi bentuk serangan terbanyak kedua dengan 55 kasus. Disusul oleh pelarangan 22 kasus, intimidasi 22 kasus, penganiayaan 16 kasus, persekusi lima kasus, dan sanksi sewenang-wenang satu kasus.

“Dari dua ruang yang tersedia, ruang digital dan ruang nyata, itu semua ada ancaman kebebasan sipil, sehingga wajar jika temuannya kalau orang akan takut menyatakan pendapat dan berdemonstrasi,” kata Rivanlee kepada Katadata.co.id, Senin (26/10).

Menurut Rivanlee, serangan terhadap kebebasan sipil di setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf lebih terstruktur bila dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Ini terlihat dari sejumlah kebijakan yang keluar untuk mengatur narasi di tengah masyarakat, misalnya Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi