Gaduh Ucapan Puan Soal Sumbar Bisa Picu Konflik Horizontal di Pilkada
Pernyataan Ketua DPP PDIP Puan Maharani terkait situasi politik di Sumatera Barat (Sumbar) memicu kontroversi. Pengamat politik pun menilainya bisa mencipatakan konflik horizontal di Pilkada 2020.
Rabu (2/9) lalu, Puan mengumumkan PDIP mengusung pasangan Mulyadi dan Ali Mukhni di Pilgub Sumbar 2020. Partai berlogo banteng ini pun berkoalisi dengan Demokrat. Saat itulah ia mengucap kalimat yang menginggung kondisi politik di Sumbar.
“Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila,” kata Ketua DPR RI tersebut.
Pernyataan Puan menuai protes dari Juru Bicara PKS, Handi Riza. Ia menuntut Puan mencabut pernyataanya dan meminta maaf lantaran telah menyinggung warga Sumbar.
“Jangan pernah ragukan nasionalisme masyarakat Sumbar yang telah berjuang melahirkan Pancasila dan berkorban bagi keutuhan NKRI,” kata Handi dalam keterangan resminya yang dikutip Katadata.co.id, Jumat (4/9).
Tak berhenti di situ, Persatuan Pemuda Mahasiswa Minang (PPMM) melaporkan Puan ke Bareskrim Polri. Puan diduga melanggar sejumlah pasal, salah satunya UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Laporan disertai bukti seperti flashdisk berisi rekaman suara putri Megawati Soekarnoputri tersebut dan tangkapan layar media daring.
“Kita sudah me-review pasal-pasal yang akan kita laporkan, di antaranya 310, 311, 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 14,15 KUHP Nomor 1 Tahun 1946,” kata Ketua PPMM David, Jumat (4/9) melansir CNNIndonesia.
Pembelaan terhadap Puan datang dari politikus PDIP Artheria Dahlan. Ia menilai masyarakat Sumbar semestinya menjaga Puan yang justru aset dan kebanggaan Minang. Hal ini lantaran Puan memiliki darah Minang.
Taufik Kiemas yang merupakan ayah Puan, menurut Artheria, adalah seorang Datuk Basa Batuah dari Batipuh, Tanah Datat, Sumbar. Sementara Megawati berdarah Minang dengan gelar Puti Reno Nilam.
“Kan harusnya orang Minang, khususnya perempuan Minang, bangga punya Ketua DPR RI pertama kalinya perempuan dan perempuan Minang,” kata Artheria dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/9).
Bisa Picu Konflik Horizontal Saat Pilkada
Direktur Eksekutif Populi Centre, Usep S. Ahyar menilai pernyataan Puan memang layak dikritisi. Menurutnya, sebagai seorang elite politik tak perlu menyampaikan hal yang demikian, meskipun realitas politik di Sumbar memang tak menguntungkan PDIP.
“Ya, bisa memicu konflik horizontal. Pilkada kan seperti sumbu. Mudah tersulut, apalagi yang bicara Puan, elite partai dan DPR,” kata Usep kepada Katadata.co.id, Jumat (4/9).
Sementara, kata Usep, konflik horizontal semestinya dihindari selama Pilkada 2020. Mengingat hal itu akan mendistorsi isu utama di dalamnya, yakni pergantian kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Kegaduhan dari konflik horizontal tersebut, menurut Usep, pun dapat menghambat calon menyosialisasikan ide dan gagasannya kepada pemilih. Di sisi lain, pemilih pun tak bisa mengkritisi kandidat. Padahal keduanya sangat dibutuhkan agar pilihan menjadi rasional.
“Pastinya konflik bisa rugi jiwa dan materi,” kata Usep.
Sumbar sebenarnya tergolong daerah aman saat menyelenggarakan Pilkada. Data Bawaslu terkait penyelenggaraan pemilu 2018, provinsi ini tak masuk sebagai daerah rawan seperti halnya Papua, Maluku, dan Sumatera Utara.
Data lengkapnya bisa disimak dalam Databoks di bawah ini:
Oleh karena itu, menurut Usep, sebaiknya Puan tak mengulangi pernyataan serupa dan mau berbesar hati minta maaf. Hal ini agar tak ada pihak yang berkepentingan memanfaatkan suasana untuk menciptakan kegaduhan dan merusak perdamaian di Minang.
“Naga-naganya sih memang ada yang mau goreng,” kata Usep.
PDIP Harus Lebih Adaptif dengan Isu Lokal
Selanjutnya, Usep menilai kinerja PDIP akan semakin berat setelah kejadian ini. Ia pun menyarankan PDIP lebih adaptif dengan isu lokal jika ingin meningkatkan suara dan meraih kemenangan di Sumbar. Misalnya menyelaraskan kampanye dengan slogan masyarakat bahwa adat bersanding dengan agama Islam.
“Visi-misi kandidatnya dan slogan kampanyenya ke situ (sesuai budaya lokal),” kata Usep.
Selain itu, Usep pun menyarankan agar kandidat yang memang tokoh lokal untuk lebih giat menyerap aspirasi masyarakat. Mengingat tak ada cara yang lebih efektif untuk meraup suara selain dekat dengan aspirasi pemilih.
Lagi pula, kata Usep, kesuksesan Pilkada adalah kombinasi kerja partai pengusung dan kandidat. Ketika partai pengusung lesu atau tak memiliki basis pemilih signifikan, maka kandidat harus kerja ekstra meningkatkan ketokohannya.
Dalam konteks Sumbar, PDIP tak memiliki basis massa kuat. Dalam tiga pemilu terakhir, partai ini mendapat suara minim. Pada pemilu 2004 tak mendapat kursi DPR RI, 2014 hanya 1 kursi, dan 2019 kembali tak mendapat kursi. Bahkan gagal memenangkan Jokowi-Ma’ruf di sana.
“Tersisa ketokohan calon kalau mau menang,” kata Usep.