Bergulirnya wacana reformasi sistem keuangan di tengah pandemi virus corona memantik ragam pendapat. Tak sedikit yang menilai reformasi tak dibutuhkan karena sejumlah indikator menunjukkan sektor keuangan masih stabil dan jauh dari krisis. Sebaliknya, langkah ini dapat memperlihatkan kepanikan pemerintah dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi yang sudah jatuh.
Wacana ini bermula dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 25 Agustus 2020 lalu, yang menyebutkan pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) reformasi sistem keuangan. Tujuannya mengantisipasi dampak pandemi virus corona ke stabilitas sistem keuangan.
“Kalau melihat keseluruhan stabilitas sistem keuangan harus hati-hati. Langkah persiapan yang diperlukan seandainya ada persoalan yang berkembang dan tidak bisa diselesaikan dalam peraturan perundang-undangan,” kata Sri Mulyani dlam konferensi pers APBN KiTa periode Agustus.
Sri Mulyani menyatakan, Perppu reformasi sistem keuangan masih dalam proses pembahasan dengan DPR. Termasuk mengkaji langkah-langkah untuk menguatkan stabilitas sistem keuangan menghadapi krisisi Covid-19.
Turunan dari kebijakan ini antara lain pemerintah dan DPR akan merevisi UU Bank Indonesia (BI), UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Salah satu konsekuensinya adalah mengembalikan pengawasan bank dari OJK ke BI dan LPS.
Berdasarkan informasi dari sumber Katadata.co.id yang mengetahui tentang hal ini, pengalihan kewenangan pengawasan tersebut tak akan membubarkan OJK dan posisinya tetap independen di bawah Kemenkeu. Melainkan, fungsinya beralih mengawasi lembaga keuangan dan pasar modal seperti halnya Bapeppam LK.
Konsekuensi lainnya, masih berdasar sumber kami, adalah penguatan komite stabilitas sistem keuangan (KSSK). Saat ini KSSK hanya memiliki fungsi koordinasi yang membuat Menkeu tak berwenang memanggil lembaga lain. Ini yang akan ditambah sehingga bisa lebih efektif dalam kondisi mendesak.
Sementara, dari draf RUU BI usulan DPR yang diterima Katadata.co.id, akan dibentuk Dewan Moneter yang membantu pemerintah dan bank sentral menetapkan kebijakan moneter. Sekretariat akan diselenggarakan BI. Anggotanya terdiri dari Menkeu, seorang menteri lain yang membidangi perekonomian, Gubernur BI, Deputi Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner OJK.
Menkeu akan menjadi ketua dan memimpin sidang sekurangnya dua kali dalam sebulan atau sesuai kebutuhan mendesak. Dewan Moneter pun berhak menunjuk penasehat ahli untuk hadir di sidang dalam pembahasan teknis. Pemerintah pun bisa menambah beberapa menteri sebagai penasihat bila dipandang perlu.
Setiap keputusan di Dewan Moneter diambil dengan jalan musyawarah mufakat dengan tata tertib dan tata cara menjalankan pekerjaan ditetapkan sendiri. Namun, Gubernur BI bisa mengajukan pendapat langsung ke pemerintah bila tak memufakati hasil musyawarah.
Nantinya, dalam revisi ini, pemerintah bisa terlibat dalam rapat bulanan Dewan Gubernur BI melalui perwakilan seorang atau lebih menteri bidang perekonomian. Rapat ini salah satunya menentukan arah suku bunga acuan BI yang berkaitan dengan laju inflasi. Pemerintah memiliki hak suara dan bicara yang menentukan keputusan.
Hal itu berbeda dengan ketentuan Pasal 9 UU BI yang menyatakan bank sentral independen dalam melaksanakan tugasnya, termasuk dari campur tangan pemerintah. Pasal ini pun dihapus dalam RUU BI.
Meski demikian, melansir Reuters pada Selasa (1/9), Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan BI akan tetap independen. Ia pun tak akan mengeluarkan Perppu yang akan mengamputasi independensi bank sentral.
Belum Ada Indikator Mengarah ke Krisis Keuangan
Namun, ditilik dari kondisi saat ini, sebenarnya kondisi sektor keuangan masih cenderung stabil dan jauh dari saat krisis 1998. Bukan seperti yang dikhawatirkan pemerintah dan mendasari rencana reformasi sistem keuangan.
Dari sisi non-performing loan (NPL) atau kredit macet, berdasarkan data OJK pada Juli sebesar 3,22%. Sangat berbeda dengan krisis 1998 yang NPL mencapai 48,6% atau lebih dari sepuluh kali lipat saat ini.
Dari sisi kecukupan modal (CAR) bank umum konvensional justru meningkat dari 22,55% pada Juni menjadi 23,1% pada Juli. Jauh lebih baik dari saat krisis 1998 yang minus 15,7% dan lebih baik dari krisis 2008 yang 16,8%.
Indikator lainnya, adalah yield atau imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang berangsur menurun dan menunjukkan kepanikan investor di pasar keuangan mereda. Data Bloomberg menyatakan berada di level 6,87% pada Agustus dibandingkan April yang 8,38%.
Nilai tukar rupiah pun masih terbilang stabil di kisaran Rp 14.773 per US$ pada 2 Agustus dibandingkan 2 Januari yang Rp 13.893 per US$ atau terdepresiasi 6,33%. Berbeda dengan krisis 1998 yang mengalami depresiasi mencapai 600% dalam kurun waktu kurang dari setahun, yakni dari Rp 2.350 per US$ menjadi Rp 16.000 per US$.
Stabilitas keuangan saat ini tak lepas dari stimulus moneter yang diberikan BI. Salah satunya adalah memberi injeksi likuiditas ke perbankan yang sampai Mei 2020 telah mencapai Rp 503,8 triliun.
Dari total tersebut, peruntukannya antara lain untuk penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah senilai Rp 155 triliun. GWM rupiah adalah instrumen moneter untuk mengatur uang beredar di masyarakat yang secara langsung berpengaruh terhadap indeks inflasi. Penurunan bertujuan menambah likuiditas bank.
“Krisis keuangan memang masih jauh. Kondisinya masih stabil,” kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Muhammad Faisal kepada Katadata.co.id menanggapi data tersebut, Rabu (2/9).
Bisa Memperburuk Kondisi Ekonomi
Sebaliknya, Faisal menilai reformasi sistem keuangan dapat memperburuk kondisi ekonomi. Seperti pengalihan pengawasan bank dari OJK ke BI dan LPS yang membutuhkan waktu lama dan bisa menurunkan kepercayaan terhadap lembaga keuangan. Sementara, saat ini justru yang dibutuhkan adalah meningkatkan kepercayaan pelaku.
Indonesia sebenarnya mengadopsi Inggris saat memisahkan fungsi kebijakan moneter dan pengawasan bank yang sebelumnya terpusat di bank sentral dan terbentuklah OJK. Namun, pada 2013, Inggris kembali menggabungkan kedua fungsi tersebut ke bank sentral, mirip dengan rencana di RUU BI yang tengah bergulir.
Akan tetapi, yang berbeda dalam pelaksanaan perubahan tersebut adalah Inggris melakukannya di saat normal. Sehingga, prosesnya tak terdisrupsi oleh kondisi ekonomi yang memburuk.
“Kalau digabungkan atau dipisah pengawasannya selalu ada plus minus, tapi sekarang waktunya tidak tepat,” kata Faisal.
Pembentukan Dewan Moneter yang memberi jalan intervensi pemerintah terhadap kebijakan BI pun berpotensi sama. Ia mencontohkan saat krisis minyak dunia pada tahun 70-an yang menyebabkan stagflasi di banyak negara dunia. Saat itu hanya Jerman yang mampu lolos lantaran bank sentralnya independen.
“Berpotensi juga memunculkan moral hazard,” kata Faisal.
Respons negatif terhadap rencana reformasi sistem keuangan sudah terlihat dari pelemahan nilai tukar rupiah. Rabu (2/9) sore, rupiah berada di level Rp 14.745 atau melemah 1,18%. Menjadi yang terdalam di Asia. Data Bloomberg menyatakan yen Jepang melemah 0,23%, dolar Singapura 0,03%, dolar Taiwan 0,12%, bahkan ringgit Malaysia 0,03%.
Lagi pula, kata Faisal, “krisis sekarang di sektor riil. Jadi tidak tepat kalau obatnya mereformasi sistem keuangan.”
Yang Perlu Dilakukan
Kalaupun pemerintah dan DPR memang ingin mereformasi sistem keuangan, adalah dengan menambah kewenangan BI bisa turut mendorong perekonomian. Bukan hanya menekan laju inflasi seperti saat ini. Mengingat, inflasi sekarang sudah rendah dan mengarah kepada deflasi.
“Inflasi yang rendah menunjukkan permintaan masyarakat menurun. Ini masalah utamanya sekarang,” kata Faisal.
Tambahan kewenangan BI, misalnya membuat aneka macam kredit laiknya era Orba. Saat itu BI bisa memiliki program kredit investasi kecil, kredit mahasiswa Indonesia, dan kredit profesi guru, kredit koperasi, dan lainnya.
Berbagai tunjangan kredit tersebut membuat bank sentral menjadi penyedia dana terbesar dalam pembangunan ekonomi di luar APBN. Fungsi tersebut yang dihapuskan dalam UU BI setelah reformasi 1998. Akhirnya BI tak bisa secara langsung mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam situasi krisis akibat pandemi virus corona, hilangnya fungsi BI tersebut cukup terasa. Pemerintah mesti mengandalkan utang dalam mendanai stimulus. Total utang pemerintah per Juli 2020 sebesar Rp 5.434,86 triliun atau sebesar 33,63% terhadap produk domestik bruto (PDB). Hal ini bisa berdampak buruk pada stabilitas perekonomian.
Dorongan BI melalui skema burden sharing dengan pemerintah. BI menanggung Rp 397,56 triliun untuk belanja publik dari total dana penanganan dan pemulihan ekonomi akibat virus corona yang sebesar Rp 903,56 triliun. Caranya dengan bank sentral membeli SBN dari pasar perdana.
“Tapi itu juga belum maksimal,” kata Faisal.
Gubernur BI Perry Warjiyo pada 19 Agustus lalu menyatakan, BI telah membeli SBN senilai Rp 125,06 triliun. Rinciannya, Rp 42,96 triliun sesuai surat keputusan bersama (SKB) per 16 April dan Rp 82,1 triliun sesuai SKB 7 Juli 2020. SKB 7 Juli BI mulai membeli di pasar perdana, sementara sebelumnya melalui pasar sekunder.
Sedangkan ekonom senior CORE Indonesia Piter Abdullah menilai pemerintah sebaiknya fokus menangani pandemi seperti menemukan vaksin. Mengingat, sumber masalah saat ini adalah Covid-19. Bukan justru merencanakan reformasi sistem keuangan.
“Ini masalahnya apa, solusinya apa, itu enggak jelas,” katanya melansir Antara, Senin (31/8).
Piter pun menilai pemerintah cenderung mencari-cari kesalahan lembaga keuangan. Padahal menurutnya BI, OJK, dan LPS sudah berkontribusi baik selama pandemi. Lagi pula, resesi tak bisa dibebankan kepada salah satu lembaga saja lantaran “bukan salah siapa-siapa”.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun menyatakan opsi Perppu sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah dan DPR tak bisa ikut campur. Sementara, revisi UU BI masih berada di tingkat diskusi awal.
“Revisi UU BI baru tahap penyandingan tenaga ahli di Baleg (badan legislasi),” kata Misbakhun kepada Katadata.co.id, Rabu (2/9) malam.
Hal senada disampaikan Anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno pada Selasa (1/9), bahwa DPR masih menunggu keputusan langkah pemerintah dalam mereformasi sistem keuangan. Apakah akan memilih langkah revisi UU BI dan OJK, Omnibus Law, atau Perppu.
Terkait revisi UU BI, Hendrawan menyatakan “masih akan terus dimatangkan dengan menyerap aspirasi para pihak.”