Jerat Subsidi di Negeri Petrodolar

No image
Oleh
28 Juni 2013, 00:00
No image
Donang Wahyu | KATADATA

Pemerintah pekan lalu akhirnya mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Keputusan ini benar, meski tak populer di mata rakyat. Ini dikarenakan, selama berpuluh tahun rakyat di negeri ini dimanjakan oleh subsidi minyak. Tak ada jalan lain, demi menyelamatkan anggaran negara, ?pil pahit? itu harus ditelan.

Ada sejumlah alasan yang mendasarinya. Salah satunya, kondisi perekonomian domestik dan global, khususnya di sektor migas, sudah jauh berbeda. Sebuah kenyataan yang tak bisa ditampik bahwa Indonesia kini bukan lagi negeri dengan cadangan minyak berlimpah.

Advertisement

Cadangan terbukti saat ini tinggal 3,6 miliar barel. Jumlah ini bahkan kalah dibanding Malaysia yaitu 5,9 miliar barel, atau Vietnam  4,4 miliar barel. Padahal, jumlah penduduk negeri jiran di perbatasan Kalimantan itu hanya seperdelapan penduduk Indonesia.

Celakanya, di saat cadangan dan produksi minyak menurun, konsumsi BBM justru meningkat. Dari hanya 400 ribu barel per hari pada 1980-an, kini mencapai 1,4 juta barel. Sementara, produksi domestik hanya di kisaran 800 ribu barel per hari. Tak mengherankan, sudah sejak 2005 negeri ini menyandang status pengimpor minyak neto. Dengan kata lain, impor sudah lebih besar dibanding ekspor.

Himpitan itu terasa kian menindih ketika harga minyak dunia terus meroket, yang dalam beberapa tahun terakhir di kisaran US$ 100 per barel. Akibatnya, beban subsidi BBM yang harus ditanggung pemerintah demi mempertahankan kebijakan bensin dan solar ?murah? menjadi kian berat.

Jika harga jual tak segera dinaikkan, subsidi tahun ini ditaksir bakal membengkak menjadi hampir Rp 300 triliun?padahal tujuh tahun lalu hanya sekitar seperlimanya. Di tengah situasi ini, kita pun perlu menelaah ulang kebijakan subsidi BBM, yang oleh sebagian kalangan masih ingin terus dilanggengkan.

Untuk itu, mari berkaca pada dua negara kaya minyak: Venezuela dan Arab Saudi. Keduanya termasuk dalam jajaran negeri paling kaya minyak di muka bumi. Cadangan ?emas hitam? mereka lebih dari 250 miliar barel atau 60 kali lipat Indonesia. Toh, kebijakan subsidi BBM kini juga mulai dipersoalkan di sana, karena dianggap merongrong perekonomian mereka.

Venezuela selama ini menjual BBM dengan harga termurah di dunia. Bensin hanya dibanderol 2 sen dolar AS atau setara Rp 200 per liter. Kebijakan ini ternyata berdampak serius, karena meski memiliki cadangan hampir 300 miliar barel, produksi minyaknya terbilang kecil: hanya 2,4 juta barel per hari.

Rendahnya tingkat produksi itu merupakan buah dari kebijakan Presiden Hugo Chavez yang menasionalisasi perusahaan migas asing, sehingga tidak ada investasi baru untuk melakukan eksplorasi dan ekploitasi.  Sementara itu, konsumsi BBM meningkat lebih dari 40 persen dalam kurun 1999-2012.

Badan Energi Internasional (IEA) menghitung, subsidi yang harus ditanggung pemerintah Venezuela pada 2011 karena tidak menjual BBM sesuai harga pasar, yaitu sebesar US$ 27 miliar (Rp 267 triliun). Persoalannya, seperti dilansir harian the Wall Street Journal, megasubsidi itu menggembungkan utang Venezuela hingga US$ 167 miliar.

Halaman:
No image
Reporter: Redaksi
Editor: Arsip

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement