Setelah menimba ilmu di bangku sekolah dan kuliah, setiap anak muda berharap dapat segera masuk ke dunia kerja. Namun, harapan itu tak mudah diwujudkan karena terbentur terbatasnya lapangan kerja atau permodalan untuk membangun usaha sendiri. Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir satu tahun, semakin menipiskan harapan calon angkatan kerja tersebut.
Salah satu contohnya, Pradana (23 tahun) yang menyandang gelar sarjana Hubungan Internasional dari salah satu universitas swasta di Jakarta pada Februari 2020 lalu.
Namun, usia produktif dan gelar sarjana ternyata tak mampu membuat Pradana lekas mendapat pekerjaan. Ia mengaku susah menemukan lowongan pekerjaan di tengah pandemi Covid-19, khususnya yang sesuai dengan kemampuan dan gelar sarjananya.
Masih mendapati perusahaan membuka lowongan pekerjaan di tengah ekonomi yang terpukul pandemi adalah berkah tersendiri. Kesempatan itu makin sempit. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah iklan lowongan pekerjaan turun 66% dari 34.056 pada kuartal I-2020 menjadi 11.427 pada kuartal III-2020.
Pradana masih menganggur sampai saat menceritakan nasibnya ke reporter Katadata.co.id, Kamis (28/1). “Malu ke orangtua masih nganggur,” katanya menyimpulkan kondisinya saat ini.
Kisah Pradana adalah satu gambaran pandemi Covid-19 menghambat pemanfaatan bonus demografi yang kini sedang dinikmati Indonesia. Hasil Sensus Penduduk 2020 mencatat, 70,72% dari 270,2 juta penduduk negeri ini berada dalam usia produktif (15-64 tahun). Persentase itu jauh meningkat dibandingkan pada 1971 yang hanya 53,39%.
Bonus demografi tersebut menambah jumlah angkatan kerja di Indonesia. Pada Agustus 2020, jumlah angkatan kerja naik 1,74% secara tahunan (year on year/yoy). Namun, sekali lagi, kondisi ekonomi yang sulit selama pandemi membuat seluruhnya tak dapat terserap. Sebaliknya, pengangguran justru meningkat.
BPS mencatat angka pengangguran meningkat 37,61% (yoy) dan menurunkan jumlah penduduk yang bekerja sebesar 0,24% (yoy). Penduduk usia muda pun menjadi yang paling terdampak. Rasionya, 28,2% dari total pengangguran berusia 20-24 tahun, 16,6% (15-19 tahun), dan 16,2% (25-29 tahun).
Peningkatan pengangguran lantaran banyak perusahaan di dalam negeri mengurangi pegawai selama pandemi. Hasil survey BPS berjudul Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha Jilid 2 menunjukkan, sebanyak 11,63% perusahaan melakukan jumlah karyawan yang bekerja.
Farah (26) adalah salah satu yang kehilangan pekerjaan di tengah pandemi. Ia sudah lebih kurang empat tahun bekerja di salah satu jejaring perusahaan ritel pakaian di Surabaya. Namun, pembatasan sosial berskala besar yang berlaku di kota itu pada pertengahan tahun lalu, membuat omzet tempatnya bekerja berkurang.
Ganjalan lain terhadap pemanfaatan bonus demografi, adalah pandemi membuat kualitas angkatan kerja terancam menurun. Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 mencatat, per 27 Januari 2021, mayoritas penduduk yang menderita Covid-19 di dalam negeri berusia 19-59 tahun. Persentase terbanyak di rentang usia 31-45 tahun dengan 30% dari total kasus nasional.
Mereka yang menderita Covid-19 berpeluang mengidap Long Covid-19, sebuah sindrom yang menyebabkan penyintas tak bisa pulih sepenuhnya. Riset dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention) CDC Amerika Serikat pada Juli 2020 menjelaskan, penderita Long Covid-19 terjadi di semua usia, meskipun usia di atas 50 tahun mendominasi.
Tidak sedikit pula penyintas usia muda yang mengalaminya. Riset tersebut menemukan 26% responden berusia 18-34 tahun dan 32% berusia 35-49 tahun mengalami Long Covid-19.
Vina (27) adalah salah satu penyintas muda di dalam negeri yang mengalami Long Covid-19. Ia masih mengidap batuk, sesak napas, kemampuan indera perasa hilang, dan kelelahan usai enam bulan sembuh.
“Itu sampai sekarang,” kata Vina kepada Katadata.co.id, Senin (18/1).
Bayangkan para pelajar di sekolah tata boga atau pembuat parfum kehilangan indera perasa seperti yang dialami Vina. Mereka akan kehilangan kemampuan vital dalam pekerjaannya. Masa depan dengan pekerjaan impian berpeluang lenyap dari mereka. Sebaliknya, paling buruk bisa tetap menganggur di usia produktifnya.
Pandemi juga membuat kualitas pendidikan anak terganggu. Padahal, mereka adalah bagian dari stok bonus demografi yang menurut analisis Statistik Sosial: Bonus Demografi dan Pertumbuhan Ekonomi akan mencapai puncaknya pada 2025. Pendidikan sangat penting bagi kualitas mereka sebagai angkatan kerja di masa depan.
Hasil survey Wahana Visi Indonesia mendapati 3,6% responden orangtua merelakan anaknya bekerja saat pandemi Covid-19. Sebanyak 37% responden anak pun mengaku tidak bisa mengatur waktu belajar selama pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sementara, 30% anak mengaku kesulitan memahami pelajaran dan 21% mengaku tidak memahami instruksi guru.
Seluruh problematika pembelajaran pada anak di masa pandemi tersebut berpotensi mengurangi kualitas kognitif mereka. Lebih jauh lagi berpotensi mengurangi peluang mereka meneruskan pendidikan ke jenjang tinggi. Tanpa pendidikan tinggi, mereka berpeluang berakhir hanya sebagai buruh murah.
BPS mencatat pada Agustus 2019, semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin tinggi rata-rata upah yang diterima pekerja. Rata-rata upah pekerja lulusan universitas Rp 4,4 juta. Sebaliknya, tamatan SD hanya Rp 1,8 juta. Upah murah akan membuat mereka sulit keluar dari kemiskinan.
Anak pun tidak mendapatkan kesehatan yang baik sehingga selama pandemi, semakin banyak anak berisiko mengalami malnutrisi akut dan kronis. Hal ini lantaran seperti dalam survei Wahana Visi Indonesia, 19% rumah tangga tidak memiliki jaminan kesehatan dan 54% lain tidak mengakses layanan kesehatan ibu dan anak.
Indonesia masih memiliki peluang memperbaiki kondisi buruk akibat pandemi dan memanfaatkan bonus demografi dengan baik. Caranya dengan memperbaiki kualitas pendidikan, kesehatan dan memberi akses pekerjaan layak seperti saran United Nations Population Fund (UNFPA).
Korea Selatan bisa menjadi cotoh baik untuk hal itu. Menkominfo dalam laporannya berjudul Siapa Mau Bonus? Peluang Demografi Indonesia menyatakan, Korea Selatan yang sempat terpuruk dalam kemiskinan akibat Perang Korea (1950-1953) mampu bangkit dengan investasi besar di pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, dan penelitian dan pengembangan (Litbang).
Dalam kurun waktu 46 tahun dari 1962 hingga 2008, Korea Selatan mengalami kenaikan PDB 400 kali lipat. Korean Wave menjadi salah satu contoh nyata dalam pengembangan industri yang dibangun oleh usia produktif yang kreatif.
Selain Korea Selatan, mengutip Republika, Tiongkok berhasil mengarahkan industri rumahan untuk memproduksi komponen peralatan elektronika sehingga pengangguran menurun.
Bila Indonesia tak berusaha semaksimal mungkin mengelola bonus demografi, maka permasalahan serius seperti tingkat pengangguran yang tinggi, ekonomi melambat, naiknya tingkat kemiskinan, dan tingginya tingkat kriminalitas bisa terjadi. Hal ini sebagaimana termaktub dalam jurnal berjudul Mengoptimalkan Bonus Demografi untuk Mengurangi Tingkat Kemiskinan di Indonesia.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi