Menjawab Keraguan Terhadap Gross Split

Prahoro Nurtjahyo
Oleh Prahoro Nurtjahyo
29 Desember 2017, 06:00
No image
Ilustrator: Betaria Sarulina

Membaca tulisan Opini Bapak Madjedi Hasan berjudul "Potensi Masalah Skema Kontrak Bagi Hasil Gross Split" yang diunggah di Katadata.co.id, 2 Desember 2017, kita perlu memberikan apresiasi kepada penulis. Sebab, menunjukkan semangat dan perhatiannya terhadap keberlangsungan kegiatan hulu minyak dan gas bumi (migas) di tanah air.

Namun, sangat disayangkan, dari beberapa catatan beliau terkait dengan konsep Kontrak Bagi Hasil Gross Split, terlihat bahwa beliau tidak memperoleh informasi yang up-to-date dengan konsep terkini. Makanya, hal-hal yang menjadi catatan beliau sebenarnya sudah dijawab melalui produk-produk kebijakan yang diambil oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.

Beberapa dialog secara intensif sudah dilakukan dengan semua stakeholder untuk memberikan gambaran utuh tentang Gross Split. Kementerian ESDM percaya bahwa dialog menjadi cara yang efektif untuk menjelaskan konsep Gross Split dibandingkan dengan format tertulis. Namun, perlu juga memberikan informasi secara tertulis untuk menjawab beberapa pertanyaan yang sering diajukan oleh publik. Di bawah ini beberapa poin pokok penjelasannya.

Landasan hukum

Hal pertama yang disoroti terkait dengan Gross Split ini adalah landasan dasar hukumnya. Dari tinjuan formil dan materiil (substantif), konsep Gross Split sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 8 tahun 20017 dan perubahannya telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Hal formil yang telah terpenuhi adalah Gross Split masuk dalam definisi dari Kontrak Kerja Sama (KKS) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 19 UU No. 22 tahun 2001, yaitu KKS adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk Kontrak Kerja Sama Lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Adapun, hal materil (substantif) yang telah terpenuhi adalah Gross Split telah memenuhi syarat-syarat substantif yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 22 tahun 2001, yaitu tentang syarat-syarat utama KKS. Pertama, kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan. Kedua, pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana. Ketiga, modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. 

Contohnya, Blok ONWJ yang merupakan wilayah kerja pertama menerapkan sistem Gross Split telah memenuhi hal Formil dan Substantif . Selain itu, pasal-pasal di dalam Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang telah ditandatangani untuk wilayah kerja ONWJ memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 11 ayat 3,UU. No 22 tahun 2001.

Ketentuan-ketentuan pokok yang harus dimuat itu adalah penerimaan negara, wilayah kerja dan pengembaliannya, kewajiban pengeluaran dana, perpindahan kepemilikan hasil produksi migas, jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak, dan seterusnya.

Untuk memberikan penegasan bahwa Kontrak Bagi Hasil Gross Split berada dalam rumpun KKS yang berbentuk Kontrak Bagi Hasil, di dalam Rancangan Perubahan Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 telah dimasukkan ketentuan mengenai hal tersebut.

Perbedaan dengan Konsep Royalti

Hal yang juga sering ditanyakan adalah, apakah konsep Gross Split berbasis pada sistem Royalty and Tax? Secara aritmetika, Gross Split mirip dengan konsep kontrak migas berdasarkan royalti. Namun, secara substantif (materiil) terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara Gross Split dengan Konsep Royalti.

Dalam sistem Gross Split, sumber daya alam (SDA) migas adalah milik negara sampai dengan titik penyerahan. Ini diatur dalam Pasal 6 UU No. 22/2001. Jadi, pembagian hasil produksi yang telah disepakati dalam kontrak dilakukan di titik penyerahan.

Sedangkan dalam sistem Konsesi, SDA migas di wilayah kerjanya adalah milik investor. Kewajiban investor kepada negara adalah menyerahkan royalti yang telah disepakati dan membayar pajak jika sudah ada keuntungan.

Begitu juga dengan manajemen operasi. Di dalam Kontrak Bagi Hasil Gross Split, manajemen operasi ada di negara (SKK Migas). Sedangkan di dalam sistem konsesi, manajemen operasi di pihak investor.

Jadi, tidak benar jika dikatakan bahwa manajemen operasi pada kontrak Gross Split tidak lagi di tangan negara. Yang bakal terjadi adalah perubahan pola dan pendekatan manajemen operasi yang selama ini berjalan berdasarkan PSC Cost Recovery

Migas
(Dok. Chevron)

Keterikatan kontraktor

Pendapat dari Pak Madjedi bahwa konsep Gross Split meniadakan cost recovery sehingga mirip dengan bisnis biasa dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bebas untuk membangun dan menjual, merupakan pengertian yang  tidak benar.

Kontraktor akan tunduk pada terms and conditions yang diatur dalam Kontrak Bagi Hasil Gross Split, termasuk di dalamnya soal manjemen operasi berada di SKK Migas dan kepemilikan aset yang dibeli dalam rangka kegiatan operasi menjadi milik negara. Karena itu, tidak tepat menyamakan kegiatan operasi berdasarkan Gross Split dengan kegiatan bisnis pada umumnya.

Komponen lokal (TKDN)

Kekhawatiran bahwa jika menggunakan sistem Gross Split maka pemerintah akan lebih sulit menjalankan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam operasi hulu migas, adalah tidak perlu terjadi. Sebab, kebijakan TKDN sudah dimasukkan dalam bagian dari sistem Gross Split sebagai tambahan bagi hasil. 

Dengan memanfaatkan komponen dalam negeri, kontraktor akan memperoleh manfaat keekonomian yang signifikan. Sebagai contoh, untuk pengembangan lapangan migas dengan penerimaan US$ 20 miliar, jika memanfaatkan kandungan lokal maka kontraktor akan memperoleh tambahan bagi hasil paling sedikit US$ 400 juta.

Pelaksanaan sistem Gross Split juga tidak menghapuskan kewajiban kontraktor dalam penggunaan produk barang dan jasa dalam negeri. Seluruh kewajiban sesuai peraturan-peraturan yang terkait dengan barang dan jasa dalam negeri tetap harus dipatuhi oleh kontraktor.

Pendekatan yang digunakan dalam kontrak Gross Split terkait TKDN adalah kontraktor wajib menggunakan barang dan jasa dalam negeri minimal 30%. Jika pelaku usaha dalam negeri dapat meningkatkan kualitas dan kapasitas barang atau jasanya sehingga kompetitif dibandingkan luar negeri, maka konsep Gross Split telah memberikan ruang fiskal yang sangat menarik bagi kontraktor agar lebih kompetitif.

Halaman:
Prahoro Nurtjahyo
Prahoro Nurtjahyo
Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Investasi dan Pengembangan Infrastruktur
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...