Unicorn, Hantu Masa Depan?

Metta
Oleh Metta Dharmasaputra.
22 Februari 2019, 06:00
Metta
Ilustrator: Betaria Sarulina

KATA Unicorn tiba-tiba menjadi diksi yang ramai diperbincangkan. Pemicunya, debat kedua calon Presiden, saat Joko Widodo melontarkan pertanyaan kepada penantangnya: Prabowo Subianto. “Infrastruktur apa yang akan dibangun untuk pengembangan unicorn-unicorn?”

Meski sempat tergagap, Prabowo berusaha menjawab. Di awal, tanggapannya cukup melegakan. Ia menyampaikan, industri digital perlu didukung. Ia pun bahkan mengkritik penerapan pajak e-commerce.

Persoalan muncul di akhir jawaban. “Yang saya khawatir, online-online ini mempercepat keluarnya nilai tambah dan uang ke luar negeri.”

Isu luar negeri atau asing di bisnis rintisan memang bukanlah hal baru. Pemilik Transcorp Chairul Tanjung beberapa waktu lalu juga menyoroti besarnya kepemilikan asing di perusahaan startup. Berkali-kali pula Menteri Komunikasi Rudiantara menyanggah kekhawatiran ini.

Di ajang Indonesia Economic Day (IED) yang digelar Katadata pada akhir Januari lalu, ia bertanya, “Alibaba perusahaan dari mana?” Dijawab serentak oleh para peserta, “Dari Cina.”

“Tahu siapa pemilik Alibaba?” Terdengar jawaban, “Jack Ma....” Ia pun langsung menimpali, “Tuh kan keliru. Pemilik terbesar Alibaba adalah Masayoshi-San dari Jepang.”

Kepemilikan saham Jack Ma sendiri di Alibaba yang kini bernilai US$ 420 miliar tinggal 6,4 persen. Namun, pemerintah Cina pun tak mempersoalkan alih kepemilikan saham Alibaba tersebut. Toh, kendali tetap di tangan Jack Ma.

Inilah yang membedakan perusahaan konvensional dan perusahaan startup. Kendati kepemilikan mayoritas sudah berpindah ke tangan investor, kendali manajemen tetap di para pendirinya. Sebab, para founder lah yang menjadi nyawa dari keberlangsungan startup.

Kondisi ini tak berbeda dengan yang dialami oleh para unicorn Indonesia atau startup company dengan nilai perusahaan di atas US$ 1 miliar (sekitar Rp 14 triliun). Mereka adalah Gojek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak.

Gojek kini ditaksir bernilai sekitar US$ 8,5 miliar dan Tokopedia US$ 7 miliar. Keduanya bahkan diperkirakan dalam satu kali putaran pendanaan lagi sudah akan menjadi dekacorn atau bernilai lebih dari US$ 10 miliar (Rp 140 triliun).

Di dunia kini ada sekitar 280 unicorn. Cina dan Amerika Serikat merupakan yang terbanyak. Sedangkan di Asia Tenggara ada tujuh. Kita patut berbangga, karena empat di antaranya berasal dari Indonesia.

Ini tentu saja sebuah capaian fantastis, mengingat umur para unicorn itu kurang dari satu dasawarsa. Kita pun patut bergembira. Indonesia kali ini tak hanya menjadi penonton. Negeri ini telah melahirkan para tokoh muda bisnis nan brilian di level global.

Tokopedia
(Dok: Tokopedia)

Meminjam istilah penulis terkenal Malcolm Gladwell, merekalah para Outliers yang muncul dari sebuah zaman yang berubah, seiring dengan datangnya gelombang revolusi digital yang terjadi sejak 1980-an.

Fenomena ini mengingatkan kita pada kemunculan para kampiun bisnis dunia, sejalan dengan datangnya era revolusi industri kedua yang bermula pada 1870-an. Dua di antaranya adalah para pembuat mobil pertama di dunia, seperti Karl Benz di Jerman dan Henry Ford di AS.

Kepemilikan asing

Tak bisa dipungkiri, membengkaknya nilai perusahaan rintisan ini berkat suntikan dana jumbo dari para investor global. Ini membuat kepemilikan mayoritas saham tak lagi dipegang para founder.

Meski begitu, seperti halnya Jack Ma, para pendiri unicorn Indonesia pun tetap memegang kendali perusahaan. Nadiem Makarim (Gojek), William Tanuwijaya (Tokopedia), Ferry Unardi (Traveloka), dan Achmad Zaky (Bukalapak) masih menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) hingga kini.

Ada suara, kenapa tak mengandalkan dana investasi dari dalam negeri? Pertanyaannya, siapa yang sanggup menyediakan dana sebesar itu? Untuk empat unicorn itu saja, dana investasi yang dikucurkan sudah lebih dari $6 miliar atau sekitar Rp 85 triliun. Total dana yang mengucur ke Gojek dan Tokopedia sendiri masing-masing sebesar $3 miliar dan $2,4 miliar.

Ada pendapat lain, bukankah bank-bank BUMN atau BPJS punya dana berlimpah? Ini akan lebih rumit lagi. Mereka diikat oleh berbagai regulasi yang membatasi ruang gerak investasinya, baik bidang yang bisa dimasuki, maupun besaran dana yang bisa ditanamkan. Apalagi, investasi di startup tergolong berisiko tinggi.

Itu sebabnya, masuknya modal asing adalah sebuah keniscayaan. Dan bagi Indonesia, derasnya aliran dana investasi ke startup ini pun tentu saja sebuah berkah. Apalagi terjadi ketika foreign direct investment di sektor konvensional tak terlalu menggembirakan.

Dari sisi waktu, kucuran dana itu pun terbilang tepat, karena diperoleh ketika Rupiah dalam tekanan hebat pada 2018 lalu. Dana investasi global itu sedikit-banyak telah ikut andil menahan laju pelemahan Rupiah yang sempat menyentuh Rp 15 ribu per dolar AS.

Seperti kita tahu, saat itu dolar menguat signifikan dan memukul berbagai mata uang dunia. Pemicunya, terjadi kenaikan suku bunga bank sentral AS (the Federal Reserve) dan munculnya ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang Cina dan Amerika.

Tercatat Gojek memperoleh dua kali pendanaan pada tahun lalu, yakni US$ 1,5 miliar pada 12 Februari dan US$ 920 juta pada 30 Oktober. Sebulan kemudian, tepatnya pada 21 November, giliran Tokopedia yang mendapatkan kucuran dana segar US$ 1,1 miliar.

Tak hanya itu, Grab yang merupakan pesaing Gojek asal Singapura, juga pada Agustus 2018 menerima dana investasi US$ 1 miliar. Grab memang bukan perusahaan Indonesia. Tapi, seperti dituturkan seorang pengelola dana investasi yang enggan disebut namanya, sekitar 70 persen dari dana itu dialokasikan untuk penetrasi pasar di Indonesia.

Jika dikalkulasi, berarti dari tiga unicorn ini saja, pada 2018 ada sekitar US$ 4,2 miliar (Rp 59 triliun) dana yang masuk ke Indonesia, meski tentunya dilakukan bertahap. Karena itu, yang terjadi adalah dana masuk (capital inflow), bukan dana keluar (capital outflow), seperti dikhawatirkan Prabowo.

Halaman Selanjutnya
Halaman:
Metta
Metta Dharmasaputra.
Pendiri Katadata Insight Center
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...