Waspadai Potensi Tiga Penyimpangan Pembelian Saham Freeport

Fahmy Radhi
Oleh Fahmy Radhi
5 April 2018, 14:15
No image
Ilustrator: Betaria Sarulina

Setelah hampir sembilan tahun, Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan mantan Direktur Utama PT Pertamina (persero) Karen Galaila Agustiawan sebagai tersangka. Status hukum itu terkait dugaan korupsi dalam keputusan investasi non-rutin untuk pembelian participating interest (PI) milik ROC Oil Company Ltd di lapangan Basker Manta Gummy (BMG) Australia, berdasarkan agreement for sale and purchase-BMG Project pada 27 Mei 2009.

Menurut Kejaksaan Agung, ada dugaan penyimpangan dalam keputusan investasi yang tidak sesuai dengan pedoman investasi, tanpa ada studi kelayakan berupa kajian secara lengkap final due diligence dan tanpa persetujuan Dewan Komisaris Pertamina. Dampaknya, investasi untuk capital expenditure sebesar US$ 31.492.851 dan operational expenditure US$ 26.808.244 tidak memberikan manfaat dalam penambahan cadangan dan produksi minyak nasional, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar  Rp 568 miliar.

Baru-baru ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menugaskan PT Inalum, induk usaha (holding) BUMN tambang, untuk mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia melalui pembelian 40 persen PI milik Rio Tinto. Menteri BUMN harus mewaspadai beberapa potensi penyimpangan dalam pembelian saham Rio Tinto ini.

Pertama, penyimpangan dalam penyusunan final due diligence berupa rekayasa terhadap tingkat kelayakan keputusan pembelian 40 persen PI. Bisa jadi yang mestinya tidak layak tetapi direkayasa sedemikian rupa sehingga dibuat seolah-olah menjadi layak. (Baca juga: Beli Hak Kelola Rio Tinto di Freeport, Inalum Siapkan Opsi Obligasi).

Kedua, penyimpangan dalam penetapan harga penjualan 40 persen PI, yang cenderung over value alias kemahalan. Selain menggunakan metode penetapan harga pasar yang wajar, penetapan harga 40 persen PI juga harus memperhitungkan potensi biaya dan utang yang masih harus dibayarkan oleh Freeport setelah pembelian 40 persen PI.

Potensi biaya dan utang itu termasuk kewajiban Freeport untuk membayar kerugian negara sebesar Rp 185 triliun akibat kerusakan ekosistim yang dilakukan oleh Freeport, berdasarkan temua BPK. Selain itu, perlu diperhitungkan kewajiban Freeport untuk melunasi utang tunggakan pajak kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua sebesar Rp 3,5 triliun, berdasarkan keputusan Pengadilan Pajak. Tanpa memperhitrungkan biaya dan utang Freeport tersebut, penetapan harga 40 persen PI pasti akan kemahalan, yang berpotensi merugikan negara.

Halaman:
Fahmy Radhi
Fahmy Radhi
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM, Mantan Anggota Reformasi Tata Kelola Migas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...