Pandemi Covid-19 telah memukul sepak bola Indonesia. Kompetisi Liga 1 yang menjadi kasta tertinggi harus berhenti pada 15 Maret lalu atau setelah tiga pekan sempat berjalan. Alhasil, kondisi finansial 18 klub peserta terpukul dan berimbas kepada para pemain sepak bola tersebut.
PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator Liga 1 sempat berencana meneruskan kompetisi pada Oktober lalu, tapi terkendala izin dari kepolisian karena dapat menimbulkan kerumunan.
Opsi laga tanpa penonton pun susah terwujud. Pasalnya, pendukung klub belum tentu mematuhi peraturan dan bisa menambah beban operasional klub, seperti untuk biaya sewa stadion.
Penonton adalah “kartu joker” bagi pendapatan klub sepak bola di Indonesia, seperti halnya pendapat Presiden Persebaya Surabaya, Azrul Ananda dalam video berjudul Bisnis Sepak Bola Bersama Azrul Ananda yang diunggah di kanal YouTube resmi klubnya.
Pasalnya, mendapat sponsor sangat sulit meskipun bernilai besar bagi pendapatan klub. “Sangat jarang ada klub di Indonesia yang bisa mendapatkan pemasukan sponsor lebih dari Rp 10 miliar,” kata Azrul.
Hal senada disampaikan CEO PSIS Semarang, Yoyok Surkawi, seperti dilansir CNN Indonesia. Menurutnya, “Kompetisi sepak bola di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan liga-liga di Eropa yang punya hak komersial tinggi. Klub yang basis suporternya kecil tidak akan bergantung dari hasil penjualan tiket.”
Sepanjang musim kompetisi Liga 1 pada 2019, total penonton di stadion tercatat hampir mencapai 2,9 juta orang. Persija Jakarta memimpin dengan 413,4 ribu orang dari 17 laga kandang di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Selanjutnya, dengan jumlah laga kandang yang sama, PSS Sleman ditonton oleh 322,5 ribu orang di Stadion Maguwoharjo. Di posisi ketiga adalah Bali United FC dengan 297,1 ribu penonton di Stadion Kapten I Wayan Dipta.
Harga tiket setiap pertandingan berkisar antara Rp 35-75 ribu. Jika semua disamaratakan Rp 55 ribu, mengambil median dari kisaran tersebut, maka satu klub sepak bola bisa memperoleh sekitar Rp 58 juta sampai Rp 1,3 miliar per pertandingan di stadion yang jadi markasnya. Nilai itulah yang tak akan bisa tercapai jika laga berlangsung tanpa penonton. Begitu juga hilang dan mengurangi pendapatan klub dalam sembilan bulan terakhir.
Bali United FC salah satu yang terkendala finansial selama pandemi Covid-19. Berdasarkan laporan keuangan PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) yang menaungi klub ini, pendapatan hanya Rp 45,8 miliar hingga semester I-2020. Angka ini turun 37% dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya. Mereka juga merugi hingga Rp 12,5 miliar.
Padahal, Bali Bintang Sejahtera tidak hanya mengandalkan pemasukan dari manajemen klub juara Liga 1 tahun lalu tersebut. Melainkan juga menjalankan sport agency dan segmen usaha lainnya, misalnya kafe, yang kontribusinya lebih besar terhadap total pendapatan perusahaan pada 2019. Sebuah hal yang belum tentu dimiliki klub lain.
Bali United FC pun menjadi klub nilai pasar (market value) tertinggi di Liga 1, yakni sekitar Rp 83 miliar. Angka itu jauh berbeda dari Persiraja Banda Aceh dan Persik Kediri yang masing-masing senilai Rp 19,4 miliar dan Rp 14,7 miliar. Dengan kata lain, kondisi keuangan klub lain bisa lebih buruk. Apalagi yang tak memiliki basis pendukung besar.
Presiden Persik Kediri Abdul Hakim Bafagih telah mengakui kondisi keuangan klubnya sangat sulit. Ia pun menilai subsidi dari PT LIB yang selama pandemi menjadi andalan banyak klub tak cukup untuk menutup beban keuangan. Ia pun mengusulkan keringanan lain, seperti izin merenegoisasi kontrak pemain dan pelatih.
“Itu wajar dilakukan. Seluruh sektor industri juga melakukan hal yang sama,” katanya melansir Antara.
PT LIB memberikan subsidi setotal Rp 5,2 miliar kepada seluruh klub Liga 1. Sebanyak Rp 520 juta telah diberikan kepada seluruh klub pada termin pertama. Pencairan termin kedua dengan nilai sama telah dilakukan pada akhir Mei lalu.
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pun telah memberikan izin klub menggaji pemain, pelatih, dan ofisial tim sebesar 25% dari kontrak selama libur kompetisi. Selain Bali United FC dan Persib Bandung yang hanya memotong 50% gaji pemainnya, klub lain menjalankan keputusan tersebut.
Pemain pada akhirnya menyiasati keputusan tersebut dengan membuka usaha dan bermain di laga antarkampung (tarkam). Pemain Persib Bandung, Kim Jeffrey Kurniawan, misalnya, berjualan roti Jerman. Sementara yang bermain di tarkam seperti Kapten Persela Lamongan, Eky Taufik yang mengaku kepada CNN Indonesia bisa meraih Rp 800 ribu- Rp 2 juta untuk tiap pertandingan.
Namun, terjunnya para pemain profesional di laga tarkam berisiko membuat mereka cedera lantaran lawan yang belum tentu memiliki teknik bermain baik. Laga tarkam juga tak memiliki jaminan perawatan kesehatan bagi pemain yang cedera. Sehingga, karier pemain profesional sangat dipertaruhkan dalam laga tarkam. Termasuk juga kualitas liga jika banyak kehilangan pemain profesional.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memperkirakan kerugian ekonomi dari terhentinya kompetisi sepak bola di dalam negeri mencapai Rp 2,7 triliun sampai Rp 3 triliun dalam satu tahun.
“Dampak ekonomi ini menjadi besar karena sepak bola sudah menjadi industri dan menggerakkan kesempatan kerja hingga 24 ribu orang,” kata Kepala Kajian Iklim Usaha dan Rantai Global LPEM FEB UI Mohamad Dian Revindo pada 26 Juni 2020, seperti dikutip dari situs PSSI.
LIB kini berencana melanjutkan pertandingan sepak bola musim kompetisi 2020 pada Februari 2021, tetapi kepastiannya masih bergantung pada situasi pandemi Covid-19 dan izin dari kepolisian. Maka, seluruh pihak harus bekerja keras bersama menyudahi pandemi agar sepak bola dalam negeri segera bangkit dari keterpurukan. Sebagaimana kata Diego Maradona, “keberhasilan adalah karena kerja keras. Keberuntungan tak memiliki andil apapun pada kesuksesan.”
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi