Advertisement
Advertisement
Analisis | Momentum Pertumbuhan Sektor Pertanian Akibat Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Momentum Pertumbuhan Sektor Pertanian Akibat Pandemi

Foto: 123RF
Pertanian menjadi salah satu sektor usaha yang tetap tumbuh positif di tengah pandemi Covid-19. Sektor usaha ini bisa menjaga ketahanan pangan nasional dan peningkatan ekonomi.
Dwi Hadya Jayani
18 November 2020, 12.50
Button AI Summarize

Pandemi Covid-19 telah membuat Indonesia mengalami resesi ekonomi. Negeri ini pun terancam terimbas krisis pangan dunia yang menjadi peringatan Badan Pangan Dunia (FAO). Presiden Joko Widodo pun telah meminta seluruh kepala daerah untuk mewaspadainya pada April lalu.

Indonesia memiliki peluang keluar dari kedua masalah tersebut dengan meningkatkan kinerja sektor pertanian. Pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi salah satu dari tujuh lapangan usaha yang tumbuh positif pada kuartal III 2020. Pertumbuhannya sebesar 2,15% secara tahunan (YoY).

Kontribusi pertanian, kehutanan, dan perikanan juga terbesar kedua terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni 14,68%. Hanya di bawah industri pengolahan yang berkontribusi 19,86%, tapi pertumbuhannya terkontraksi 4,31% (Y0Y). Hal ini menunjukkan pertanianlah yang relatif mengungkit pertumbuhan ekonomi di kuartal III tahun ini.

Pertanian juga satu-satunya sektor dengan tren ekspor cenderung konsisten mengalami peningkatan sejak Mei—dua bulan setelah Jokowi mengumumkan pasien pertama Covid-19—hingga Oktober tahun ini. Tercatat pertumbuhan di Oktober tertinggi, yakni 23,80% (YoY) dengan nilai US$ 0,42 miliar.

Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat serapan tenaga kerja pertanian paling tinggi per Agustus 2020. Dari 128,45 juta orang penduduk bekerja, 29,76% berada di sektor ini, tumbuh 2,23% (YoY). Lebih tinggi dari perdagangan dan industri pengolahan yang proporsinya masing-masing 19,23% dan 13,61%. 

Meski demikian, sektor pertanian masih memiliki sejumlah tantangan. Pertama, lahan yang terus berkurang. BPS mencatat luas lahan baku sawah merosot dari 8,1 juta hektar pada 2015 menjadi 7,5 juta hektar pada tahun lalu. Sementara, pertanian adalah sektor yang sangat bergantung kepada ketersediaan lahan.

Kedua, jumlah petani makin berkurang di sejumlah subsektor. BPS mencatat jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) padi turun dari 14,2 juta pada 2013 menjadi 13,2 juta pada 2018. Begitu juga perkebunan yang turun dari 12,8 juta pada 2013 menjadu 12,1 juta pada 2018. Subesktor lain yang turun adalah horikultura, palawija, dan kehutanan.

Ketiga, perubahan iklim yang salah satunya akibat emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Penelitian FAO mneyatakan sektor pertanian menjadi penyumbang GRK tertinggi. Sementara, data BPS menunjukkan GRK sektor pertanian Indonesia lebih tinggi dari limbah industri dengan pertumbuhan rata-rata 2,7% per tahun.

Semua masalah itu menyebabkan turunnya produksi pertanian. Salah satunya beras yang menurut catatan BPS terus menurun dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,3 juta ton setahun setelahnya dan 23 juta ton per Agustus 2020.

Selain itu, rasio ketergantungan impor bahan pangan meningkat. Kedelai misalnya, meningkat dari 72,6% pada 2018 menjadi 88,1% setahun setelahnya. Lalu, daging sapi dari 29,6% menjadi 34,7% pada rentang waktu yang sama.

Ketergantungan impor bahan pangan sangat berbahaya bagi ketahanan pangan masyarakat ke depannya. Hal ini tercermin dalam data Global Food Security Index (GFSI) dari The Economist Interlligence Unit yang masih menempatkan Indonesia di jajaran tiga terendah Kawasan Asia Tenggara, meskipun telah mengalami perbaikan poin.

Poin GFSI Indonesia pada 2019 adalah 62,6. Lebih tinggi dari lima tahun sebelumnya yang 46,7. Hanya lebih baik dari Kamboja dan Laos yang masing-masing 49.4 dan 49.1.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi