Jaringan Gas Suatu Saat Seperti Jaringan Air Bersih

Arnold Sirait
19 Oktober 2017, 23:30
jaringan gas
Ilustrator: Betaria Sarulina

Selama tiga tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bertanggung jawab terhadap kelancaran banyak proyek infrastruktur. Selain megaproyek pembangkit listrik 35 Gigawatt, ada pembangunan jaringan gas, kilang minyak, dan BBM satu harga.

Semua proyek itu bertujuan menyediakan energi dengan harga murah dan terjangkau oleh semua masyarakat. Dengan begitu, dapat menciptakan pemerataan. Namun, tidak mudah mewujudkan semua proyek itu di tengah keterbatasan anggaran negara.

“Negara harus hadir membangun infrastruktur energi,” kata Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar dalam wawancara khusus dengan Tim Katadata: Metta Dharmasaputra, Arnold Sirait, Heri Susanto, Padjar Iswara dan fotografer Arief Kamaludin di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (17/10).

Di luar soal infrastruktur, Arcandra juga menyinggung sejumlah kebijakan penting ESDM lainnya yang akan dituliskan dalam artikel terpisah.

Apa proyek infrastruktur yang jadi fokus Kementerian ESDM untuk pemerataan?

Saya mulai dari proyek jaringan gas. Kalau boleh bermimpi, suatu saat akan terbangun jaringan gas di Indonesia seperti jaringan air bersih. Sebab, idealnya yang didistribusikan ke masyarakat adalah gas metana.

Ini seperti di Amerika, yang dialirkan ke rumah-rumah itu CH4 (methane). Kalau gas di dalam tabung Elpiji (LPG) itu kaya akan komponen C.

Ada beberapa keuntungan dari jaringan gas tersebut. Pertama, impor LPG bisa kita kurangi. Kedua, masyarakat dapat menikmati gas dengan harga lebih murah. Alangkah indahnya kalau masyarakat mau masak, tinggal buka keran gas.

 

Ketiga, kemudahan transportasi. Contohnya, LPG di daerah NTT dan NTB itu didatangkan dari Surabaya. Sedangkan kalau punya jaringan gas, masyarakat akan merasa gas di daerah tersebut dapat mereka nikmati.

Bagaimana pencapaian pembangunan jaringan gas?

Berdasarkan data, pada 2017 ini ditargetkan 400 ribu sambungan rumah. Jumlahnya meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu 340 ribu sambungan tahun 2016; 225 ribu pada 2015, dan 200 ribu pada 2014 lalu.

Jadi, setiap tahun ditargetkan angkanya naik agar cita-cita pemerintah melakukan pemerataan jaringan gas kota bisa tercapai. Ini menghemat biaya sekitar Rp 90 ribu per bulan per keluarga. Kelihatannya sedikit, tapi itu dari segi keluarga. Sisi lainnya adalah penghematan subsidi

Jadi, jaringan gas ini tidak disubsidi seperti Elpiji 3 kilogram?

Kalau pasokan gasnya sudah masuk sesuai dengan PJBG (Perjanjian Jual-Beli Gas). Misalnya untuk Aceh, harga per mmbtu US$ 4,7. Itu dibagi per mmbtu per rumah. Kira-kira hematnya Rp 90 ribu per bulan per keluarga.

Bagaimana dukungan dana dari pemerintah untuk membangun jaringan gas?

Negara harus hadir membangun infrastruktur. Sama seperti negara membangun infrastruktur jalan, ada yang (negara) hadir sendiri dan ada yang lewat skema jalan tol. Biaya pembangunan infrastruktur yang disediakan pemerintah lewat APBN.

Bagaimana skema pendanaan yang menarik bagi pihak swasta untuk membiayai proyek jaringan gas?

Saya belum melihat terobosannya seperti apa. Tapi kami welcome dengan ide-ide baru. Silakan kalau ada ide yang bisa mengurangi beban APBN. Kalau menurut saya, ini tugas pemerintah. Seperti di Amerika, jaringan gas juga dibangun melalui dana pajak.

Meski dana pemerintah terbatas, jaringan gas tetap jadi proyek prioritas?

Iya. Prioritas kami agar masyarakat dapat tetap merasakan hasil pembangunan.

Wakil Menteri ESDM, Archandra Tahar. Arief Kamaludin|KATADATA

Bagaimana proyek infrastruktur lain, yaitu pembangunan kilang minyak?

Kebutuhan refinery product (produk hasil kilang) kita sekitar 1,6-1,7 juta barel per hari. Sementara, pasokan minyak mentah dari dalam negeri hanya 400 ribu barel, sedangkan yang diimpor 300-400 ribu.

Jadi, produksi bahan bakar minyak (BBM) kita di dalam negeri hanya 800 ribu barel, meski kapasitas terpasangnya 1 juta barel. Padahal, kebutuhan BBM kita mencapai 1,6 -1,7 juta barel per hari. Jadi, 900 ribu refinery product harus diimpor. Ini adalah market steady setiap hari, yang untuk jangka panjang memang kita butuhkan.

Kalau kita impor refinery product itu mengacu MOPS + sekian persen. Kalau diproduksi sendiri, MOPS-nya minus sekian persen. Ada selisihnya, yang kalau dikalikan dengan kebutuhan 900 ribu barel tersebut cukup banyak penghematannya.

Jadi, proyek kilang minyak ini sangat penting?

Kalau saya lihat, proyek kilang ini semacam blue ocean karena tidak mengganggu yang lain. Artinya, kalau membangun sebuah proyek dan kita berkompetisi karena pasarnya sama, maka itu bukan blue ocean.

Sedangkan blue ocean adalah proyek dimana kita yang menciptakan sebuah pasar, tapi bukan pasar baru dan tidak mengganggu orang lain. Kita berenang di air kita sendiri, yaitu pasar kita sendiri.

Kita punya pasar 1,7 juta barel BBM per hari. Kalau bangun kilang untuk kebutuhan sendiri, maka itu tidak mengganggu tetangga. Berbeda kalau misalnya kita bangun kilang kapasitas 3 juta barel per hari, yang 1,3 juta barel sisanya mau dikemanakan? Kita jangan ke sana.

Ini murni kita menganggap bahwa energi security akan terbantu dengan membangun kilang. Sebab, kilang itu untuk mencukupi kebutuhan kita sendiri, bukan dalam rangka ekspor.

Setiap hari impor 900 ribu barel, kalau bisa dihemat 1 atau 2 dolar saja itu lumayan. Bisa hemat US$ 2 juta per hari, setahun US$ 600 juta atau setara Rp 8 triliun. Bagaimana kalau penghematan dengan adanya kilang ini lebih dari dua dolar.

Bagaimana nasib kilang, sementara ada juga pengembangan mobil listrik?

Saya baca studi juga. Argumen pertama, Perpres (Peraturan Presiden) ini mengatakan,  tidak boleh lagi menjual mobil berbahan fosil pada 2040. Tapi, tetap masih banyak mobil berbahan bakar fosil di tahun 2030.

Jadi, kalau kilang mulai berproduksi pada 2023, masih ada sekitar 20 tahun masa produksinya. Ditambah mobil sisa yang masih hidup hingga 2050. Berdasarkan studi, mobil listrik itu akan mengambil incremental-nya. Tapi basisnya ini akan berkurang landai. Inilah market kita.

Argumen kedua, apakah benar harga kilang ini masih kompetitif jika dibandingkan baterai atau energi lain? Ini harus dihitung. Tapi, tidak ada yang bisa menebak future value di migas. Semuanya salah.

Dikatakan (harga minyak) naik, ternyata tiba-tiba turun, dikatakan turun tapi tiba-tiba naik. Bahkan, presiden terkuat di dunia pun tidak ada yang dapat memprediksi harga minyak.

Berapa besar kebutuhan BBM di masa depan?

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...