Wanted: The Iron Man untuk Mobil Listrik

Ade Febransyah
Oleh Ade Febransyah
1 Oktober 2018, 06:00
Ade Febransyah
Ilustrator: Betaria Sarulina
Presiden Jokowi meresmikan Tol Surabaya-Mojokerto dengan Mobil Listrik karya mahasiswa Institut 10 November

Lagi-lagi soal produksi mobil! Kali ini mobil listrik. Inisiatif menjadikan Indonesia sebagai rumah pembuat produk berteknologi tinggi patut disambut gembira. Bukan sekali ini saja, inisiatif melakukan lompatan katak juga pernah muncul jauh hari sebelumnya.

Tentu kita ingat ketika pesawat terbang Tetuko pertama kali diuji terbang tahun 1983. Upaya menghadirkan pesawat terbang buatan sendiri terus berlanjut. Ada prototipe-prototipe lainnya yang sukses diuji coba. Inilah bukti mimpi besar yang tidak pernah hilang: menjadikan Indonesia sebagai bangsa pembuat. Memang,tidak ada bangsa besar tanpa membuat.

Tidak hanya membuat pesawat terbang, inisiatif untuk menghadirkan mobil buatan sendiri tidak pernah putus. Sebut saja inisiatif membuat mobil nasional mulai dari Maleo, Timor di era Orde baru hingga  Esemka dan mobil listrik di era reformasi sekarang.

Sebagai bangsa, kita pun bangga. Tapi tentunya tidak berhenti sebatas bangga. Harapannya agar program-program hebat tersebut memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan industri dalam negeri dan masyarakat Indonesia.

Jika sekarang mimpi membuat mobil sendiri khususnya yang listrik ini ingin dihidupkan kembali, apakah keputusan ini Go/No-Go? Apa justifikasinya?

Perspektif pasar

Ketepatan inisiatif membuat mobil listrik dapat dilihat dari berbagai perspektif. Untuk memulainya bisa dari apa yang ditawarkan (what) dan kepada siapa ditawarkan (who) serta silakan validasi apakah ada kecocokan antara keduanya.

Dalam kasus ini, apa yang ditawarkan adalah mobil listrik, meski masih sebatas ide dan belum ada konsepnya yang siap direalisasi. Kemudian, melihat masyarakat mana yang kira-kira akan menggunakan mobil listrik. Masih adakah masalah atau pekerjaan di masyarakat yang belum terselesaikan (dengan baik)? Karena sedang membicarakan mobil listrik, tentunya pekerjaannya berkaitan dengan urusan transportasi.

Sekarang coba tuliskan apa pekerjaan yang harus diselesaikan dan bisa dijawab oleh sebuah mobil atau mobil listrik? Pekerjaan atau kebutuhan manusia bisa dikelompokkan menjadi dua, fungsional dan emosional (Cagan & Vogel, 2001, Christensen, 2007). Setiap orang memiliki tingkat kepentingan yang berbeda terhadap dua kebutuhan tersebut.

Contohnya, bagi masyarakat yang menjadi target pengguna mobil low cost green car (LCGC) seharga 100 jutaan rupiah, kebutuhan fungsional sekitar dua kali lebih penting ketimbang emosional dengan rasio 66:34 (Febransyah, 2013). Fungsionalitas sebuah mobil bisa dijelaskan dari performa kendaraan, tingkat  konsumsi BBM, kemudahan perawatan, dan keterjangkauan harga.

Sementara sebuah mobil bisa membuat penggunanya begitu emosional karena dapat menjelaskan identitas siapa penggunanya, memberikan perasaan tertentu kepada penggunanya hingga dapat menyampaikan pesan bernilai kepada masyarakat.  

Rasio fungsionalitas terhadap emosi ini akan berubah untuk masyarakat yang bukan menjadi target pengguna LCGC. Bagi mereka yang tidak terganggu lagi dengan urusan keterjangkauan harga, kebutuhan emosional akan semakin meningkat.

Nah, jika mobil listrik ingin diperkenalkan di pasar domestik, silakan diuji apakah kemampuan mobil itu lebih menjawab kebutuhan fungsional atau emosional. Dengan biaya bahan bakar ekuivalen dan biaya perawatan yang lebih murah ketimbang mobil berbahan bakar minyak (Palmer et al, 2018), tentunya mobil listrik akan diminati berbagai kalangan.

Tapi dengan harga mobil listrik termurah sekarang ini yang berkisar US$ 24.000 – 45.000, tentunya masih terlalu mahal bagi banyak orang di sini. Aspek desirability (adanya pasar) terhadap mobil listrik akan rendah.

Kabar gembiranya, kemajuan teknologi semakin menurunkan biaya baterai ($/kWh) sehingga harga mobil listrik bakal lebih terjangkau (McKinsey, 2017). Apalagi jika nantinya pemerintah juga memberikan berbagai keringanan pajak sehingga produsen menurunkan harga jual hingga sekitar Rp 300 jutaan saja (hipotetikal dan asumsi waktu sekarang). Sebagai gambaran, kendaraan jenis low MPV seharga hingga Rp 250 jutaan masih paling laris di pasar domestik (Gaikindo, semester I 2018). 

industri 4.0
(ANTARA FOTO/Risky Andrianto)

Jika ingin diterima di sini, mobil listrik harus bisa memberikan rasio benefit terhadap harga yang lebih baik dari mobil konvensional yang paling diminati pasar saat ini. Dengan harga jual Rp 300 juta (asumsi sekarang) tapi menawarkan kelebihan benefit dan total cost of ownership yang lebih murah dibandingkan mobil paling diminati sekarang ini, mobil listrik akan terdifusikan secara cepat.

Ada prasyarat yang harus dipenuhi yaitu ketersediaan infrastruktur jejaring stasiun pengisian baterai mobil listrik dan didukung dengan ketersediaan kapasitas suplai listrik dari PLN. Inilah skenario terbaik dari mobil listrik agar dapat diterima masyarakat di Tanah Air. Butuh waktu yang tidak singkat untuk mewujudkan kondisi terbaik tersebut.

Halaman:
Ade Febransyah
Ade Febransyah
Guru Inovasi Prasetiya Mulya Business School
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...