40 Tahun Menanti Pengakuan Hutan Adat Sungai Utik

Arie Mega Prastiwi
Oleh Arie Mega Prastiwi - Tim Riset dan Publikasi
30 Juli 2020, 10:15
Pria-pria masyarakat adat Dayak Iban tengah beraktivitas di Sungai Utik
Kynan Tegar untuk Ford Foundation
Pria-pria masyarakat adat Dayak Iban tengah beraktivitas di Sungai Utik

Octavia Yessy mengucap ‘Puji Tuhan’ tatkala pemerintah Indonesia lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui bahwa hutan adat Sungai Utik milik masyarakat adat Iban. Lewat Surat Keputusan (SK) Nomor: 3238/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL. 1/5/2020 menetapkan Hutan Adat Menua Sungai Utik kepada masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang seluas 9.480 hektare.

“Rasanya senang, haru, bercampur aduk karena kami sudah menunggu lama, 40 tahun,” kata Yessi kepada tim riset Katadata melalui perbincangan telepon. “Ingin nangis, tidak bisa terucap kata-kata.”  Tak lama setelah mendapat kabar pada 30 Juni 2020, remaja 16 tahun itu langsung mengirim berita tersebut ke grup whatsapp keluarga dan masyarakat adat Sungai Utik.  

Yessi anak asli masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik. Sebelum SK Hutan Adat keluar, remaja kelas XII di Bogor itu pernah mengungkapkan isi hatinya di hadapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, akhir Mei lalu, secara virtual.

Dia bertutur tentang Sungai Utik dan kampung halamannya. “Saya lahir dan besar di rumah betang,” kata Yessi. ”Kami hidup dikelilingi hutan indah, seluas 10.000 hektare dengan air jernih Sungai Utik yang mengalir ke dusun,” ujarnya menambahkan.

Rumah betang atau rumah panjang merupakan bangunan komunal milik masyarakat Dayak Iban. Panjangnya 216 meter, memiliki 28 bilik atau pintu, dan dihuni 300 orang. Tiap pintu dihuni satu keluarga dan keturunannya. Berdasarkan data monografi Dusun Sungai Utik 2015, terdapat 89 kepala keluarga yang menempati 28 bilik di sepanjang rumah betang. Di sekitar rumah betang, terdapat 40 rumah yang semuanya berkerabat.

Dengan berbusana Dayak Iban, Yessi yang nama aslinya Octavia Rungkat Tuani, menjelaskan dirinya dibesarkan dengan budaya Dayak Iban yang hidupnya bergantung pada hutan. Sejak kecil, kata dia, anak-anak Iban telah akrab dengan hutan. Para orang tua kerap mengajak anak-anaknya ke hutan untuk berladang dan cara bertahan hidup di hutan.

Karena itu, keterikatan batin antara suku Dayak, khususnya warga Utik dengan hutan di sekelilingnya menjadi besar.  “Hutan dan alam memberi kami kehidupan dan juga memperlihatkan kami kepada dunia,” ujarnya.  

“Orang tua kami mengajarkan babas adalah apai kami, tanah adalah inai kami, dan ae adalah darah kami. Artinya, hutan adalah bapak kami, tanah adalah ibu kami, dan air adalah darah kami,” kata Yessi melanjutkan.

Anak-anak masyarakat adat Dayak Iban tengah bermain di Sungai Utik
Anak-anak masyarakat adat Dayak Iban tengah bermain di Sungai Utik (foto oleh: Yani Saloh)

Bagi masyarakat Utik, hutan laksana bapak yang menyediakan segalanya, bak supermarket. Sementara tanah laksana ibu yang melahirkan tumbuhan dan pohon. Air adalah darah. Ibarat tubuh manusia, apabila darah tidak mengalir maka manusia akan mati.

Pemerintah butuh puluhan tahun untuk mengakui hutan adat masyarakat Iban Sungai Utik. Padahal sejak akhir 1970-an warga Dayak Iban tak kenal lelah untuk menolak keras tawaran sejumlah perusahaan kayu dan sawit yang ingin membeli tanah mereka. Mereka menolak lantaran filosofi hidupnya terikat dengan hutan. Mereka bahkan memiliki tata cara pengelolaan hutan dan hukum secara adat.

Menurut Herkulanus Sutomo Mana, salah seorang warga Dayak Iban Sungai Utik, tata cara pengelolaan hutan dan hukum adat telah berlangsung ratusan tahun. “Sudah turun temurun,” kata Tomo, panggilan akrab Herkulanus.  

Aliansi Masyarakat Adat  Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat, Dominikus Uyub mengatakan tidak semua wilayah hutan adat dapat dikelola. “Ada kawasan yang betul-betul dilindungi,” kata Uyub.

“Ada tata guna lahan yang dikelola dan dilindungi secara turun temurun sesuai tradisi dan aturan adat,” ujar Uyub.  Dalam kehidupan suku Dayak Iban Komunitas Iban Sungai Utik, mereka telah memiliki kriteria fungsi dan manfaat serta pengelolaan dari masing-masing wilayah.

Dalam tata guna lahan ada kawasan lindung yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam. Masyarakat adat menyebut hutan lindung sebagai sumbernya kehidupan. “Tidak ada masyarakat adat yang menebang kayu untuk tujuan komersil,” katanya.  

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...