Deretan Pasal Bermasalah RUU Minerba dan Alasan DPR Tetap Kebut Bahas

Image title
17 April 2020, 18:42
Foto aerial kawasan bekas tambang batu bara yang terbengkalai di Desa Suo-suo, Sumay, Tebo, Jambi, Kamis (30/1/2020). Tambang yang dibuka sejak lebih sepuluh tahun lalu oleh beberapa perusahaan swasta itu kini terbengkalai.
ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Foto aerial kawasan bekas tambang batu bara yang terbengkalai di Desa Suo-suo, Sumay, Tebo, Jambi, Kamis (30/1/2020). Tambang yang dibuka sejak lebih sepuluh tahun lalu oleh beberapa perusahaan swasta itu kini terbengkalai.

DPR RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) pada 13 Februari lalu. Keputusan ini diketok dalam rapat kerja antara Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto sebagai pimpinan rapat menyatakan, anggota Panja RUU Minerba sebanyak 86 orang. 26 orang perwakilan DPR dengan diketuai Bambang Wuryanto dari Fraksi PDIP dan 60 orang perwakilan Pemerintah diketuai Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono.

Dalam rapat tersebut juga diputuskan pembahasan pertama oleh Panja dilakukan pada 8 April. Namun, akhirnya ditunda karena banyak tentangan dari masyarakat yang menganggap tak etis membahas RUU Minerba di tengah pandemi corona. Panja mengagendakan ulang pembahasan pada 21 April.   

RUU Minerba menjadi salah satu program legislasi nasional DPR 2020 setelah urung dirampungkan pada periode lalu. RUU Minerba merupakan inisiatif dari DPR. Pada periode lalu, Pemerintah telah menyerahkan 938 Daftar Inventarisir Masalah (DIM) kepada DPR. Tepatnya pada 25 September 2019 dalam rapat yang dimulai pukul 21.20 WIB.

DPR dan Pemerintah sempat mengebut pembahasan RUU Minerba di sisa periode lalu, terutama untuk 938 DIM. Masyarakat pun menolak karena menganggap sejumlah pasal dalam beleid bermasalah. Termasuk memancing gelombang demonstrasi Reformasi Dikorupsi. Pembahasan akhirnya tak rampung.

Berdasarkan hasil revisi UU Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan pembahasan di periode ini tak memulai dari awal, tapi dilanjutkan atau carry over. Dengan begitu, pasal-pasal bermasalah masih ada di dalam beleid.

(Baca: Faisal Basri: Omnibus Law Jalan Perpanjangan Kontrak Taipan Batubara)

Pasal-pasal bermasalah itu, di antaranya Pasal 4, 7 dan 8  yang mengubah kewenangan pemberian izin pertambangan ke pemerintah pusat. Dalam Undang-Undang yang masih berlaku saat ini, perizinan diberikan oleh pemerintah provinsi. Ini pun berubah dari UU Minerba tahun 1999 yang memberi wewenang pemerintah kota/kabupaten mengeluarkan izin.

Dalam diskusi virtual pada Rabu (15/4) Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya menyatakan perubahan ini bisa menurunkan semangat desentralisasi yang selama ini menjadi bagian dari reformasi birokasi di Indonesia. Sehingga, menurutnya perlu dilakukan kajian lebih mendalam untuk menentukan urgensi perubahan ini.

Selanjutnya, adalah Pasal 45. Dikatakan jika terdapat mineral lain yang tergali dalam satu masa eksplorasi, maka tak akan terkena royalti. Hal ini menurut Berly berbahaya karena bisa menjadi celah pelanggaran hukum dan eksploitasi berlebihan. Maka, menurutnya, Pemerintah harus membuat batasan besaran mineral ikutan yang boleh ikut digali selama masa eksplorasi.

Berly juga menyoroti Pasal 128 A yang mengatur pemberian insentif kepada perusahaan yang melakukan pemurnian. Ia menilai pemberian insentif ini berpeluang tumpang tindih dengan insentif lain. Ia pun berpendapat, Pemerintah perlu merinci besaran insentif terkait dengan kapasitas smelter.

Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Faisal Basri menyoroti Pasal 169 A dan 169 B. Keduanya, menurutnya, bisa menjadi karpet merah bagi perusahaan tambang batu bara yang saat ini menguasai 70 persen pertambangan.

Karena, menurut Faisal, dalam pasal itu pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bisa mendapat perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa melalui lelang.

Dari catatan kami, ada 7 perusahaan pemegang PKP2B generasi I yang menguasai 70 persen produksi nasional dan kontraknya akan habis, yaitu PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Kaltim Ptrima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).

(Baca: ESDM Sebut Aturan Baru Minerba Tak Otomatis Perpanjang Kontrak Tambang)

DPR Tetap Akan Percepat Pembahasan

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...