Rencana belanja pertahanan Menteri Prabowo Subianto berlanjut dengan mengajukan anggaran besar untuk 2021. Dengan bujet ini, Kementerian Pertahanan ingin memodernisasi alat utama sistem pertahanan atau alutsista. Namun langkahnya mendapat sorotan sejumlah ekonom karena dianggap tak sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi corona.

Dalam dokumen Kementerian Keuangan tentang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2021 bertajuk “Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi”, Kementerian Pertahanan mengajukan anggaran Rp 129,3 triliun. Dana jumbo ini untuk mendukung pencapaian target prioritas pembangunan nasional bidang pertahanan.

Rinciannya, uang tersebut untuk melakukan empat program: penggunaan kekuatan, modernisasi alutsista dan non alutsista serta sarana dan prasarana pertahanan, pembinaan sumber daya pertahanan, dan profesionalisme serta kesejahteraan prajurit.

Kementerian Pertahanan pun menyasar lima output strategis dengan anggaran tersebut. Pertama, pengadaan alutsista sebanyak lima paket. Kedua, pengadaan amunisi kaliber kecil sebanyak satu kegiatan. Ketiga, pengadaan atau penggantian kendaraan tempur sebanyak 12 unit. Keempat, pengadaan KRI, KAL, Alpung dan Ranpur/Rantis Matra Laut sebanyak 14 unit. Kelima, pengadaan atau penggantian pesawat udara dan lainnya sebanyak 4 unit.

(Baca: Demi Ibu Kota Baru, Pemerintah Siapkan Food Estate di Kalteng)

Namun dokumen tersebut tak menyebutkan secara rinci jenis-jenis alutsista yang akan dibeli. Hal ini sama dengan saat perencanaan anggaran 2020 yang sempat menjadi polemik dalam rapat di Komisi I DPR RI, November tahun lalu. Saat itu Prabowo, mantan Danjen Kopassus ini, menolak menyebutkan rincian alutsista yang akan dibelinya dengan dalih bisa membocorkan rahasia negara.

Pemenuhan anggaran ini disebutkan bersumber dari rupiah murni Rp 113,1 trilun (87,5%). Sumber lainnya pendapatn negara bukan pajak atau PNBP Rp 2,1 trilin (1,6%), BLU Rp 3,1 triliun (2,4%), dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp 0,9 triliun (0,7%).

Rupiah murni adalah seluruh penerimaan pemerintah kecuali pembiayaan proyek yang berasal dari pinjaman luar atau dalam negeri. Dalam hal ini, rupiah murni juga dialokasikan untuk menyelesaikan proyek atau kegiatan yang tertunda atau terhambat akibat pandemi Covid-19 di tahun anggaran 2020.

Anggaran Kementerian Pertahanan memang ikut dipangkas dan dialokasikan untuk penanganan Covid-19 dari Rp 131,2 triliun di APBN 2020 menjadi Rp 122,45 triliun sesuai Perpres 54/2020. Meski begitu, Prabowo sudah lebih dulu berbelanja dalam jumlah besar. Hal ini terlihat dari serapan anggaran yang menurut data Kemenkeu per akhir Mei sudah mencapai Rp 25,73 trilun atau 19,62% terhadap APBN dan 21,02% terhadap Perpres 54/2020. Serapan ini paling tinggi dibandingkan kementerian lainnya.

Angka-angka tersebut terlihat dari peningkatan impor senjata 7.384% menjadi US$ 187,1 juta pada Maret 2020, seperti tercatat di data Badan Pusat Statistik (BPS). Direktur Kepabeanan Internasional dan Antarlembaga Dirjen Bea dan Cukai, Syarif Hidayat pada 18 Juni lalu juga menyatakan impor senjata dan amunisi dalam jumlah besar tersebut hanya milik Kementerian Pertahanan. “Tidak ada institusi lain,” katanya.

Di samping itu, seperti kata juru bicara Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak, pada 20 Februari lalu, enam bulan awal masa kerja Prabowo memang berfokus pada pengadaan alutsista. Termasuk dengan rutin lawatan ke luar negeri untuk melakukan penjajakan pembelian. Katadata.co.id mencatat setidaknya delapan negara telah dikunjunginya, yakni Malaysia, Thailand, Turki, Tiongkok, Jepang, Filipina, Prancis, dan Uni Emirat Arab.

Media Prancis La Tribune pada Januari lalu pun memberitakan Prabowo tertarik membeli 48 jet tempur Rafale sampai empat kapal selam Scorpene bersenjata rudah Exocet SM39 dan 2 Korvet Gowind seberat 2.500 ton. Pembelian akan dilakukan melalui perjanjian antara pemerintah Prancis dan Indonesia yang segera dilaksanakan.

(Baca: Impor Senjata dan Amunisi Melonjak Ribuan Persen Pada Maret 2020)

Terbaru, Defense Security Cooperation Agency (DSCA) Amerika Serikat melalui keterangan resmi pada 6 juli menyatakan Departemen Luar Negeri menyetujui penjualan sejumlah alutsista kepada Indonesia melalui Kementerian Pertahanan senilai US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28 triliun. Di antaranya delapan pesawat angkut militer berjenis MV-22 Bloc C Osprey yang mampu terbang dan mendarat secara vertikal dan peralatan terkait.

Pembelian alutsista, seperti dikatakan Pengamat Militer dan Pertahanan UPN Jakarta Beni Sukadis, biasanya berlaku multiyear sesuai perjanjian kontrak. Ilustrasinya, pembelian saat ini dan tahun depan bisa jadi adalah hasil kontrak yang dilakukan 3-4 tahun lalu. Sementara anggaran Indonesia ditetapkan per tahun. Hal ini yang menyebabkan bujet Kementerian Pertahanan bisa membengkak dari tahun ke tahun.

Selain itu, kata Beni, Prabowo bertanggung jawab memenuhi program Minimum Essential Force (MEF) yang sampai saat ini progresnya mencapai 74% dan ditargetkan rampung pada 2024. “Kalau melihatnya secara objektif (pengajuan anggaran) masih cukup wajar,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (8/7).

Beni pun menilai keputusan Prabowo membidik pesawat angkut dari AS cukup tepat. Menurutnya saat ini ancaman utama pertahanan Indonesia bukanlah perang tradisional dengan negara lain, melainkan keamanan teritori seperti pencurian ikan oleh kapal asing dan illegal logging. Sehingga yang diperlukan adalah pesawat angkut yang juga memiliki kemampuan patroli.

Renacana pembelian Rafale juga menurutnya lebih tepat dibandingkan membeli Sukhoi Su-35 yang sempat dibahas pada 2018. Alasannya, membeli senjata Rusia bisa mengakibatkan embargo alutsista dari AS seiring berlakunya Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA) pada 2017. Itu akan merugikan Indonesia ke depannya.

Tak Sejalan dengan Upaya Pemulihan Ekonomi Nasional

Kendati begitu, dari sisi ekonom, pagu besar anggaran Kemenhan ini dinilai tak sesuai dengan upaya pemulihan ekonomi nasional. Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Muhammad Faisal menyatakan semestinya prioritas alokasi anggaran kepada penanganan wabah agar ekonomi lekas pulih.

Hal ini karena tahun depan wabah Covid-19 belum tentu reda. Sedangkan jika anggaran penanganannya tak cukup karena APBN dialokasikan terlalu besar untuk kebutuhan di luar itu, pemulihan akan semakin lambat. Sementara Faisal memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2021 masih rendah, meskipun berpeluang positif.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement