Kemitraan Kehutanan, Buah Perjuangan Masyarakat Simpang Macan Luar

Hanna Farah Vania
Oleh Hanna Farah Vania - Tim Riset dan Publikasi
22 Oktober 2020, 09:00
Dokumentasi kegiatan masyarakat adat Simpang Macan Luar saat berladang
CAPPA Keadilan Ekologi
Dokumentasi kegiatan masyarakat adat Simpang Macan Luar saat berladang

Aini akhirnya bisa bernapas lega. Dia tak perlu lagi takut diusir ketika hendak berkebun di tanahnya sendiri. Petani karet itu juga sudah bisa menanam sayur-mayur dan buah-buahan untuk bahan santapan bersama keluarga di rumah. Tak hanya karet, hasil hutan andalan masyarakat adat Simpang Macan Luar lainnya seperti damar, rotan, madu, dan jernang sudah dapat dibudidayakan saat ini. Penghasilan yang sebelumnya hilang sudah dapat kembali lagi.

Awalnya, wilayah adat yang ia tempati secara turun temurun itu diduduki oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) sejak 2007 silam. “Pada 2007 sampai 2011 masa-masa paling sulit. Pada rentang tahun itu kami berhenti menanam padi, sayur, dan hasil hutan,” ungkap Aini saat wawancara daring dengan tim riset Katadata. Sejak saat itu, masyarakat Simpang Macan Luar dilarang untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan perladangan.

Advertisement

Aini merupakan warga masyarakat adat Simpang Macan Luar, Suku Batin Sembilan yang termasuk ke dalam Suku Anak Dalam (SAD). Ia juga Sekretaris Kelompok Tani Hutan (KTH) Maju Bersamo. Secara administrasi pemerintahan, Simpang Macan Luar merupakan bagian dari Dusun Kunangan Jaya I, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Jaraknya sekitar 110 km dari Kota Jambi.

Pada awalnya, PT REKI beralasan bahwa aktivitas yang telah dilakukan masyarakat Simpang Macan Luar sejak berpuluh-puluh tahun tersebut hanya klaim secara sepihak belaka. Sementara PT REKI telah diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Restorasi Ekosistem Hutan Alam sejak akhir Mei 2010 dari pemerintah.

Ainipun berjuang mendapatkan kembali tanah leluhurnya. Ia berserta masyarakat Simpang Macan Luar lainnya meminta bantuan Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi untuk menemukan jalan keluarnya. Direktur Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi Muhammad Zuhdi atau biasa dipanggil Edi, mengamati puncak eskalasi konflik pada 2012. Oleh karenanya, CAPPA Keadilan Ekologi mulai berkirim surat kepada lembaga donor PT REKI, yaitu Bank Pembangunan Jerman (KfW).

Wilayah Kebun Percontohan Demplot masyarakat adat Simpang Macan Luar
Wilayah Kebun Percontohan Demplot masyarakat adat Simpang Macan Luar (CAPPA Keadilan Ekologi)

Upaya CAPPA Keadilan Ekologi sebagai pendamping masyarakat Simpang Macan Luar menuai hasil. “KfW merespons surat tersebut dan ini membuka proses komunikasi dengan PT REKI,”  ujar Zuhdi.

Sejak saat itu, konflik mulai terurai. Tak hanya berdialog dengan KfW, CAPPA Keadilan Ekologi juga melaporkan persoalan tersebut kepada Direktorat Pengaduan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Ketika komunikasi sudah cukup baik dengan PT REKI, campur tangan Direktorat PKTHA dengan memfasilitasi dialog dan pembuatan kesepakatan sangat membantu proses ini,” katanya.

Pada proses mediasi, CAPPA Keadilan Ekologi juga berupaya menyatukan berbagai bukti sejarah masyarakat Simpang Macan Luar yang sudah menempati lahan tersebut berpuluh-puluh tahun lamanya. 

Fasilitator Tata Gunaan Lahan dan Pemetaan Partisipatif CAPPA Keadilan Ekologi Dedi Gustian, menjelaskan lembaganya sudah melakukan pemetaan partisipatif wilayah masyarakat Simpang Macan Luar dan mendokumentasikan cerita-cerita leluhur masyarakat adat tersebut.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement