Advertisement
Advertisement
Analisis | Sulitnya Berinvestasi Properti Residensial saat Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Sulitnya Berinvestasi Properti Residensial saat Pandemi

Foto:
Minat masyarakat berinvestasi properti tinggi. Namun harga yang terus melambung dan pendapatan stagnan membuat masyarakat kian susah berinvestasi, khususnya saat pandemi.
Author's Photo
14 November 2020, 12.09
Button AI Summarize

Properti residensial dalam bentuk rumah, apartemen, maupun tanah terus menjadi incaran masyarakat. Bukan hanya untuk hunian, tapi juga instrumen investasi.

Survei konsumen Bank Indonesia (BI) menunjukkan 21% responden memilih instrumen investasi jenis ini pada Maret 2020. Tepat di bawah tabungan/deposito yang mencapai 45,3%.

Data Sistem Informasi Debitur (SID) BI pada April 2013—kini bank sentral sudah tidak menaunginya lagi—mencatat 35.298 debitur memiliki lebih dari satu Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sebanyak 947 debitur di antaranya bahkan memegang 9-12 KPR. Menunjukkan bahwa masyarakat membeli properti lebih sebagai alat investasi ketimbang tempat tinggal.  

Hal ini tak lepas dari harga properti yang terus meningkat dari waktu ke waktu, sehingga berpotensi memberi keuntungan bagi pemiliknya. Pada 2015, rata-rata indeks harga properti 187,43 poin. Angka ini meningkat menjadi 209,8 poin pada 2019.  

CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono menyatakan, sejak tahun 1970-an hingga kini, harga properti Indonesia tak pernah turun, khususnya residensial di pasar primer. Pasalnya, pengembang mampu menyiasati harganya.

Material bahan bangunan yang terpengaruh fluktuasi harga minyak turut menyumbang kenaikan harga properti. Faktor lokasi juga berpengaruh. Semakin strategis tempatnya, maka harganya semakin menjulang.

Direktur Penelitian dan Konsultasi Savills Indonesia Anton Sitorus pun mengakui bahwa pelaku sektor properti memang tak pernah menurunkan harga. Menurutnya, “harga turun itu aib. Bahkan saat krisis multidimensi tahun 1998 belum pernah terjadi penurunan. Harga turun itu resistensinya tinggi.” 

Meski demikian, kian mahalnya harga properti sekaligus membuatnya tak terjangkau masyarakat. Pasalnya, pendapatan masyarakat tak ikut meningkat. Data Bank Dunia menyatakan, pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia cenderung stagnan di kisaran 3,6-4% tiap tahunnya selama setengah dekade terakhir.   

Tercermin juga dari data survei konsumen BI yang menyatakan, pengguna KPR meningkat dari 74,2% pada kuartal I 2019 menjadi 78,4% di kuartal II 2020. Sebaliknya, yang membeli secara tunai di kisaran di kisaran 5,4-8,5% pada kuartal I 2019 hingga kuartal II 2020. Dengan kata lain, kemampuan tunai masyarakat membeli properti rendah. 

Apalagi perbankan semakin ketat menyalurkan KPR yang sejak April tahun lalu telah menunjukkan tren penurunan. Pada April 2020, pertumbuhan penyaluran KPR bank umum hanya 5,2% (YoY). Angka ini turun signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih tumbuh sekitar 13,4% (YoY). Per Agustus 2020, pertumbuhan KPR semakin menyusut menjadi 3,4%. 

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi