RCTI dan i-News mendapat sorotan dengan mengajukan uji materi Undang-undang Nomor  32/2002  tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan mereka mengenai definisi penyiaran yang menyasar penyelenggara over the top (OTT) seperti Netflix dinilai bisa menambah masalah dan beraroma persaingan bisnis. UU Penyiaran baru perlu dibuat untuk menjembatani masalah antara lembaga penyiaran konvensional dan digital.

Definisi penyiaran dalam UU 32/2002 termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) yakni, “kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum radio melalui udara, kabel dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Advertisement

Kedua stasiun televisi di bawah MNC Group tersebut dalam permohonannya menyebutkan definisi tersebut perlu memasukkan penyiaran menggunakan internet seperti selama ini dilakukan layanan OTT. Jika tidak, “maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar-penyelenggaran penyiaran.”

RCTI dan i-News juga menganggap tanpa peluasan definisi bisa berakibat konten siaran di internet bertentangan dengan Pancasila, UUD 194, dan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Begitupun membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak bisa melakukan pengawasan karena penyelenggara layanan OTT tak mesti tunduk pada UU Penyiaran.

Rumusan yang diusulkan adalah dengan menambah frasa: “dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.”

Permohonan ini masuk ke MK pada 28 Mei 2020 lalu dengan ditandatangani Dirut i-News TV David Fernando Audy dan Direrktur RCTI Jarod Suwahjo. Tercatat dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.

Namun, sidang lanjutan pada Rabu (26/8) lalu pemerintah menolak permohonan RCTI dan i-News. Dalihnya, OTT tak bisa serta merta dikategorikan sebagai penyiaran. Hal ini lantaran siaran lembaga penyiaran bersifat push service atau menyiarkan konten secara serentak melalui frekuensi radio dan pemirsa tak bisa memilih, sedangkan OTT pull service atau sesuai pilihan pemirsa.

Lebih lanjut, pemerintah menilai konten bersifat netral dan pengaturannya bergantung pada media mana penyalurannya. Misalnya, film yang tayang di bioskop tunduk pada aturan perfilman. Sedangkan jika diakses melalui OTT, maka tunduk pada aturan telekomunikasi, internet, UU Pornografi, dan lain-lain.

“Sehingga dalil-dalil para pemohon yang meminta tafsir penyiaran dianggap telah dibacakan, sudah sepatutnya ditolak oleh Majelis Yang Mulia,” kata pemerintah seperti termaktub dalam risalah MK.

Pemerintah yang dalam persidangan diwakili Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M Ramli menilai pengabulan gugatan berkonsekuensi membuat layanan OTT tak berizin penyiaran menjadi ilegal dan harus ditutup. Sementara, menegakkan hukum layanan OTT secara tegas tak mudah lantaran berasal dari yuridiksi di luar Indonesia.

Selain itu, lembaga atau perorangan yang bersiaran di internet tanpa mengantongi izin penyiaran pun bisa dianggap ilegal dan terjerat hukum.

Menambah Masalah

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Wisnu Prasetya pun menilai gugatan RCTI dan i-News memang tak tepat. Hal ini lantaran justru bertentangan dengan maksud dasar pembuatan UU Penyiaran, yakni mengatur penggunaan jaringan frekuensi publik yang jumlahnya terbatas. Sedangkan jaringan internet tak terbatas.

“Jadi akan tumpang tindih logikanya kalau internet masuk ke penyiaran,” kata Wisnu kepada Katadata.co.id, Jumat (28/8).

Wisnu menyatakan, logika internet pun menempatkan semua unggahan sebagai siaran. Bukan hanya yang bersifat audio visual seperti di radio dan televisi. Hal ini berpotensi unggahan tulisan dan gambar pun melanggar hukum jika tak mendapat izin siaran. Atau dengan kata lain berakibat aturan “karet”. Begitupun tumpang tindih dengan UU ITE.

Konsekuensi lain, adalah memperluas wewenang KPI sebagai lembaga pengawas penyiaran. Sementara, menurut Wisnu, KPI selama ini masih bermasalah dan dikhawatirkan justru memperumit permasalahan dunia penyiaran.

Wisnu tak berlebihan menyebut KPI bermasalah. Investigasi Tempo pada 2014 menemukan kepentingan ekonomi-politik pemilik media dalam proses pemilihan komisioner KPI periode 2013-2016. Akibatnya, lembaga ini tak bertaji menghadapi jurus kampanye terselubung melalui lembaga penyiaran menjelang Pemilu 2014.

Proses pemilihan yang bermasalah pun terulang pada periode 2019-2022. Temuan Ombudsman RI menyatakan KPI terbukti melampaui kewenangannya dan melakukan maladministrasi. Wujudnya, adalah membuat peraturan sendiri melalui kesepakatan yang tidak diatur dalam UU 32/2002.

Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi pun pada Juli tahun lalu sempat menyatakan lemahnya kinerja pengawasan KPI terhadap konten siaran. KPI hanya mengawasi isu yang sedang viral saja dan lemah dalam penegakan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Salah satunya terkait soal jam siar iklan.

“Aku setuju internet diatur, tapi tidak dengan cara merevisi UU Penyiaran. Ini tidak menyelesaikan masalah, tapi malah tambah masalah,” kata Wisnu.

Beraroma Persaingan Bisnis

R. Kristiawan, penasihat di International Media Support, menilai permohonan uji materi RCTI dan i-News beraroma persaingan kepentingan bisnis. Disrupsi digital yang menghadirkan layanan OTT dan platform lain telah “mengganggu ekonomi politik mereka yang terlanjut menguasai kue iklan analog.”

“Itu alasan yang sah, tapi caranya yang bener dong. Kalau mau menuntut (OTT) usulkan UU Penyiaran Digital ke DPR,” kata Kristiawan kepada Katadata.co.id, Jumat (28/8).

Semestinya, menurut Kristiawan, media televisi konvensional harus turut mendorong terwujudnya UU Penyiaran Digital. Bukan justru menghambatnya seperti selama ini dengan tak menyetujui peralihan ke digital terrestrial free to air dari analog melalui sistem single mux.

Tanpa itu atau dengan terus bermain di ranah analog, kata Kristiawan, secara alamiah mereka akan kalah dengan digital. Mengingat konten-konten digital saat ini lebih menarik ketimbang televisi analog dan orang sudah ramai bermigrasi ke internet.

“Saya kira akan terjadi senjakala teve swasta,” kata Kristiawan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement