Advertisement
Advertisement
Analisis | Robohnya Industri Sepak Bola Nasional Saat Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Robohnya Industri Sepak Bola Nasional Saat Pandemi

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Libur kompetisi sejak 15 Maret lalu membuat klub sepak bola merugi miliaran rupiah. Hal ini berimbas pada gaji pemain, pelatih, dan ofisial lain. Sebagian pemain terpaksa beralih ke liga tarkam.
Andrea Lidwina
28 November 2020, 14.40
Button AI Summarize

Pandemi Covid-19 telah memukul sepak bola Indonesia. Kompetisi Liga 1 yang menjadi kasta tertinggi harus berhenti pada 15 Maret lalu atau setelah tiga pekan sempat berjalan. Alhasil, kondisi finansial 18 klub peserta terpukul dan berimbas kepada para pemain sepak bola tersebut.

PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator Liga 1 sempat berencana meneruskan kompetisi pada Oktober lalu, tapi terkendala izin dari kepolisian karena dapat menimbulkan kerumunan.

Opsi laga tanpa penonton pun susah terwujud. Pasalnya, pendukung klub belum tentu mematuhi peraturan dan bisa menambah beban operasional klub, seperti untuk biaya sewa stadion.

Penonton adalah “kartu joker” bagi pendapatan klub sepak bola di Indonesia, seperti halnya pendapat Presiden Persebaya Surabaya, Azrul Ananda dalam video berjudul Bisnis Sepak Bola Bersama Azrul Ananda yang diunggah di kanal YouTube resmi klubnya.

Pasalnya, mendapat sponsor sangat sulit meskipun bernilai besar bagi pendapatan klub. “Sangat jarang ada klub di Indonesia yang bisa mendapatkan pemasukan sponsor lebih dari Rp 10 miliar,” kata Azrul.

Hal senada disampaikan CEO PSIS Semarang, Yoyok Surkawi, seperti dilansir CNN Indonesia. Menurutnya, “Kompetisi sepak bola di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan liga-liga di Eropa yang punya hak komersial tinggi. Klub yang basis suporternya kecil tidak akan bergantung dari hasil penjualan tiket.”

Sepanjang musim kompetisi Liga 1 pada 2019, total penonton di stadion tercatat hampir mencapai 2,9 juta orang. Persija Jakarta memimpin dengan 413,4 ribu orang dari 17 laga kandang di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Selanjutnya, dengan jumlah laga kandang yang sama, PSS Sleman ditonton oleh 322,5 ribu orang di Stadion Maguwoharjo. Di posisi ketiga adalah Bali United FC dengan 297,1 ribu penonton di Stadion Kapten I Wayan Dipta.

Harga tiket setiap pertandingan berkisar antara Rp 35-75 ribu. Jika semua disamaratakan Rp 55 ribu, mengambil median dari kisaran tersebut, maka satu klub sepak bola bisa memperoleh sekitar Rp 58 juta sampai Rp 1,3 miliar per pertandingan di stadion yang jadi markasnya. Nilai itulah yang tak akan bisa tercapai jika laga berlangsung tanpa penonton. Begitu juga hilang dan mengurangi pendapatan klub dalam sembilan bulan terakhir.  

Bali United FC salah satu yang terkendala finansial selama pandemi Covid-19. Berdasarkan laporan keuangan PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) yang menaungi klub ini, pendapatan hanya Rp 45,8 miliar hingga semester I-2020. Angka ini turun 37% dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya. Mereka juga merugi hingga Rp 12,5 miliar.

Padahal, Bali Bintang Sejahtera tidak hanya mengandalkan pemasukan dari manajemen klub juara Liga 1 tahun lalu tersebut. Melainkan juga menjalankan sport agency dan segmen usaha lainnya, misalnya kafe, yang kontribusinya lebih besar terhadap total pendapatan perusahaan pada 2019. Sebuah hal yang belum tentu dimiliki klub lain.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi