Masyarakat Indonesia harus merayakan Lebaran 2020 'bersama' pandemi virus corona dan di tengah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kondisi ini memukul banyak usaha, khususnya pengusaha makanan dan minuman, yang tidak bisa meraih untung seperti momen Idul Fitri tahun-tahun sebelumnya.

Norman Valentino, pemilk resto ayam panggang "Chicken Forest" di Bintaro, Jakarta Selatan, mengaku omzetnya turun 90% sejak PSBB DKI Jakarta diberlakukan pada awal April. Ramadan yang diharapkan bisa mengerek omzet karena masyarakat banyak memesan makanan berbuka, pun tak terealisasi.

“Biasanya bisa 30 meja sehari, sekarang 1 sampai 2 meja saja maksimal,” kata Norman kepada Katadata.co.id, Rabu (20/5).

Pemesanan makanan daring seperti melalui Go-Food dan Grabfood pun tak bisa membantu banyak usaha Norman. Begitupun siasat menjual makanan beku tak membuahkan hasil.

Kondisi ini menurutnya terjawab dengan riset yang dilakukannya kepada konsumen. 70% menyatakan memilih memasak makanan sendiri di rumah ketimbang membeli di resto selama pandemi covid-19. Rata-rata beralasan ingin memastikan makanan yang dikonsumsi bersih dan berhemat.

Akibat penurunan ini, Norman melakukan beragam kebijakan efisiensi. Dari pengurangan jam operasional sampai merumahkan karyawan. Saat ini, dari 10 pegawai hanya 2 orang yang masih dipertahankannya. Ia pun mengaku bisa bertahan hanya sampai setelah lebaran.

“Isunya kan PSBB nanti (setelah lebaran) akan dibuka. Kalau kondisinya masih sama, saya akan tutup sementara,” kata Norman.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, restoran atau rumah makan seperti milik Norman mencapai 84,25% dari keseluruhan jenis usaha penyedia makanan dan minuman. Sisanya adalah katering (5,11%) dan jenis lainnya (10,64%). Dari sisi kepemilikan, 97,37% dimiliki Warga Negara Indonesia (WNI) dan 2,63% dimiliki Warga Negara Asing (WNA).

Dilihat dari lokasi usaha, 70,58% restoran atau rumah makan berada di mal/pertokoan/perkantoran. Sisanya 1,82% di hotel, 6,46% di kawasan wisata, 0,83% di kawasan industri, dan 20,31% di tempat lainnya.

Data tersebut menjelaskan jebloknya konsumsi restoran yang terjadi pada kuartal I 2020 menjadi 2,39% dari 5,64% pada periode sama tahun lalu. Mengingat selama masa pandemi, seperti diakatakan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pusat Belanja Indonesia Alphonzus Widjaja pada awal April lalu, pengunjung mal anjlok sampai 90%. Khususnya di daerah yang menerapkan PSBB, seperti DKI Jakarta dan Surabaya.

(Baca: THR: Dilema dan Polemik di Pusaran Pandemi Corona)

Lesunya bisnis makanan menjelang lebaran juga diakui Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Rachmat Hidayat. Survei yang dilakukan kepada 450 anggotanya, menyatakan 70% mengalami penurunan omzet sebesar 20-40%. Misalnya, produsen minuman kemasan yang menurun 40%.

“Di situasi lebaran masa normal, biasanya memacu pertumbuhan (makanan dan minuman) 20%, tapi sekarang tidak mungkin,” kata Rachmat kepada Katadata.co.id, Rabu (20/5).

GAPMMI telah mengoreksi proyeksi pertumbuhan sektor industri makanan dan minuman tahun ini yang ditetapkan 9%-10% pada Februari menjadi sebatas 4%-5%. Angka ini jauh lebih rendah ketimbang 2019 yang berhasil tumbuh 7,95%.

Alasannya, tingkat konsumsi masyarakat masih berkutat pada makanan yang tergolong bahan pokok, sementara jenis lainnya tetap tersuruk. Begitupun berkaca pada pelambatan pertumbuhan industri pada kuartal I sebesar 3,94% dibanding pada periode sama tahun sebelumnya yang sebesar 6,77%.

Kabar baiknya, kata Rachmat, belum ada anggota GAPMMI yang bangkrut di tengah situasi saat ini meskipun “yang kesusahan banyak.” Namun, ia tetap berharap pemerintah menambah bantuan fiskal untuk dunia usaha, seperti bantuan kredit permodalan.

Sebab, bantuan selama ini lebih berdampak kepada pengusaha yang masih mendapatkan untung, misalnya relaksasi pajak penghasilan. Sementara banyak pengusaha makanan dan minuman yang tak mencetak untung selama pandemi.

“Kebijakan nonfiskal seperti kemudahan izin juga kami harapkan,” kata Rachmat. “Jejaring pengaman sosial masyarakat ditingkatkan agar daya beli meningkat lagi,” imbuhnya.  

Rachmat menyatakan, penambahan bantuan pemerintah sangat membantu proses pemulihan industri pasca-pandemi.Proyeksinya, pemulihan pada semester kedua tahun ini dengan catatan virus sudah bisa ditangani dan pembatasan sosial diperlonggar.

Namun jika pemulihan industri makanan tak bisa terjadi saat itu, dikhawatirkan dapat semakin berdampak kepada sektor lain seperti transportasi, logistik, dan retail. "Seluruhnya saling berkaitan," kata Rachmat.

(Baca: Peluang Berzakat di Bulan Ramadan Untuk Penanggulangan Covid-19)

Penjualan Pakaian Anjlok

Senasib dengan makanan dan minuman, usaha tekstil dan produk tekstil (TPT) juga tersuruk jelang lebaran tahun ini. “Tidak ada harapan sama sekali lebaran tahun ini. Lewat saja," kata Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Rizal Tanzil Rakhman dengan nada getir saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (20/5).

Pasalnya, kata Rizal, sejak awal tahun penurunan penjualan sudah mulai dirasakan dari produk hulu seperti benang dan kain sampai produk pakaian di hilir. Ini dipengaruhi oleh tak terbendungnya produk tekstil impor yang memenuhi pasar dalam negeri. Alhasil, produk dalam negeri kalah bersaing.

Data BPS menunjukkan volume impor kain terus meningkat dari 2016-2018 dengan tren sebesar 31,80 persen. Pada 2016, impor kain tercatat sebesar 238.219 ton, kemudian pada 2017 naik menjadi 291.915 ton, dan terus naik menjadi 413.813 ton pada 2018.

Sementara, untuk volume impor TPT secara keseluruhan dari 2016-2018 stabil berkisar di angka 2 juta ton dengan tingkat tertinggi pada 2018 dengan 2,24 juta ton. Nilai impor pada 2018 mencapai US$ 8,57 miliar.

Tiongkok menjadi eksportir TPT terbesar ke Indonesia dengan volume mencapai 4.392 ton pada 2018. Meskipun angka itu telah turun dari 6.031 ton pada 2017. Tren impor dari Tiongkok selengkapnya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

(Baca: Industri Tekstil RI Saat Pandemi, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga)

Pada 9 November 2019, Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) untuk tekstil dan produk tekstil melalui tiga Permenkeu: PMK 161/PMK.1010/2019, PMK 162/PMK.010/2019, dan PMK 163/PMK.010/2019, guna merespons jeritan pengusaha tekstil atas besarnya jumlah impor. Seluruh peraturan itu berlangsung selama 200 hari.

Sebaliknya, nilai ekspor pakaian dan aksesorinya tercatat sebesar US$ 856,6 juta atau jatuh sebesar 12,97% dibandingkan periode sama tahun lalu. Nilai ekspor barang tekstil jadi lain yang sempat bergeliat pada awal tahun, pun hanya sebesar US$ 33 juta atau anjlok 60%.

Selain faktor impor, merebaknya pandemi covid-19 juga memukul pasar dalam negeri. Kebijakan pembatasan sosial membuat penjualan menurun hingga 50%. Berdasarkan catatan Katadata.co.id, pengelola Pasar Beringharjo di Yogyakarta dan Pasar Tanah Abang di Jakarta menyatakan pengunjung sepi sejak PSBB dilakukan, bahkan Ramadan yang biasanya ramai pun tak menunjukkan tanda-tanda demikian.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement