Kunci Memacu Ekonomi Agar Tak Menua sebelum Kaya

Raden Pardede
Oleh Raden Pardede
11 September 2019, 05:45
Raden Pardede
Ilustrator Joshua Siringo ringo
Ilustrasi urbanisasi di kawasan MRT Dukuh Atas , Jakarta Pusat (09/07).

Perkembangan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini selalu tumbuh di kisaran 5 persen, bahkan hal ini sudah berlangsung dalam 20 tahun terakhir. Kadang kala memang ekonomi kita tumbuh hingga 6 persen. Namun, apabila mengecualikan sumbangan komoditas, terutama sumbangan kelapa sawit dan batu bara, pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin sulit keluar dari angka 5 persen.

Tentu 5 persen bukanlah pertumbuhan yang buruk dibandingkan banyak negara, termasuk dalam G20. Indonesia masih bisa berjaya dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ketiga, setelah India dan Tiongkok.

Advertisement

Namun, jika kita ingin mencapai cita-cita menjadi negara maju serta menghindar dari menua sebelum kaya (old before rich) dan bisa keluar dari jebakan berpendapatan menengah (middle income trap)*, perekonomian kita harus tumbuh lebih dari 5 persen. Secara sederhana, Indonesia harus tumbuh paling sedikit 7 persen per tahun untuk jangka 15 hingga 20 tahun ke depan sehingga bisa menjadi negara maju.

Untuk mencapai cita-cita ini, tentu bukan hal yang mudah, namun bukan tidak mungkin. Kalau kita mau, harus memulainya sekarang dan diperlukan reformasi ekonomi serta kelembagaan yang bersifat struktural.

Keunggulan sumber daya alam tak memadai

Indonesia beruntung dengan adanya komoditas sumber daya alam yang memberi sumbangan besar terhadap ekonomi. Namun ketergantungan terhadap komoditas tidak mungkin kita pertahankan dangan alasan paling sedikit tiga hal. 

Satu, sumber daya alam Indonesia terbatas dan kita tidak sekaya yang dibayangkan, apalagi jika dibagi jumlah penduduk kita yang sangat banyak. Kedua, komoditas batu bara dan kelapa sawit sedang dan diperkirakan ke depan akan terus menghadapi tekanan dari para penggiat lingkungan hidup global.

Ketiga, harga komoditas cenderung bergejolak tajam, sehingga ekonomi kita menjadi rentan oleh fluktuasi harga yang tajam.

Dengan alasan tersebut di atas, sudah selayaknya kita melakukan diversifikasi sumber dan motor pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak hanya bergantung pada komoditas. Salah satu motor pertumbuhan yang harus direvitalisasi dan ditumbuhkembangkan secara intensif adalah manufaktur atau industri yang berorientasi ekspor, di samping pariwisata dan pengiriman tenaga kerja yang sudah dilatih ke luar negeri.   

Peran sektor manufaktur melemah

Salah satu penjelasan pertumbuhan ekonomi menurun menjadi sekitar 5 persen selama periode 10 tahun terakhir adalah sumbangan sektor manufaktur yang mengecil. Industri manufaktur hanya mampu tumbuh 4,2-4,4 per tahun, sementara pertumbuhan ekspor manufaktur hanya sekitar 4 persen dalam periode yang sama.

Bandingkan dengan pertumbuhan sektor ini sebesar 11 persen dan pertumbuhan ekspor sebesar 25 persen pada periode 1983-1996 (periode ekonomi berorientasi ekspor dan terbuka).

Sebagai hasilnya, pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai lebih dari 7 persen per tahun pada periode tersebut. Sekarang dapat juga kita bandingkan dengan negara tetangga, Vietnam. Pertumbuhan ekspor manufakturnya mencapai 20 persen per tahun dan pertumbuhan ekonominya lebih dari 7 persen per tahun dalam satu dekade terakhir.

industri 4.0
(ANTARA FOTO/Risky Andrianto)

Peluang industri manufaktur untuk berjaya

Peluang Indonesia kembali menambah motor pertumbuhan ekonomi dengan salah satu prioritas pengembangan sektor manufaktur berorientasi ekspor masih terbuka lebar dengan bebagai alasan sebagai berikut. Satu, Indonesia berada di pusat pertumbuhan ekonomi global yang paling dinamis dengan pasar yang sangat besar, Tiongkok, India, dan Asia selatan, ditambah dengan Afrika.

Kedua, secara demografi, Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dan muda adalah sumber kekuatan pasar tenaga kerja dan pasar konsumen. Ketiga, Indonesia punya potensi besar untuk menjadi tempat relokasi berbagai investasi dan kegiatan manufaktur dan jasa sebagai akibat dari perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Keempat, akselerasi teknologi, terutama digital dan internet, cocok dengan penduduk milenial Indonesia, yang sangat mudah menyerap teknologi digital. Kelima, dari sejarah masa lampau, pada 1983-1996, terbukti Indonesia mampu melakukan industrialisasi dengan orientasi ekspor.

Kombinasi industrialisasi padat tenaga kerja dan digital

Dengan alasan tersebut di atas, kita harus serius menangkap peluang besar pada masa depan. Indonesia perlu meng-upgrade diri di berbagai bidang dan mengatur strategi yang tentu berbeda dengan situasi pada 1980 dan 1990-an.

Sementara pada periode masa lampau industri manufaktur yang berorientasi ekspor bergantung pada basis produksi tenaga kerja murah, sekarang dan ke depan harus dikombinasikan sekaligus dengan basis intensifikasi investasi barang modal, inovasi, serta adopsi teknologi baru dan kewirausahaan (entrepreneurship).

Kita tidak bisa lagi melakukan strategi secara bertahap, melainkan melakukan strategi kombinasi yang lebih agresif, sehingga kita bisa mengatasi ketinggalan dengan cepat. Bukan berarti strategi industri tenaga kerja murah kita tinggalkan seketika, karena memang masih banyak masyarakat kita dari perdesaan dan yang belum bekerja yang memang membutuhkannya, paling tidak dalam jangka menengah pendek.

Pada saat bersamaan, kita harus masuk pada: penyediaan tenaga kerja terlatih dengan keterampilan tinggi; membangun lembaga ilmu dan teknologi dengan prioritas sains, teknologi, engineering dan matematika, serta kewirausahaaan; membangun infrastruktur langit dan interkoneksi, di luar infrastruktur dasar; membuat kebijakan dan aturan yang kondusif mendorong inovasi dan pertumbuhan produktivitas; serta melakukan upgrading terhadap klaster-klaster industri dan kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian, kita juga menyiapkan diri masuk pada industri berbasis investasi dan inovasi. 

Industri dan jasa berorientasi pasar global

Tantangan bagi kita adalah bagaimana menjadikan industri berorientasi ekspor dan berdaya saing di pasar global menjadi industri prioritas dibanding industri berorientasi pasar lokal. Industri berorientasi pasar lokal akan lambat terpapar oleh perkembangan teknologi dan standar konsumen yang tinggi, sehingga produktivitas rendah dan pendapatan tenaga kerja pun relatif rendah.

Jadi industri berorientasi dagang dan ekspor harus menjadi acuan karena orientasi pasar global akan memacu kita terus memperbaiki diri, sehingga mampu berkompetisi, baik di pasar regional maupun pasar global. Perbaikan daya saing di pasar global berarti perbaikan produkvitas, perbaikan kualitas barang, perbaikan logistik, dan perbaikan jasa pelayanan, termasuk moda pembayaran dan pelayanan pascajual.

Halaman:
Raden Pardede
Raden Pardede
Ekonom Senior dan Pendiri CReco Research Institute
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement