Nouriel Roubini Ramal 10 Kondisi Suram Greater Depression Pasca-Corona

Image title
14 Mei 2020, 21:36
Telaah - Resesi Singapura
123RF.com/alphaspirit

Profesor Ekonomi Universitas New York, Nouriel Roubini atau kerap dipanggil Dr. Doom memprediksi resesi ekonomi yang terjadi saat ini akan berubah menjadi kejatuhan besar alias Greater Depression. Sebelum pandemi virus corona melanda dunia, pada dua tahun lalu dia meramal krisis finansial akan terjadi tahun 2020.

Ramalan Roubini pada 2018 ditulis dalam opini berjudul The Makings of a 2020 Recession and Financial Crisis dan dipublikasikan di situs Project Sydicate. Saat itu ia menyebut krisis pada 2020 terjadi akibat ekspansi global yang terus berlanjut. Sementara Amerika Serikat (AS) memiliki defisit fiskal yang besar dan Tiongkok melonggarkan kebijakan fiskalnya. Di sisi lain, Eropa masih berada dalam pemulihan krisis.

Advertisement

(Baca: Bayang-Bayang Ketimpangan New Normal Pendidikan Akibat Pandemi)

Sekarang, Roubini menyebut kesalahan kebijakan pemerintah-pemerintah dunia dalam menghadapi krisis akibat covid-19 adalah pangkal kejatuhan besar terjadi. Alih-alih mengatasi masalah struktural yang diakibatkan keruntuhan finansial dan resesi berikutnya, kebanyakan pemerintahan dunia justru membuat risiko baru.

Kepada Joe Weisenthal dan Tracy Allowas dari Bloomberg dalam satu edisi wawancara, 6 Mei lalu, Roubini menyatakan pemulihan krisis tahun ini bisa mengarah kepada bentuk kurva ‘U’. Namun dalam satu dekade ke depan bisa membentuk kurva ‘L’.

“Prediksi ini tidak berdasar model ekonometrik formal. Karena dalam pemahaman saya hal itu tak berguna ketika berada dalam jurang resesi,” kata Roubini.

Sebaliknya, Roubini mengaku prediksinya melihat dinamisasi ekonomi atas kebiasaan sektor privat, rumah tangga dan korporasi. Begitupun respons kebijakan negara terhadap pandemi, seperti AS yang menurutnya saat ini sudah kuat tapi lebih lemah ketimbang Eropa dan Jepang.

(Baca: Indonesia dalam Pusaran Gelombang Kemiskinan Dunia)

Roubini menilai, kondisi saat ini bisa mengarah kepada negative supply shock dan deglobalisasi setelah pandemi berakhir. Karena banyak negara yang akan berlaku egois dengan mengetatkan tarif, melakukan proteksi, dan memprioritaskan produknya untuk kebutuhan dalam negeri. Perang dingin pun semakin membeku antara AS dan Tiongkok yang berpengaruh kepada rantai perekonomian global.

Kebijakan negara-negara melonggarkan pembatasan sosial, menurutnya tak akan sekonyong mengembalikan geliat ekonomi. Karena pengangguran telah terjadi dan mereka belum tentu mendapat pekerjaannya lagi setelah pandemi. Di AS angka pengangguran sudah mencapai 26 juta jiwa dan berpotensi meningkat jadi 35 juta orang pada puncaknya.

Padahal, kata Roubini, 40% rumah tangga di AS hanya memiliki cadangan uang tak lebih dari US$ 400 untuk menghadapi masa darurat. Ini akan menurunkan konsumsi di sektor luks. Karena masyarakat lebih fokus untuk membeli kebutuhan pokok. Dampaknya kepada industri akan semakin melakukan efisiensi.

Roubini bahkan menyebut akan terjadi stagflasi, yaitu “kombinasi dari stagnansi ekonomi, resesi, dan inflasi yang tinggi.”

“Beda resesi sekarang dengan krisis sebelumnya dan depresi besar adalah keduanya berjalan lebih lambat. Butuh 3 tahun untuk menjadi seperti sekarang,” kata Roubini. “Kini dunia seperti dihantam asteroid. Semua negara terkena dalam waktu singkat.”

(Baca: Konsumsi Masyarakat Lockdown, Ekonomi RI Langsung Jatuh)

Pria yang mengaku lebih suka dipanggil sebagai Dr. Realist ketimbang Dr.Doom ini, pun menuliskan prediksinya dalam artikel berjudul The Coming Greater Depression of the 2020s yang terbit di Project Syndicate pada 28 April lalu. Ia menyebut 10 tren yang memengaruhi greater depression, yaitu sebagai berikut:

Utang dan Wanprestasi

Kebijakan terkait covid-19, kata Roubini, memerlukan peningkatan besar defisit fiskal oleh negara. Hal ini dilakukan saat tingkat utang publik di banyak negara sudah tinggi, jika tidak berkelanjutan. Diperburuk pula oleh hilangnya pendapatan bagi banyak rumah tangga dan perusahaan. Artinya, utang sektor swasta menjadi tidak berkelanjutan dan berpotensi menyebabkan gagal bayar dan kebangkrutan massal.

“Ini membutuhkan pemulihan yang lebih segar dibandingkan resesi satu dekade lalu,” kata Roubini.

Dalam konteks Indonesia, ini terjadi pada pelebaran defisit lebih dari 3% dari PDB untuk tiga tahun ke depan melalui Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang mengatur tentang kebijakan fiskal menghadapi pandemi. Di sisi lain, industri terpukul dan banyak sektor swasta memerlukan restrukturisasi utang agar dapat bertahan. Salah satunya di sektor properti yang mengalami peningkatan kredit macet dari 2,88% pada Januari menjadi 2,97% pada Februari tahun ini, sebagaimana data Bank Indonesia pada April.

Sementara dalam konteks AS, tingkat defisit ditingkatkan lebih kurang 10% dari PDB. Industri penerbangan AS pun mulai buka tutup utang untuk tetap menjaga operasionalnya. Data Bloomberg pada 27 April mencatat maskapai AS paling banyak menarik utang dari bank di antara maskapai dunia lainnya, yakni sebesar US$ 20 miliar. Pemerintah AS pun mengeluarkan talangan sebesar US$ 50 miliar kepada para maskapai.

Terkait ini, kepada Business Insider pada 28 Maret lalu Roubini pernah menyinggungnya pula. Ia mengatakan, “negara tak bisa terus-terusan membohongi investor dengan talangan. Jika terus menetapkan defisit anggaran 10-15% sementara terus mengucurkan uang, maka bisa bernasip seperti Zimbabwe.”

(Baca: Pukulan Beruntun Pandemi Corona yang Mengandaskan Industri Properti)

Masalah Demografi di Negara Maju

Roubini menyatakan sebagian besar negara maju bermasalah dengan penduduk yang rata-rata berusia lanjut. Sementara krisis covid-19 menuntut pengeluaran publik lebih banyak dialokasikan untuk sistem kesehatan dan kebutuhan lain yang relevan dengan pandemi. Maka, mendanai pengeluaran untuk kesehatan akan membuat utang implisit dari sistem jaminan kesehatan dan jaminan sosial membengkak.

AS sudah mengeluarkan anggaran sistem kesehatan pada 28 Maret sebesar US$ 132 miliar. Rinciannya adalah untuk peningkatan pelayanan rumah sakit sebesar US$ 117 miliar, riset dan penyediaan vaksin sebesar US$ 11 miliar, dan operasional badan pengendalian penyakit sebesar US$ 4,3 miliar. Dana ini termasuk dalam stimulus virus corona AS yang total sebesar US$ 2 triliun.  

(Baca: Ambruknya Harga Minyak yang Menambah Beban Ekonomi RI)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement