Sengkarut Perpanjangan IUPK Arutmin di Tengah Gugatan UU Minerba

Image title
27 Agustus 2020, 19:41
Ilustrasi. Rencana pemerintah memperpanjang izin IUPK PT Arutmin Indonesia menjadi polemik di tengah proses uji formil UU Minerba di MK yang belum rampung.
ANTARA FOTO/Makna Zaezar/wsj.
Ilustrasi. Rencana pemerintah memperpanjang izin IUPK PT Arutmin Indonesia menjadi polemik di tengah proses uji formil UU Minerba di MK yang belum rampung.

Rencana pemerintah menerbitkan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) di tengah uji formil UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba menuai kritik dari aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Di sisi lain, mendapat dukungan dari pengusaha batubara.

Menteri ESDM Arifin Tasrif saat rapat kerja bersama Komisis VII DPR RI, Rabu (26/8), menyatakan rencana tersebut muncul menyusul akan habisnya masa Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) milik salah satu perusahan tambang yang memegangnya.

Advertisement

Dalam catatan Katadata.co.id, izin perusahaan yang akan habis adalah milik  PT Arutmin Indonesia pada 1 November 2020. Perusahaan ini adalah anak usaha dari PT Bumi Resources Tbk yang memiliki lahan tambang seluas 57.107 hektar.  

Arifin menyatakan, pertimbangan utama pemerintah menerbitkan IUPK adalah agar perusahaan tersebut mendapatkan kepastian kelangsungan usaha. “Karena kalau tidak, negara akan kehilangan pendapatan,” katanya.

Selaras dengan itu, Arifin menyatakan, Kementerian ESDM kini sedang dalam proses merampungkan rancangan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi turunan UU Minerba. Mengingat pemberian izin baru bisa dilaksanakan setelah aturan turunan terbit. Ia menargetkannya terbit akhir 2020.

“Tim kami dari (Ditjen) Minerba sedang kerja ekstra untuk bisa melakukan klarifikasi-klarifikasi dengan kementerian dan lembaga terkait,” kata Arifin.

Hal senada disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin. Menurutnya Rancangan Peraturan Pelaksanaan (RPP) UU Minerba tengah digodok, yakni: RPP tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara; RPP tentang Wilayah Pertambangan; dan RPP tentang Pengawasan Reklamasi dan pascatambang.

“Arahan Pak Menteri ESDM diselesaikan pada akhir 2020, satu dari tigas RPP menuju proses penyelesaian dan dilaksanakan secepatnya,” Kata Ridwan dalam rapat dengar pendapat dengan komisi VII DPR RI, Kamis (27/08).

Berpotensi Merugikan Negara Secara Hukum

Koordinator JATAM Merah Johansyah menilai uapaya pemerintah menerbitkan IUPK terburu-buru dan bepotensi menciptakan pelanggaran hukum yang merugikan negara di kemudian hari. Hal ini lantaran uji formil UU Minerba masih berlangsung di MK.

“Artinya pemerintah tidak boleh tergesa-gesa memberi izin. Kalau ada hasil yang memenangkan penggugat bisa merugikan pemerintah,” kata Merah kepada Katadata.co.id, Kamis (27/8).

Lagi pula, kata Merah, rencana ini bertentangan dengan Surat Edaran Kementerian ESDM Nomor 742/30.01/DJB/2020 yang menyerukan kepala daerah untuk tidak menerbitkan izin baru pertambangan Minerba sebelum aturan turunan terbit. Ini menunjukkan ketidakadilan dari pemerintah terhadap perusahaan tambang daerah yang tak memegang PKP2B.

“Artinya kan tidak adil bagi badan usaha yang lain menunggu PP, sementara perpanjangan PT Arutmin cepat sekali diproses,” kata Merah.  

Di samping itu, Merah juga menilai proses evaluasi kinerja pertambangan selama ini kurang terbuka yang bisa merugikan publik, khususnya masyarakat di sekitar wilayah tambang. Terlebih selama ini banyak pelanggaran di wilayah tambang yang memakan korban masyarakat.

Khusus PT Arutmin Indonesia, JATAM mencatatnya memiliki 180 lubang tambang. Sejumlah kasus pun tercatat, seperti pada 31 Desember 2018 dua karyawannya meninggal akibat longsor di area tambang. Lalu, pada 2010-2013 perusahaan ini trindikasi menunggak dana hasil produksi batubara (DPHB) senilai Rp 129 miliar.

“Jadi kalau dilakukan evaluasi jangan menggiring opsinya hanya perpanjangan. Tanyakan ke publik, buka partisipasi publik seluas-luasnya. Karena opsi kan ada perpanjangan, tidak diperpanjang, atau ditutup,” kata Merah.

Menyoal ini dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020, termaktub sanksi pidana dan denda maksimal Rp 100 miliar bagi pemegang izin IUP dan IUPK yang gagal melakukan reklamasi.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement