Advertisement
Advertisement
Analisis | Rendahnya Akses Perbankan Bisa Ganjal Digitalisasi Ekonomi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Rendahnya Akses Perbankan Bisa Ganjal Digitalisasi Ekonomi

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Belum semua masyarakat Indonesia memiliki dan menggunakan layanan pembayaran digital. Transaksi nontunai selama tiga bulan terakhir masih minim. Ini berpotensi menghambat digitalisasi ekonomi.
Author's Photo
5 November 2020, 09.12
Button AI Summarize

Pandemi Covid-19 mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih ramah digital. Hasil survei konsumen Bank DBS pada Oktober 2020 menemukan, 66% masyarakat berencana beralih berbelanja di e-commerce setelah pandemi. Sebaliknya, hanya 24% yang berencana berbelanja di toko fisik usai pagebluk.

Dari sisi industri pun sama. Hasil survei DBS Digital Treasurer 2020 pun menyatakan bisnis dalam negeri menempati peringkat ke-7 dalam pemanfaatan digitalisasi di antara negara Asia Pasifik. Lembaga ini mencatat 26% perusahaan Indonesia telah mempunyai strategi jelas untuk masuk ke ranah digital.

Salah satu perusahaan yang telah berhasil memaksimalkan ranah digital selama pandemi Covid-19 adalah Bank Central Asia (BCA). Internet perbankan (i-banking) dan perbankan selular (m-banking) telah menopang nilai transaksinya dalam sembilan bulan terakhir. Keduanya tumbuh 4,1% dan 28,4% hingga September 2020 dibandingkan periode sama tahun lalu.

Sebaliknya, nilai transaksi cabang turun 13,3% dan anjungan tunai mandiri (ATM) anjlok 13,8%. Bank cabang hanya mengumpulkan Rp 9.213 triliun dan ATM sebanyak Rp 1.493 triliun.  

Pemerintah pada Agustus 2019 telah merampungkan proyek Palapa Ring yang berfungsi menyediakan koneksi internet pita lebar di 57 kabupaten/kota. Seluruhnya berada di daerah 3T (terluar, terdepan, dan terpencil) yang selama ini tak menjadi perhatian perusahaan seluler. Artinya, secara infrastruktur juga sudah mendukung.

Kondisi tersebut menjadi sinyal baik bagi Indonesia dalam mendigitalisasi ekonomi. Sebuah hal yang menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bisa mengerek ekonomi digital sekaligus mencapai inklusifitas keuangan. “Dengan digitaliasi, ekonomi tidak ada yang tertinggal,” katanya, Selasa (30/6).

Laporan e-Conomy SEA 2019, ekonomi digital Indonesia berpotensi mencapai US$ 133 miliar pada 2025. Menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Mengungguli Singapura yang kini menjadi primadona tujuan investasi digital dunia di kawasan.

Namun, Indonesia masih memiliki tantangan dari sisi kepemilikan masyarakat terhadap layanan pembayaran perbankan. Sebuah hal yang berpotensi menghambat proses transformasi, lantaran pembayaran dalam ekosistem digital membutuhkan kepemilikan akun perbankan.

Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) periode Oktober 2020 terhadap 1.155 responden pengguna internet di 33 provinsi menyatakan, 26,8% responden belum memiliki dan menggunakan layanan pembayaran perbankan dalam bentuk apapun.

Responden dari wilayah Bali dan Nusa Tenggara paling banyak belum memiliki dan menggunakan layanan perbankan dalam bentuk apapun, yakni 40,7%. Disusul Kalimantan dengan 37,8% dan Jawa sebesar 27%.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi