Pemerintah mulai menerapkan fase kenormalan baru atau new normal pada Juni lalu, termasuk secara berangsur membuka kembali destinasi wisata. Namun langkah ini belum sepenuhnya berdampak pada industri pariwisata nasional yang terpukul pandemi virus corona. Masa depan sektor ini pun masih buram.

Industri pariwisata sudah merasakan pukulan pandemi virus corona sebelum pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 1 April melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Hal ini terlihat dari data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang diterima Katadata.co.id pada 7 April, yakni sebanyak 10.946 usaha pariwisata telah terdampak dan 30.421 tenga kerja wisata kehilangan pekerjaan.  

Advertisement

Pukulan juga terlihat dari bisnis hotel yang menjadi bagian industri ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, okupansi hotel berbintang pada Mei sebesar 14,45%. Ini jauh lebih kecil dibandingkan bulan sama tahun sebelumnya yang sebesar 43,53%. Sementara Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat 2.000 hotel dan 8.000 restoran berhenti beroperasi selama PSBB.

(Baca: Turis Asing Anjlok Saat Pandemi, Bisnis Pariwisata Rugi Rp 85 Triliun)

Penurunan omzet maskapai penerbangan pun mempertegas pukulan terhadap industri pariwisata. PT Garuda Indonesia Tbk misalnya, dalam laporan keuangannya yang dirilis 1 Juli lalu mencatat penunuran pendapatan sebesar 30,1% pada kuartal I 2020 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Maskapai pelat merah ini hanya mencetak omzet US$ 768,12 juta pada triwulan pertama tahun ini, menurun dari US$ 1,09 miliar pada periode sama di 2019.

Turbulensi pendapatan Garuda Indonesia itu termasuk dipengaruhi segmen penerbangan berjadwal. Pendapatan segmen ini pada kuartal I 2020 sebesar US$ 654,52 juta atau turun 29,2% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Namun, fase new normal yang telah berjalan sebulan dengan pelonggaran pembatasan perjalanan dan pembukaan sejumlah destinasi wisata tak banyak mengubah kondisi tersebut.

Jubir Satgas Covid-19 Kemenparekraf, Ari Juliano pada 22 Juni lalu kepada Katadata.co.id justru menyatakan tenaga kerja pariwisata terdampak kian meningkat, mencapai lebih 200 ribu. Ini mengindikasikan lebih banyak pelaku usaha terdampak, meskipun Kemenparekraf mengaku belum bisa mendatanya secara pasti.

(Baca: Tiga Pekan Beroperasi, Pengunjung Lokasi Wisata di Jakarta Baru 30%)

PENERAPAN SISTEM GANJIL GENAP DI PASAR SENI KUTA
Pedagang menunggu pembeli di Pasar Seni Kuta, Bali. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym/aww.)

Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani pun menyatakan okupansi hotel di daerah yang telah melonggarkan PSBB masih rendah. Rinciannya di Jakarta dan Semarang okupansi hotel masih di kisaran 15%; Surabaya, Yogyakarta, dan Medan baru 10%; Makassar sekitar 6%; Batam sekitar 3%; dan Bali yang menjadi salah satu destinasi wisata utama Indonesia hanya 1%. Secara nasional rata-rata okupansi masih sekitar 10-20%.

“Data ini merupakan update sampai pukul 07.00 WIB pagi tadi,” kata Hariyadi dalam Rapat Dengar Pendapat virtual bersama Komisi X DPR RI, Selasa (14/7).

DKI Jakarta yang mulai membuka destinasi wisatanya pada 20 Juni juga belum mencatatkan peningkatan kunjungan wisatawan. Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta Cucu Ahmad pada 13 Juli menyatakan kunjungan wisatawan selama tiga pekan awal beroperasi baru mencapai 20-30%.

(Baca: Tumbangnya Bisnis Perjalanan dan Wisata Bali Terpapar Covid-19)

Taman Impian Jaya Ancol adalah salah satu tempat wisata yang belum banyak menerima kunjungan wisatawan. Cucu menyatakan lokasi ini baru menerima rata-rata kunjungan harian sebanyak 2.000 orang di hari biasa dan 4.000 orang di akhir pekan dari kapasitas maksimal 20.000 orang.

Belum bergeraknya industri pariwisata juga terlihat dari masih minimnya perjalanan dengan pesawat. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra pada 13 Juli lalu menyatakan peningkatan penumpang di masa new normal hanya 16%.

Sementara rata-rata penumpang per penerbangan belum juga mencapai 50%, meskipun Kemenhub telah mengizinkan mengangkut penumpang sampai 70%. “Rute yang biasanya ramai seperti Denpasar, kini sepi,” kata Irfan.

Terpengaruh Kondisi Buruk Perekonomian

Peneliti Senior INDEF, Nawir Messi menilai masih melempemnya industri pariwisata karena kondisi perekonomian secara umum belum membaik. Hal ini tercermin dari peningkatan jumlah pengangguran yang berbanding lurus dengan penurunan penghasilan dan konsumsi masyarakat.  

BPS pada Februari lalu mencatat angka pengangguran bertambah 60 ribu orang menjadi 6,68 juta orang. Sementara Kemenaker per 2 Juni merangkum tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan sebanyak 3,05 juta orang dan diproyeksikan mencapai 5,23 juta orang.

(Baca: Fase Rawan Baru Bagi Bisnis di Kala Pandemi Corona Makin Memburuk)

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan memproyeksikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) akibat covid-19 pada perhitungan dasar sebesar 5,18%. Sedangkan pada perhitungan berat dan sangat berat masing-masing sebesar 7,33% dan 9,02%. Selengkapnya bisa disimak dalam Databoks di bawah ini:

Survei BPS yang dirilis pada 1 Juni terhadap 87.379 responden mendapatkan hasil 35,78% mengaku mengalami penurunan penghasilan. Penurunan pendapatan paling besar dirasakan responden berpenghasilan Rp 1,8 juta, yakni sebanyak 70,53%. Disusul responden berpendapatan Rp 1,8 juta-Rp 3 juta sebanyak 46,77%.

(Baca: Pakai Istilah New Normal, Masyarakat Justru Langgar Protokol Covid-19)

Menkeu Sri Mulyani pun pada 18 Juni lalu memproyeksikan konsumsi rumah tangga di kuartal II tahun ini hanya 0%. Angka ini jauh dari data BPS kuartal I sebesar 2,84% yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya 2,97% mengingat sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap PDB hampir 60%.

“Jadi kalau pendapatan Anda berkurang, yang akan Anda cut pertama adalah rekreasi. Kedua secondary need, lalu mengurangi konsumsi makanan,” kata Nawir kepada Katadata.co.id, Rabu (15/7).

(Baca: Pendapatan Anjlok 30%, Garuda Merugi Lagi Rp 1,7 Triliun di Kuartal I)

Sedangkan kelas menengah atas yang menurut data BPS pada 2015 mendominasi konsumsi kesenangan atau leisure seperti wisata memilih tetap berdiam di rumah demi menghindari tertular virus corona.

Hal sama dilakukan orang-orang yang masih memiliki pekerjaan. Ia menyebut perilaku ini sebagai wait and see.. Inilah yang membuat mobilitas masyarakat tak meningkat selama masa new normal, termasuk ke tempat wisata.

Pernyataan Nawir tersebut selaras dengan data Google Mobility Report per 10 Juli. Secara nasional, mobilitas masyarakat ke ritel dan tempat rekreasi -18%, ke taman -19%, ke tempat transit seperti terminal dan stasiun -36%, ke tempat kerja -22%, dan ke toko obat dan toko bahan pokok -4%.

Sebaliknya, mobilitas di wilayah hunian meningkat 12%. Peningkatan dan penurunan mobilitas dibandingkan baseline data pergerakan pada 3 Januari-6 Februari 2020.    

(Baca: Dampak Pandemi, Ekonom Nilai Indonesia Sudah di Ambang Resesi)

Halaman:
Reporter: Tri Kurnia Yunianto
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement