BANGGA Papua, Kerja Bersama Demi Generasi Emas Papua
Kendala geografis, keterbatasan anggaran, infrastruktur yang jauh dari memadai, hingga rendahnya kesadaran masyarakat atas kepemilikan dokumen kependudukan tak menyurutkan semangat untuk menggulirkan program Bangun Generasi dan Keluarga Papua Sejahtera (BANGGA Papua).
Tiga tahun sejak diluncurkan, BANGGA Papua terus menghasilkan praktik baik untuk membuahkan generasi emas di Bumi Cendrawasih. Sebelumnya, sebagian orang tua di Papua kurang memperhatikan asupan bagi anak-anaknya sehingga anak-anak kurang sehat.
“Sekarang, makanannya teratur sehingga anak jadi sehat. Dulu setengah mati (merawat kesehatan anak),” kata Antonius Choswomanan selaku Kepala Suku Semai di Kabupaten Asmat tentang BANGGA Papua.
Pernyataan tersebut menggambarkan inti program ini, yakni program khusus pemprov untuk orang asli Papua dengan memanfaatkan dana otonomi khusus (otsus). Fokusnya, memberikan bekal kepada penduduk asli untuk mengatasi persoalan gizi buruk dan meningkatkan kesehatan anak-anak.
BANGGA Papua datang pada waktu tepat, tatkala daerah ini menghadapi ancaman stunting dan gizi buruk. Kualitas hidup masyarakat asli memang masih di bawah standar. Angka kemiskinan juga tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia. Singkatnya, orang asli Papua belum benar-benar merasakan manfaat dana otsus yang dikucurkan sejak 2002.
Oleh sebab itu, BANGGA Papua mengusung lima prinsip. Pertama, diperuntukkan hanya bagi orang asli Papua atau anak yang lahir dari salah satu orang tua asli Papua. Kedua, bantuan tunai wajib digunakan untuk pemenuhan gizi anak. Ketiga, program ini berlaku bagi anak berusia di bawah empat tahun. Keempat, dana tunai yang dialokasikan sebesar Rp200.000 per bulan bagi setiap anak. Kelima, uang tersebut ditransfer langsung ke rekening atas nama ibu atau wali sah. Kini, sekitar 24 ribu ibu dan lebih dari 32 ribu anak tercatat telah menerima bantuan.
Program yang diluncurkan pada November 2017 tersebut mulai aktif sejak 2018, ini berkat kerja sama pemerintah pusat, program Kemitraan Pembangunan Australia di bidang desentralisasi pemerintahan (KOMPAK), serta perlindungan sosial (MAHKOTA). Selain di Kabupaten Asmat tempat Antonius Choswomanan tinggal, BANGGA Papua diuji coba di Lanny Jaya dan Paniai. Ketua Sekretariat Bersama Bangga Papua Kabupaten Paniai Eli Yogi mengatakan, terbatasnya anggaran menjadi salah satu kendala program BANGGA Papua.
Di Paniai, misalnya, ada sembilan distrik yang tidak bisa dijangkau menggunakan transportasi darat maupun air. Untuk sampai ke titik tersebut, petugas harus naik pesawat khusus. “Ini menjadi tantangan saat sosialisasi, pendataan, maupun pembayaran dana bantuan,” ujar Eli dalam diskusi virtual bersama Katadata, Senin (16/11/2020).
Selain itu, di sejumlah titik penyaluran bantuan kerap muncul sekelompok orang yang menghambat proses pelaksanaan program. “Mereka menghadang untuk meminta uang,” kata Eli. Tak kehilangan akal, tim BANGGA Papua menyelesaikannya dengan merangkul kelompok tersebut supaya terlibat dalam program.
Sejatinya, BANGGA Papua tidak hanya memberikan dana, tetapi juga pengetahuan khususnya tentang gizi anak kepada para mama. Pengetahuan diberikan ketika sosialisasi dan proses pencairan dana. Pemberian pemahaman ini penting karena anak kurang gizi kerap disebabkan oleh minimnya pengetahuan orang tua. Ada pula yang paham, tetapi tidak punya uang untuk memenuhi pangan yang bergizi.
Pesan seputar pentingnya gizi anak terus diulang agar benar-benar tertanam di benak para mama sebagai penerima manfaat. Pada akhirnya, dipahaminya pesan tersebut tercermin dari barang-barang keperluan anak yang dibeli ibu menggunakan dana BANGGA Papua.
Penerima manfaat di Paniai, menggunakan sebagian uang dari program ini untuk membeli ternak, seperti ayam, bebek, babi, dan kelinci. Hewan ternak ini kemudian dipelihara untuk memenuhi gizi anak.
“Saya membeli sepasang ayam petelur untuk beternak dan telah berkembang biak, sehingga ketika anak ingin makan telur, saya tidak perlu membeli lagi, tetapi bisa mengambilnya dari ayam-ayam petelur tadi,” ujar seorang mama penerima manfaat di Paniai.
Elsye P. Rumbekwan, Staf Ahli Gubernur Papua Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, mengatakan bahwa kemandirian keluarga asli Papua akan membawa perubahan dalam hidup mereka pada masa depan.
“Anak dalam kandungan mama harus mendapatkan prioritas kesehatan karena kami akan mewujudkan generasi emas Papua. Ini baru akan berhasil kalau kami mengubah pandangan tentang pola gizi,” kata Elsye. Menurutnya, program ini sanggup membuat para mama lebih berdaya sekaligus lebih pandai mengelola keuangan keluarga.
BANGGA Papua berkontribusi terhadap pendataan kependudukan, seperti kepemilikan nomor induk kependudukan (NIK) dan akta kelahiran anak. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017, hanya sekitar 45 persen anak di Papua yang memiliki akta kelahiran. Selain itu, baru 68 persen penduduk yang memiliki NIK. Berkat BANGGA Papua, kini sebanyak 28.409 anak di tiga kabupaten uji coba telah memiliki NIK.
“BANGGA Papua merupakan contoh dari Indonesia, program inovatif yang dapat memastikan populasi di daerah terpencil tetap mendapatkan akses terhadap perlindungan sosial,” tutur Maliki selaku Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas.
Menurut Maliki, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengintegrasikan sistem informasi BANGGA Papua dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Integrasi ini akan memungkinkan penerima manfaat mendapatkan perlindungan sosial yang komprehensif seperti Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat, dan subsidi pemerintah lainnya.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Vivi Yulaswati mengimbuhkan, praktik baik dari BANGGA Papua memberikan pembelajaran yang penting untuk penyempurnaan program dan kebijakan perlindungan sosial nasional terutama dalam memperbaiki bisnis model dan melengkapi kerangka regulasi.
“Program nasional saat ini masih berkolaborasi dengan bank-bank nasional, atau Himbara. Dari pelaksanaan BANGGA Papua, kita semua belajar bahwa distribusi dana ke daerah sulit perlu melibatkan bank-bank lokal atau institusi penyedia layanan keuangan yang tersedia di tempat-tempat tersebut,” katanya pada pengujung diskusi.