Mimpi Indonesia Menjadi Negara Ekonomi Besar

A. Prasetyantoko
Oleh A. Prasetyantoko
11 September 2019, 17:00
Prasetyantoko
Ilustrator Joshua Siringo ringo
Suasan malam pergantian tahun baru di Bundaran HI, Jakarta Pusat. Polda Metro berencana mengalihkan 16 ruas kendaraan jelang malam pergantian tahun.

Bukan sekali saja, Indonesia diprediksi menjadi salah satu powerhouse perekonomian dunia. Tahun lalu, firma konsultan global Price Waterhouse Cooper (PwC) menerbitkan laporan komprehensif berjudul “The Long View: How will the global economic order change by 2050?”.

Dalam analisis ini, Indonesia yang pada 2016 berada di peringkat ke-8 ekonomi terbesar dunia, pada 2050 diproyeksikan naik menjadi peringkat ke-4, setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat.

Pada September 2012, McKinsey Global Institute (MGI) merilis laporan sejenis berjudul “The archipelago economy: unleashing Indonesia’s potential”. Isinya kurang lebih memprediksi hal yang sama, yaitu peningkatan perekonomian Indonesia, dari peringkat ke-17 pada 2012 menjadi peringkat ke-7 pada 2030.

Dua laporan ini mewakili begitu banyak analisis yang optimistis terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Meski membesarkan hati, jangan membuat kita terlena (complacent), karena ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan guna merealisasikan potensi tersebut.

Kita perlu memperhatikan dengan seksama berbagai asumsi yang dipergunakan dalam melakukan proyeksi tersebut. Dalam laporan MGI secara eksplisit dijelaskan, ada dua syarat besar guna merealisasikan potensi perekonomian Indonesia.

Pertama, meningkatkan produktivitas perekonomian, yang salah satunya ditandai dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja yang bertambah sekitar 60 persen pada periode 2010 hingga 2030 nanti.

Kedua, mampu memperbaiki kesenjangan perekonomian agar pencapaian pembangunan tak porak-poranda akibat kekacauan politik dan sosial. Hanya dengan dua cara tersebut, potensi menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia bisa terealisasi. Jika gagal diciptakan prasyarat tersebut, maka tentu saja potensi sulit direalisasikan

Sama seperti MGI, proyeksi PwC juga mengandaikan selama 30 tahun ke depan perekonomian kita bisa tumbuh di atas 7 persen. Sebuah asumsi yang pada hari ini sulit dibayangkan. Meski begitu, proyeksi tersebut menunjukkan betapa potensi perekonomian kita memang menjanjikan dan yang diperlukan adalah sebuah peta jalan untuk merealisasikannya, betapapun jalannya begitu terjal dan berliku.

Perangkap Pertumbuhan

Selama 4 tahun ini, kita berada dalam siklus pertumbuhan yang terus menurun. Pada 2011 lalu kita berada pada puncak pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen akibat booming harga komoditas. Setelah itu, seiring dengan jatuhnya harga komoditas, pertumbuhan ekonomi juga terus menyusut, menjadi 6,2 persen pada 2012 dan turun lagi menjadi 5,8 persen pada 2013. Pada 2015 kita berada di titik pertumbuhan terendah sebesar 4,88 persen dalam kurun waktu 5 tahun. Setelah itu, pola pertumbuhan mulai recovery, namun relatif lambat. Pada 2016 naik menjadi 5, 03 persen, pada 2017 menjadi 5,07 persen dan 2018 naik lagi menjadi 5,17 persen.

Meski mulai memasuki fase peningkatan, terkesan sangat lambat. Rasanya kita terperangkap pada pola pertumbuhan moderat sebesar 5 persen. Fakta ini tak bisa dihindari. Dunia tengah mencari titik keseimbangan dan fase stabilitas yang disertai pertumbuhan tinggi telah berakhir. Pola pertumbuhan global berubah drastis menjadi penuh ketidakpastian, tak sinkron satu kawasan dengan kawasan lain, serta pola pertumbuhan terus merosot.

Kenaikan Ekspor Mei 2019
(ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok  hanyalah puncak gunung es dari fase pencarian titik temu perekonomian global ini. Dan nampaknya, fase pertumbuhan global ke depan penuh dengan dinamika yang menantang. Jika dalam situasi yang tak menguntungkan ini perekonomian kita masih bisa tumbuh di atas 5 persen, sudah merupakan kinerja yang baik. 

Masalahnya, untuk meraih mimpi menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dan menjadi negara maju, maka kita perlu meningkatkan secara bertahap pertumbuhan kita menjadi rata-rata 6-7 persen dalam 10 tahun ke depan. Tentu tak mudah, namun perlu upaya yang sistematis dan berkelanjutan agar kita terbebas dari “perangkap negara berpenghasilan menengah”. 

Selama 4 tahun terakhir, pemerintah sangat progresif membangun infrastruktur. Dana yang dialokasikan juga meningkat setiap tahun. Apakah cukup? Tentu tidak.

Masalahnya, infrastruktur adalah prasyarat pokok yang harus dipenuhi. Meski tak mencukupi, namun dibutuhkan. Sehingga, mau tidak mau harus diupayakan.

Pertanyaannya, apa setelah pembangunan infrastruktur? Saatnya menyusun peta jalan membangun basis perekonomian yang produktif dan berdaya saing, ditandai dengan peningkatan penerimaan dari sektor manufaktur berorientasi ekspor. Bagaimana kita bica mencapainya?

Halaman:
A. Prasetyantoko
A. Prasetyantoko
Ekonom dan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...