Advertisement
Advertisement
Analisis | Stigma Penyintas Covid-19 yang Bisa Memperpanjang Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Stigma Penyintas Covid-19 yang Bisa Memperpanjang Pandemi

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Penyintas Covid-19 dan keluarganya masih rentan stigma dari masyarakat, seperti menjadi bahan gunjingan, dikucilkan, hingga diberhentikan dari tempat kerja. Kondisi ini memperparah penanganan pandemi.
Author's Photo
17 November 2020, 17.00
Button AI Summarize

“Keluarga saya tidak boleh keluar, kakak-kakak saya setiap mengintip saja dibilang ‘kamu tidak boleh keluar’.”

Kalimat tersebut disampaikan Tri Maharani, seorang dokter spesialis pengobatan gawat darurat, terkait stigma dari orang sekitar yang menimpanya sebagai penyintas Covid-19 dan keluarganya. Padahal mengetahui dirinya terinfeksi Covid-19 sudah membuat galau.

“Saya meskipun seorang dokter spesialis, ketika hari itu terkena sakit Covid-19 yang tidak ada obatnya dan tidak tahu apakah saya hidup atau mati akhirnya, pasti ada kegalauan yang berat,” ujar kepala unit gawat darurat di Rumah Sakit Daha Husada, Kediri ini dalam Video Live Pemaparan Hasil Survei Stigma Covid-19 & Soft-Launch Komunitas Penyintas Covid-19 pada 26 Agustus silam.

Pengalaman Maharani dan keluarganya bukan satu-satunya. Kasus lain tergambar dalam survei Lapor Covid-19 yang bekerja sama dengan Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Survei ini terhadap 181 responden yang pernah berstatus suspek, probable, dan positif Covid-19.

Sebanyak 55,3% responden survei tersebut menyatakan mendapat stigma dalam bentuk menjadi buah bibir/diperbincangkan orang di sekitarnya. Mayoritas (42%) responden juga mengaku stigma serupa tertuju pada keluaraga/kerabatnya.  Lalu, 33,2% responden mengaku terkucilkan. Sebanyak 27,1% responden juga mengaku keluarga/kerabatnya mendapat perlakuan serupa.

Bentuk stigma lain terhadap penyintas dan keluarganya yang tergambar dalam survei tersebut, yakni: dijuluki penyebar/pembawa virus; perundungan di media sosial; ditolak menggunakan fasilitas umum; dibiarkan tidak menerima bantuan; diusir dari lingkungan tempat tinggal; dan diberhentikan dari pekerjaan.

Stigma terhadap penyintas Covid-19 dapat memperlambat proses penyembuhan, sebagaimana pendapat Psikolog Edward Andriyanto dalam diskusi daring Perjuangan Penyintas Melawan Covid-19 pada 10 Oktober lalu. Sebaliknya, dukungan dari orang-orang sekitar bisa membangkitkan hormon positif bagi pasien Covid-19.

Akibat lain dari stigma adalah masyarakat menolak tes Covid-19. Hasil survei Litbang Kompas yang dipublikasikan pada 1 November 2020 mendapatkan 127 responden menolak tes cepat dan usap Covid-19. Sebanyak 17,4% di antaranya mengaku karena khawatir positif, dikarantina, dan dikucilkan. Angka ini menjadi yang tertinggi kedua setelah alasan tidak perlu/merasa sehat.

Padahal, tes sangat penting untuk mendeteksi Covid-19. Baik orang yang bergejala, maupun orang tanpa gejala (OTG). Mengingat keduanya sama-sama berpotensi menularkan virus corona. Semakin sedikit masyarakat yang sadar melakukan tes Covid-19, semakin berpotensi terjadi kasus-kasus baru.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan Indonesia masih memiliki 55.274 kasus aktif Covid-19 sampai Kamis (12/11). Angka tersebut setara dengan 12,2% dari total kasus di Indonesia.   

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi