Advertisement
Analisis | Pandemi Mengubah Masa Depan Peta Pasar Tenaga Kerja - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Pandemi Mengubah Masa Depan Peta Pasar Tenaga Kerja

Foto: 123RF
Pandemi Covid-19 membuat perusahaan-perusahaan di Indonesia mulai melakukan digitalisasi. Kondisi ini akan meningkatkan kebutuhan tenaga terampil di bidang teknologi.
Author's Photo
15 Januari 2021, 07.46
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pandemi Covid-19 berdampak kepada masa depan pasar tenaga kerja Indonesia. Ekonomi yang buruk dan pembatasan pergerakan manusia, membuat perusahaan mulai mengadopsi teknologi untuk tetap bertahan. Posisi kerja terkait hal itu berpotensi meningkat setelah pandemi.

Sejumlah daerah di Indonesia menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai April 2020 sampai saat ini untuk memutus penularan virus corona. Namun, hal ini berdampak kepada menurunnya permintaan yang tercermin dari rendahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat konsumsi rumah tangga terkontraksi selama dua kuartal berturut-turut pada 2020. Pada kuartal II terkontraksi 5,52% secara tahunan (YoY). Lalu, terkontraksi 4,04% (YoY).

Akibatnya, perusahaan merugi sebagaimana dalam hasil survei Kementerian Ketenagakerjaan pada Agustus 2020. Dari 1.105 perusahaan yang menjadi responden, 47,4% di antaranya atau mayoritas mengaku pandemi Covid-19 merugikan ekonomi mereka. Sebanyak 40,6% bahkan menyatakan pandemi sangat merugikan.

Sebaliknya, hanya 0,8% yang mengaku pandemi Covid-19 tetap menguntungkan dan 0,1% menyatakan sangat menguntungkan.

Korelasi permintaan dengan pendapatan perusahaan juga tercermin dalam hasil survei Kemenaker tersebut. Sebanyak 22,8% perusahaan mengaku mengalami penuruan permintaan sebesar 81-100%. Jumlah responden yang mengaku keuntungannya menurun 81-100% pun sama.

Demi tetap bertahan, perusahaan di Indonesia melakukan pelbagai langkah. Menurut hasil survei World Economic Forum (WEF) pada Oktober 2020, langkah paling banyak dilakukan adalah membuat kebijakan bekerja dari rumah. Hal ini untuk memangkas biaya operasional di kantor seperti listrik, sekaligus untuk menghindari terjadinya klaster Covid-19 kantor.

Tren bekerja dari rumah ini pun selaras dengan yang terjadi secara global. WEF dan Ipsos dalam surveinya pada Desember 2020 mencatat 52% pekerja global bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19. Kolombia menjadi negara dengan persentase tertinggi di dunia pekerja bekerja dari rumah, yakni 74%.

Langkah perusahaan di Indonesia yang paling banyak selanjutnya dalam survei WEF untuk menghadapi pandemi adalah digitalisasi dan otomatisasi. Kedua langkah tersebut untuk menyongsong era disrupsi teknologi, khususnya setelah pandemi Covid-19. Sebuah hal yang juga menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia semakin mantap menggunakan teknologi dalam proses produksi.

Terkait dengan langkah tersebut, WEF mencatat sepuluh posisi kerja yang berpotensi paling banyak dibutuhkan perusahaan usai pandemi. Lima tertinggi adalah data analyst and scientists, spesialis big data, spesialis AI dan machine learning, digital marketing and strategy specialist, dan renewable energy engineers.

Survei Kemenaker pun menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda. Tiga pekerjaan teratas yang paling dibutuhkan perusahaan usai pandemi yakni: profesional penjualan, pemasaran dan humas; pekerja penjualan lainnya; dan, teknisi operasi TIK dan pendukung pengguna.

Upaya digitalisasi tersebut berkorelasi pula dengan keterampilan pekerja yang paling banyak dibutuhkan usai pandemi. Versi hasil survei Kemenaker yang tertinggi adalah keterampilan teknologi dengan 26,9% perusahaan mengaku membutuhkannya.

Hal itu selaras dengan survei WEF bahwa mayoritas perusahaan di Indonesia akan mengadopsi ragam teknologi usai pandemi, seperti internet of things (IOT), enkripsi dan keamanan siber, dan komputasi awan.  

Dua langkah lain perusahaan di Indonesia untuk berdamai dengan pandemi dan masa setelahnya dalam survei WEF, adalah mengurangi tenaga kerja dan pelatihan peningkatan keterampilan.

Perihal pengurangan tenaga kerja, BPS mencatat 11,63% perusahaan yang melakukannya sepanjang Juli-September 2020. Lembaga ini pun mencatat jumlah iklan lowongan pekerjaan terus menurun dari 34.056 pada kuartal I 2020 menjadi hanya 11.427 di triwulan ketiga tahun yang sama.

Untuk pelatihan peningkatan keterampilan, berdasarkan hasil survei Kemenaker, mayoritas (28,2%) perusahaan mengaku membutuhkan di bidang teknologi. Lalu, pelatihan pelayanan dan jasa (14,8%), teknisi (14,5%), soft-skill/emosional (9,1%), dan pemasaran (9,1%).

Dalam survei WEF, secara rata-rata 28,5% perusahaan di Indonesia mengaku membutuhkan lebih dari setahun untuk memutakhirkan keterampilan pegawainya. Hanya 17,1% yang menyatakan membutuhkan waktu kurang dari sebulan.

Tantangan dari perubahan lanskap pasar tenaga kerja di Indonesia usai pandemi adalah pada demografi angkatan kerja. WEF mencatat tingkat kemampuan digital angkatan kerja Indonesia hanya 60,6%. Angka ini jauh dari Singapura yang mencapai 77% dan menduduki peringkat pertama di Asia.

Keadaan tersebut berpotensi membuat tak semua angkatan kerja mampu mengakses pekerjaan di masa mendatang. Jumlah pengangguran akibat tenaga kerja tak terserap bisa semakin tinggi. Sedangkan, BPS mencatat pengangguran di Indonesia bertambah 2,67 juta menjadi 9,77 juta orang per Agustus 2020 akibat pandemi Covid-19.  

Selain itu, berpotensi pula menghambat perusahaan mengadopsi teknologi untuk pengembangan bisnis di tengah revolusi industri keempat yang berpengaruh terhadap kinerja perekonomian nasional. Padahal, untuk dapat memulihkan perekonomian usai resesi butuh dorongan kinerja industri selain stimulus dari pemerintah.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai perlu mempersiapkan tenaga kerja yang siap pakai untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Salah duanya melalui pendidikan teknis dan peningkatan keterampilan pada angkatan kerja.

“Dengan begitu tenaga kerja Indonesia akan mampu bersaing,” kata Bambang seperti dilansir Antara.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi