Advertisement
Advertisement
Analisis | Sengkarut Data Penanganan Covid-19 di Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Sengkarut Data Penanganan Covid-19 di Indonesia

Foto: 123RF
Pembatasan pergerakan masyarakat tidak berjalan maksimal karena terbentur persoalan data. Pemerintah juga dinilai terlambat mengajak menerapkan protokol kesehatan sehingga pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum terkendali.
Andrea Lidwina
13 Januari 2021, 11.34
Button AI Summarize

Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat bersyukur karena Indonesia mampu mengelola pandemi Covid-19. Kewaspadaan dan penanganan kesehatan telah mengendalikan penyebaran virus, pun ekonomi mulai membaik pada kuartal III-2020. Hal itu disampaikannya dalam perayaan HUT ke-48 PDI Perjuangan pada 10 Januari lalu.

Namun, data Kementerian Kesehatan menunjukkan kondisi sebaliknya. Tingkat kepositifan semakin jauh dari ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5%. Angkanya yang sekitar belasan persen pada Oktober dan November 2020 meningkat di kisaran 20% menjelang akhir tahun, bahkan menyentuh 31,1% pada 11 Januari 2021. Artinya, satu dari tiga orang yang telah menjalani tes virus corona kini teridentifikasi positif.

Kasus aktif di Indonesia tercatat sebanyak 123.636 kasus pada awal pekan kedua Januari 2021. Jumlah itu bukan hanya tertinggi di Asia Tenggara, tetapi juga setara dengan 1,8 kali lipat akumulasi kasus aktif 10 negara lainnya di kawasan tersebut. Hal ini menyebabkan rasio keterisian rumah sakit secara nasional mencapai 63,1% per 7 Januari, melebihi standar WHO sebesar 60%.

Kasus kematian pun terus meningkat setiap hari. Rata-ratanya sebesar 205 orang per hari dalam satu pekan terakhir, naik signifikan dibandingkan periode yang sama pada Oktober (99 orang), November (82 orang), dan Desember (147 orang). Rasio kematian akibat virus corona di Indonesia juga masih lebih tinggi dari rerata global, yakni 2,9% berbanding 2,1%.

Infografik_Krisis rumah sakit covid-19
Infografik_Krisis rumah sakit covid-19 (Katadata)

Kondisi tersebut bisa terjadi setidaknya karena tiga hal. Pertama, sengkarut pendataan Covid-19.  KawalCOVID19 mencatat rata-rata kasus baru dalam pengumuman pemerintah pusat sebanyak 3.970 kasus per hari pada Oktober, sedangkan pemerintah daerah 4.054 kasus atau berbeda 2,1%. Selisih itu pun bertambah lebar menjadi 8,9% dan 11,5% pada dua bulan berikutnya.

Perbedaan serupa terjadi pada pelaporan kasus sembuh dan kematian. Dalam tiga bulan terakhir, kesenjagan data kasus sembuh terlebar terjadi pada Desember 2020, yakni 17,8%. Rerata dalam laporan pemerintah pusat sebanyak 5.180 kasus per hari, sedangkan pemerintah daerah 6.301 kasus per hari.

Sementara itu, selisih laporan kasus kematian harian mencapai 31% pada November, yakni 103 orang berdasarkan data pemerintah pusat berbanding 149 orang dari pemerintah daerah.

Pemerintah juga tak memasukkan suspek yang meninggal dalam data kematian Covid-19 di Indonesia. Di DKI Jakarta, misalnya, jumlah korban meninggal sepanjang Oktober-Desember lalu sebanyak 1.556 orang. Namun, pemakaman dengan protap Covid-19 pada periode yang sama mencapai 4.360 orang. Ini berarti terjadi selisih angka antara kematian berstatus terduga positif (hasil tes belum keluar) atau memiliki gejala virus corona dan yang telah terkonfirmasi.

Menurut Iqbal Elyazar dkk. dalam riset Quantifying the dynamics of COVID-19 burden and impact of interventions in Java, Indonesia (2020), memperhitungkan kematian dari kasus terduga Covid-19 bisa membantu menunjukkan awal mula dan penyebaran virus. Sebaliknya, mengabaikannya justru akan menambah beban yang tidak terdiagnosis dan mengaburkan efektivitas langkah intervensi pemerintah. Dampak itu berlaku pula pada sengkarut data pemerintah pusat dan daerah.

Pemerintah memang cenderung menyepelekan data Covid-19. Ketika kasus terus melonjak, pemerintah tetap bersikeras menjalankan Pilkada 2020 secara serentak hanya dengan penyesuaian pada model kampanye yang terbatas. Sementara pemilihan tetap secara langsung yang berimplikasi pada kerumunan.

Selain itu, pemerintah pun setengah hati membatasi pergerakan masyarakat saat libur akhir tahun. Padahal, belum ada tanda kasus Covid-19 nasional melandai. Akibatnya, total kasus bertambah sampai 10 ribu sepekan setelahnya. Kini, total kasus sudah lebih dari 800 ribu orang.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi