Advertisement
Advertisement
Analisis | Peluang Bangkitnya Industri Tekstil Indonesia karena Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Peluang Bangkitnya Industri Tekstil Indonesia karena Pandemi

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Industri tekstil dan pakaian jadi terpuruk selama pandemi Covid-19. Namun, sektor ini berpeluang bangkit melalui ekspor alat kesehatan, seperti APD dan masker.
Dimas Jarot Bayu
3 Maret 2021, 11.43
Button AI Summarize

Ekspor alat kesehatan berpotensi besar membantu pemulihan industri tekstil dan pakaian jadi yang terpuruk selama pandemi Covid-19. Namun, potensi ini belum mampu dimaksimalkan.

Kementerian Perindustrian mencatat pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi minus 8,8% secara tahunan (YoY) pada 2020. Padahal, sektor ini terus tumbuh positif dalam rentang 2017-2019. Pada 2017, pertumbuhannya tercatat sebesar 3,83%. Lalu, naik menjadi 8,73% pada 2018 dan menjadi 15,35% pada 2019.

Penyebab kontraksi pada tahun lalu, salah satunya adalah permintaan yang menurun akibat perubahan pola konsumsi masyarakat. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni 2020 lalu, konsumsi masyarakat untuk kesehatan meningkat 73,3% dan bahan makanan 65,8% dibandingkan sebelum pandemi. Sebaliknya, untuk kebutuhan lain cenderung menurun.

Menjelang lebaran tahun lalu misalnya, dalam pemberitaan Katadata.co.id sebelumnya, pengelola Pasar Beringharjo di Yogyakarta dan Pasar Tanah Abang di Jakarta menyatakan penjualan pakaian jadi menurun.

Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redwa Wirawasta, pada 20 Mei 2020 lalu pun menyatakan kepada Katadata.co.id bahwa penjualan benang menjelang lebaran tak sampai 5% dari masa normal.

Di sisi lain, ekspor industri tekstil dan pakaian jadi tercatat minus 17% (YoY) pada 2020. Satu hal yang menunjukkan pasar luar negeri surut. Dampak dari penurunan kinerja sektor ini, adalah berkurangnya jumlah tenaga kerja hingga 13% (YoY) pada tahun lalu.

Meski demikian, industri tekstil dan pakaian jadi masih berpeluang bangkit. Salah satunya dengan memanfaatkan ekspor alat kesehatan seperti alat pelindung diri (APD) dan masker yang menjadi bagian dari produk industri ini.

Potensi dari ekspor lantaran kapasitas produksi nasional lebih besar dari kebutuhan dalam negeri. Hal ini pula yang disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada 24 Februari 2021 lalu.  

Berdasarkan data Dashboard Monitoring Alat Kesehatan (DMA) Kementeria Perindustrian, kapasitas produksi APD (coverall-medical) tercatat sebanyak 39,6 juta potong per bulan atau 356,4 juta per tahun.

Untuk kapasitas produksi pakaian bedah atau surgical gown sebanyak 24,9 juta potong per bulan atau 224,4 juta potong per tahun. Lalu, masker medis mencapai 405,9 juta potong per bulan atau 3,7 miliar per tahun. Sementara, masker N95 sebanyak 360 ribu potong per bulan atau 3,2 juta potong per tahun.

Proyeksi kebutuhan nasional untuk penanganan pandemi Covid-19 hingga akhir 2021, berdasarkan data DMA, tercatat lebih kecil. Untuk APD sebesar 14,9 juta potong, pakaian bedah 7,5 juta potong, dan masker bedah 176,6 juta potong. Hanya masker N95 yang kebutuhannya melebihi kapasitas produksi, yakni 11,5 juta potong.

Sehingga, Indonesia diperkirakan surplus APD 341,5 juta potong, pakaian bedah 216,8 juta potong, dan masker bedah 3,4 miliar potong hingga akhir 2021. Namun, untuk masker N95 akan deficit 8,3 juta potong.

Dari surplus tersebut, potensi nilai ekspor alat kesehatan Indonesia mencapai US$ 4,54 miliar. Rinciannya, APD sebesar US$ 3,16 miliar, pakaian bedah US$ 618,03 juta, dan masker bedah US$ 764,69 juta.

Perhitungan tersebut diambil dengan asumsi harga APD senilai US$ 9,25 per potong, pakaian bedah US$ 2,85 per potong, dan masker bedah US$ 0,22 per potong.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi