Babak Baru Seteru Iran-AS Buntut Keputusan DK PBB, Siapa Untung?

Image title
24 Agustus 2020, 18:15
Ilustrasi. Mayoritas negara anggota DK PBB menolak usul AS memperpanjang sanksi ke Iran.
123RF.com/Maurizio Giovanni Bersanelli
Ilustrasi. Mayoritas negara anggota DK PBB menolak usul AS memperpanjang sanksi ke Iran.

Perseteruan Amerika Serikat (AS) dan Iran mencapai babak baru. Kali ini terkait dengan usulan AS memperpanjang sanksi terhadap Iran di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), termasuk embargo senjata.

Usulan tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo ke DK PBB pekan lalu. Seperti dilansir Reuters, AS menilai Iran telah melanggar Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang diteken pada 2015 terkait pengendalian pengembangan senjata nuklir.

Akan tetapi, 13 dari 15 anggota DK PBB menolak usulan tersebut. Termasuk sekutu lama AS seperti Inggris, Prancis, dan Jerman. Sementara negara lain yang turut menolak adalah Tiongkok, Rusia, Vietnam, Niger, Saint Vincent dan Grenadines, Afrika Selatan, Indonesia, Estonia, dan Tunisia. Hanya Republik Dominika yang setuju.

Para negara yang menolak menilai Iran tak melanggar perjanjian tersebut. Sebaliknya, mereka menganggap AS lah yang secara sepihak membatalkannya sesuai keputusan Presiden Donald Trump pada 2018 lalu. Trump menilainya sebagai kesepakatan terburuk yang pernah ada.

Kekalahan suara di DK PBB membuat AS menjadi terisolasi. Pompeo pun mengancam negaranya akan bertindak keras jika sanksi kepada Iran tak diperpanjang setelah masa perjanjian habis Oktober mendatang. AS pun berharap Indonesia dan Niger sebagai pemimpin bergilir DK PBB saat ini untuk melakukan pemungutan suara.

Sebaliknya, Presiden Iran Hassan Rouhani menyambut baik keputusan mayoritas negara anggota DK PBB. Ia pun menyebut penolakan merkea sebagai kegagalan besar AS dan kemenangan luar biasa bagi Iran. Mengingat pertama kali dalam sejarah 13 negara sekaligus menentang pandangan AS.

Untungkan Iran

Selama ini sanksi telah mengunci perekonomian Iran dan JCPOA lah yang membukanya. Peneliti International Politics and Conflict Resolution Universitas Coimbra, Portugal, Noemi M. Rocca dalam artikelnya berjudul Iran’s Geopolitics in Eurasia after Nuclear Deal (2017) menyatakan, sejak perjanjian tersebut perekonomian Iran berangsur membaik.

Salah satunya tercermin dari negara-negara Uni Eropa yang mengangkat sanksi ekonominya, khususnya pada bidang perdagangan minyak. Pada Desember 2015, Repsol, Total, dan Shell menyepakati kerja sama dagang dengan negeri para Mullah tersebut senilai jutaan dolar.

Pada awal 2016, melansir Reuters, Jepang pun mencabut embargo ekonominya ke Iran dan memperbarui perjanjian dagang kedua negara di bidang minyak. Aset Iran senilai puluhan miliar dolar pun cair.

Bank Dunia mencatat pada 2016 pertumbuhan ekonomi Iran sebesar 13,4%. Lebih tinggi 12,1% dari tahun sebelumnya. Sumbangan terbesarnya dari industri (25%), khususnya dari sektor minya yang mengalami peningkatan produksi sebesar 62%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...