Pemanfaatan Jelantah Jadi Biodiesel di Daerah

Image title
8 Januari 2021, 17:38
Pemanfaatan Jelantah Jadi Biodiesel di Daerah
Luh De Suriyani/Mongabay

Minyak goreng bekas atau minyak jelantah (used cooking oil, UCO) kerap kali dianggap hanya menjadi limbah belaka. Padahal UCO dapat dimanfaatkan, salah satunya sebagai bahan baku biodiesel, sama seperti minyak sawit alias crude palm oil (CPO).

Pemanfaatan lebih jauh minyak jelantah ini selain mengurangi dampak buruk limbah bagi lingkungan, juga bisa mengurangi eksploitasi lahan sawit yang semakin besar dari tahun ke tahun. Sebagai sumber daya alternatif yang dihasilkan dari rumah tangga dan badan usaha, minyak jelantah juga tidak sulit didapat.

Advertisement

Pengaplikasian penggunaan minyak goreng bekas untuk bahan baku biodiesel sebenarnya sudah dipraktikkan. Tahun 2008 sampai 2015 lalu, Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) bersama Manajemen Lingkungan Kota Bogor berkolaborasi memanfaatkan minyak jelantah yang kemudian diproduksi jadi biodiesel sebagai campuran bahan bakar Trans Pakuan –bus untuk rute dalam Kota Bogor. Campuran biodieselnya sendiri sebanyak 20 persen.

Dalam operasinya, Pemerintah Kota Bogor mengumpulkan minyak jelantah dari rumah tangga, gedung pemerintahan, sampai restoran-restoran yang ada di kota. "Jika minyak jelantah tetap digunakan untuk menggoreng, bisa menimbulkan penyakit," ujar Asisten Daerah Bidang Sosial Ekonomi Pemerintah Kota Bogor Indra M Rusli, mengutip dari Antara.

Pemanfaatan biodiesel dari UCO ini dinilai menjadi solusi ganda. Selain menghasilkan emisi gas buang yang lebih rendah, juga menghindarkan penggunaan berulang minyak jelantah dari restoran besar ke pedagang kaki lima.

Sekertaris Daerah Kota Bogor H. Dody Rosadi menjelaskan emisi gas buang dari biodiesel dari jelantah ini lebih rendah 25 persen dibandingkan solar murni. “Termasuk emisi asap buang kendaraan, 40 persen lebih rendah dari pemakaian solar murni,” ujarnya dikutip dari Tempo.

Sayangnya pemanfaatan minyak goreng bekas sebagai campuran untuk menjalankan Trans Pakuan ini tidak berumur panjang. Tidak terpenuhinya faktor standarisasi menjadi permasalahannya. Seperti kajian International Council of Clean Transportation (ICCT), jelantah yang dikumpulkan dari berbagai sumber tidak terjamin kualitasnya dan mengandung Free Fatty Acid (FFA) yang tinggi.

Selang setahun dari selesainya operasi bus Trans Pakuan, pada 2016 PT Angkasa Pura II sempat mempertimbangkan pengoperasian pola yang serupa. Limbah minyak jelantah dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel yang digunakan sebagai bahan bakar shuttle bus di lingkungan Bandara Internasional Soerkarno Hatta.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Video Pilihan
Loading...
Advertisement

Artikel Terkait