Wanted: The Iron Man untuk Mobil Listrik
Lagi-lagi soal produksi mobil! Kali ini mobil listrik. Inisiatif menjadikan Indonesia sebagai rumah pembuat produk berteknologi tinggi patut disambut gembira. Bukan sekali ini saja, inisiatif melakukan lompatan katak juga pernah muncul jauh hari sebelumnya.
Tentu kita ingat ketika pesawat terbang Tetuko pertama kali diuji terbang tahun 1983. Upaya menghadirkan pesawat terbang buatan sendiri terus berlanjut. Ada prototipe-prototipe lainnya yang sukses diuji coba. Inilah bukti mimpi besar yang tidak pernah hilang: menjadikan Indonesia sebagai bangsa pembuat. Memang,tidak ada bangsa besar tanpa membuat.
Tidak hanya membuat pesawat terbang, inisiatif untuk menghadirkan mobil buatan sendiri tidak pernah putus. Sebut saja inisiatif membuat mobil nasional mulai dari Maleo, Timor di era Orde baru hingga Esemka dan mobil listrik di era reformasi sekarang.
Sebagai bangsa, kita pun bangga. Tapi tentunya tidak berhenti sebatas bangga. Harapannya agar program-program hebat tersebut memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan industri dalam negeri dan masyarakat Indonesia.
Jika sekarang mimpi membuat mobil sendiri khususnya yang listrik ini ingin dihidupkan kembali, apakah keputusan ini Go/No-Go? Apa justifikasinya?
Perspektif pasar
Ketepatan inisiatif membuat mobil listrik dapat dilihat dari berbagai perspektif. Untuk memulainya bisa dari apa yang ditawarkan (what) dan kepada siapa ditawarkan (who) serta silakan validasi apakah ada kecocokan antara keduanya.
Dalam kasus ini, apa yang ditawarkan adalah mobil listrik, meski masih sebatas ide dan belum ada konsepnya yang siap direalisasi. Kemudian, melihat masyarakat mana yang kira-kira akan menggunakan mobil listrik. Masih adakah masalah atau pekerjaan di masyarakat yang belum terselesaikan (dengan baik)? Karena sedang membicarakan mobil listrik, tentunya pekerjaannya berkaitan dengan urusan transportasi.
Sekarang coba tuliskan apa pekerjaan yang harus diselesaikan dan bisa dijawab oleh sebuah mobil atau mobil listrik? Pekerjaan atau kebutuhan manusia bisa dikelompokkan menjadi dua, fungsional dan emosional (Cagan & Vogel, 2001, Christensen, 2007). Setiap orang memiliki tingkat kepentingan yang berbeda terhadap dua kebutuhan tersebut.
Contohnya, bagi masyarakat yang menjadi target pengguna mobil low cost green car (LCGC) seharga 100 jutaan rupiah, kebutuhan fungsional sekitar dua kali lebih penting ketimbang emosional dengan rasio 66:34 (Febransyah, 2013). Fungsionalitas sebuah mobil bisa dijelaskan dari performa kendaraan, tingkat konsumsi BBM, kemudahan perawatan, dan keterjangkauan harga.
Sementara sebuah mobil bisa membuat penggunanya begitu emosional karena dapat menjelaskan identitas siapa penggunanya, memberikan perasaan tertentu kepada penggunanya hingga dapat menyampaikan pesan bernilai kepada masyarakat.
Rasio fungsionalitas terhadap emosi ini akan berubah untuk masyarakat yang bukan menjadi target pengguna LCGC. Bagi mereka yang tidak terganggu lagi dengan urusan keterjangkauan harga, kebutuhan emosional akan semakin meningkat.
Nah, jika mobil listrik ingin diperkenalkan di pasar domestik, silakan diuji apakah kemampuan mobil itu lebih menjawab kebutuhan fungsional atau emosional. Dengan biaya bahan bakar ekuivalen dan biaya perawatan yang lebih murah ketimbang mobil berbahan bakar minyak (Palmer et al, 2018), tentunya mobil listrik akan diminati berbagai kalangan.
Tapi dengan harga mobil listrik termurah sekarang ini yang berkisar US$ 24.000 – 45.000, tentunya masih terlalu mahal bagi banyak orang di sini. Aspek desirability (adanya pasar) terhadap mobil listrik akan rendah.
Kabar gembiranya, kemajuan teknologi semakin menurunkan biaya baterai ($/kWh) sehingga harga mobil listrik bakal lebih terjangkau (McKinsey, 2017). Apalagi jika nantinya pemerintah juga memberikan berbagai keringanan pajak sehingga produsen menurunkan harga jual hingga sekitar Rp 300 jutaan saja (hipotetikal dan asumsi waktu sekarang). Sebagai gambaran, kendaraan jenis low MPV seharga hingga Rp 250 jutaan masih paling laris di pasar domestik (Gaikindo, semester I 2018).
Jika ingin diterima di sini, mobil listrik harus bisa memberikan rasio benefit terhadap harga yang lebih baik dari mobil konvensional yang paling diminati pasar saat ini. Dengan harga jual Rp 300 juta (asumsi sekarang) tapi menawarkan kelebihan benefit dan total cost of ownership yang lebih murah dibandingkan mobil paling diminati sekarang ini, mobil listrik akan terdifusikan secara cepat.
Ada prasyarat yang harus dipenuhi yaitu ketersediaan infrastruktur jejaring stasiun pengisian baterai mobil listrik dan didukung dengan ketersediaan kapasitas suplai listrik dari PLN. Inilah skenario terbaik dari mobil listrik agar dapat diterima masyarakat di Tanah Air. Butuh waktu yang tidak singkat untuk mewujudkan kondisi terbaik tersebut.
Skenario yang paling mungkin dalam waktu singkat adalah mobil listrik yang ditawarkan di pasar domestik masih terlalu mahal bagi banyak orang. Sebab, teknologi baterai belum mampu mencapai biaya paritasnya (dalam $/kWh) sehingga biaya mobil listrik menyamai biaya mobil berbahan bakar minyak.
Dalam skenario ini, keberadaan stasiun-stasiun pengisian baterai juga belum luas dan merata. Dengan harga yang masih tinggi, hanya segelintir orang yang mampu mengendarai mobil listrik. Mobil listrik bagi pengguna yang terbatas ini akan menjadi pemenuh kebutuhan emosional mereka.
Di luar segala manfaat fungsionalnya, mobil listrik yang mahal akan menjadi penjelas identitas penggunanya; segelintir dari kerumunan. Dengan mobil listrik, penggunanya juga dapat menyampaikan pesan penuh makna, sudah saatnya untuk beralih ke produk hijau.
Perspektif membuat
Terlepas dari terdifusinya mobil listrik dalam waktu singkat atau lama, pertanyaan berikutnya adalah siapa membuat apa. Membuat mobil hasil desain dan fasilitas produksi sendiri yang kemudian diberi merek sendiri, masih menjadi mimpi lama yang belum terwujud.
Kenyataannya, dalam urusan membuat, Indonesia sudah dipercaya pabrikan global untuk menjadi basis produksi mobil mereka. Insinyur dan tenaga ahli dalam negeri sudah tidak diragukan kehebatannya untuk menjalankan proses bisnis kelas dunia.
Produksi mobil di Indonesia sudah memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional, sudah di atas 10% dari PDB di sektor industri nonmigas. Jika begitu, apa justifikasi untuk mengatakan ‘Go’ terhadap inisiatif membuat mobil listrik asli Indonesia?
Untuk menjawabnya silakan pahami perspektif membuat dari para aristokrat penguasa industri otomotif dunia. Kemampuan membuat yang hebat dapat dijelaskan dari perspektif infrastruktur perusahaan dan jejaring bisnisnya, selain sebelumnya perspektif pasar (Febransyah, 2015).
Mereka hebat karena memiliki kapabilitas dan kapasitas yang diperlukan untuk menjadi pembuat kelas dunia. Sumber daya manusia dan fasilitas yang berkualitas, kekayaan intelektual dan kemampuan pendanaan menjelaskan kualitas infrastruktur perusahaan mereka.
Komitmen pabrikan besar untuk terus memperbaiki diri dan menjadi inovatif terlihat dari rasio R&D terhadap pendapatan di kisaran 3%-6%-an (Strategy&, 2017). Dengan pendapatan sudah di atas US$ 100 miliar, berarti R&D per tahun sedikitnya Rp 45 triliun. Angka yang menakutkan mayoritas perusahaan untuk melakukan R&D!
Tidak ada perusahaan yang hebat karena dirinya sendiri. Perusahaan hebat juga harus bermitra dengan mitra-mitranya yang juga hebat di dalam suatu jejaring bisnis.
Adalah sebuah kenyataan, perusahaan yang kuat didukung oleh jejaring bisnis yang menyediakan reserved capacity hanya untuk perusahaan tersebut. Inilah rintangan bagi pendatang baru untuk masuk ke industri otomotif.
Tidak mudah memang bagi pembuat lokal untuk memasuki industri yang sudah dikuasai penguasa global. Jejaring bisnis yang solid, infrastruktur perusahaan yang berkualitas membuat pelakunya leluasa menciptakan produk yang dapat diterima pasar.
Butuh pembuat lokal yang memiliki kejelian melihat masalah lokal yang belum terselesaikan oleh penguasa pasar. Adu cepat, adu nyaman, adu gengsi dan adu hebat-hebat lainnya mungkin bukan pilihan realistis bagi pembuat lokal. Paling tidak dalam waktu singkat.
Hadirkanlah mobil listrik yang benar-benar cocok untuk menjawab masalah lokal khas Indonesia yang belum terselesaikan oleh pabrikan global. Berangkat dari oportunitas produk yang tepat barulah pembuat lokal harus berkomitmen tinggi mengejar ketertinggalan dalam mendesain, mengorkestrasi jejaring bisnis, hingga memproduksinya.
Jika diperlukan, pemerintah bisa memberikan segala stimulasi untuk memudahkan jalan-jalan kesulitan yang dihadapi pembuat lokal. Sungguhkah ada pembuat lokal tersebut? Wanted: the Iron Man!
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.