Advertisement
Advertisement
Analisis | Untung-Rugi Tak Naiknya Upah Minimum bagi Pemulihan Ekonomi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Untung-Rugi Tak Naiknya Upah Minimum bagi Pemulihan Ekonomi

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Keputusan pemerintah tak menaikkan upah minimum pada tahun depan bisa semakin melemahkan daya beli masyarakat. Di sisi lain, kebijakan itu dapat meringankan beban sektor usaha saat pandemi. Ujungnya, ekonomi pun bisa lekas pulih.
Dimas Jarot Bayu
6 November 2020, 08.53
Button AI Summarize

Pemerintah pusat melalui Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah memutuskan tidak menaikkan upah minimum pada tahun depan. Kebijakan tersebut ibarat buah simalakama bagi perekonomian nasional: daya beli masyarakat makin lemah, namun sektor usaha tidak makin tertekan oleh dampak pandemi covid-19.

Menaker mengatakan, keputusan ini telah melalui proses diskusi mendalam dan mempertimbangkan berbagai aspek di masa pandemi virus corona Covid-19. Termasuk faktor-faktor yang memberatkan dunia usaha.

"Ini adalah jalan tengah yang kami ambil dari hasil diskusi di Dewan Pengupahan Nasional. Kami harap para gubernur menjadikan ini sebagai referensi dalam menetapkan upah minimum,” kata Ida dalam keterangan tertulis dikutip Kamis (29/10).

Ida mengklaim 18 provinsi telah sepakat mengikuti keputusan tersebut, yakni: Jawa Barat, Banten, Bali, Aceh, Lampung, Bengkulu, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Kemudian, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Papua.

Sedangkan lima provinsi tak mengikuti keputusan pemerintah pusat, yakni: DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Mereka tetap menaikkan upah minimum pada tahun depan.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan besaran UMP 2021 sebesar Rp 4.416.816 atau naik 3,27% dibandingkan tahun ini. Lalu, Jawa Tengah sebesar 1.798.979 atau naik 3,27% dari Rp 1.742.015; Yogyakarta naik 3,54% menjadi Rp 1.765.000 dari Rp 1.704.608; Jawa Timur sebesar Rp 1.868.777 atau naik 5,65% dari Rp 1.768.777; dan Sulawesi Selatan sebesar Rp 3.165.876, naik 2% dari sebelumnya Rp 3.103.800.

Langkah pemerintah pusat mendapat penolakan dari kelompok buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Newa Wea mengatakan, tidak naiknya upah minimum akan semakin memberatkan buruh dalam kondisi kesulitan ekonomi di masa pandemi corona. Hal ini dinilainya bisa memengaruhi perekonomian Indonesia yang sedang anjlok.

Pendapat Gani tak berlebihan. Pendapatan masyarakat memang menurun di tengah pandemi corona yang terlihat dari data sejumlah lembaga survei.  Hasil survei Indikator per September 2020 menyatakan, 66,6% masyarakat mengaku pendapatannya menurun.  

Hasil survei Inventure Indonesia pun tak jauh beda. Pendapatan 67,6% responden berkurang selama pandemi corona. Lalu, 28,4% responden menyatakan pendapatan mereka sama saja. Hanya 4% responden yang justru mengalami peningkatan pendapatan.

Sementara, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2020 menunjukkan penurunan pendapatan terjadi di seluruh kelompok penghasilan. Tercatat 70,53% responden dalam kelompok berpendapatan rendah atau di bawah Rp 1,8 juta pendapatannya menurun. Lalu, pada 46,77% responden dalam kelompok berpendapatan Rp 1,8-3 juta.

Untuk kelompok berpendapatan Rp 3-4,8 juta, 37,19% responden menyatakan pendapatannya menurun. Kemudian, 31,67% responden dalam kelompok berpendapatan Rp 4,8-7,2 juta bernasib serupa. Terakhir, 30,34% responden dari kelompok berpendapatan tinggi mengakui pendapatannya berkurang.

Dampak buruk dari kondisi tersebut, adalah melemahnya daya beli masyarakat untuk hampir segala jenis kebutuhan. Berdasarkan hasil survei Indikator, 55% responden kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Lalu, 12,3% responden kesulitan membayar biaya sekolah.

Lebih lanjut, 11,5% responden mengaku kesulitan membeli kuota internet untuk sekolah daring. Kemudian, 10,5% kesulitan akibat kehilangan pekerjaan; 2,9% kesulitan membayar cicilan rumah; dan 6,4% kesulitan memenuhi kebutuhan lainnya. Sementara, 1,4% responden tidak menjawab.

Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi rumah tangga dan lembaga non-pemerintah akan terkontraksi lagi antara 1,5% sampai 3% pada kuartal III 2020. Pemerintah juga meramalkannya tumbuh -1% sampai -2,1% sepanjang 2020.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi