Tradisi Sasi, Hukum Adat Jaga Ekosistem Laut

Image title
Oleh Melati Kristina Andriarsi - Tim Riset dan Publikasi
8 Maret 2021, 19:14
Seorang pemuda membawa hasil tangkapan ikan
Sumber: Mongabay
Seorang pemuda membawa hasil tangkapan ikan

Turun temurun hidup di laut, masyarakat adat di Maluku dan Papua terkenal dengan lingkungan lautnya dan bagaimana menjaganya. Mereka memiliki tradisi menjaga kelangsungan lingkungan sebagai penghormatan terhadap alam yang menjadi sumber penghidupan mereka. Tradisi tersebut merupakan praktik konservasi tradisional yang terus dilaksanakan hingga kini.

Salah satu upaya mereka menjaga ekosistem laut yaitu dengan tradisi Sasi. Tradisi tersebut merupakan hukum adat yang melarang pengambilan hasil sumber daya alam tertentu di wilayah adat, sebagai wujud pelestarian alam dan menjaga populasi.

Advertisement

Sasi laut merupakan peraturan adat dimana masyarakat dilarang mengambil hasil laut yang ditentukan di suatu wilayah adat dalam jangka waktu tertentu hingga ritual pembukaan Sasi tiba. Hal ini bertujuan agar sumber daya laut yang dilindungi punya cukup waktu untuk berkembang biak dengan baik sehingga hasil panennya akan lebih banyak.

Annas Radin Syarif, Direktur Dukungan Komunitas PB AMAN menambahkan, tradisi sasi tak hanya terbatas di laut tapi juga diterapkan di daratan bahkan di kampung. “Sasi kampung biasanya menata tatanan sosial, sedangkan sasi darat adalah larangan pengambilan sumber daya alam tertentu seperti hasil hutan maupun kebun pada ritual tutup sasi,” ujar Annas kepada Katadata.  

Di Haruku, Maluku Tengah, terdapat Sasi Lompa yang sudah dilakukan sejak tahun 1600. Tradisi tersebut merupakan perpaduan antara sasi laut dan sasi sungai. Adapun lompa (trisina baelama) merupakan ikan sejenis sarden yang dijaga di laut adat mereka. Umumnya, tradisi tutup Sasi dilakukan dari bulan April hingga September di kawasan yang dijaga oleh kewang, sebutan bagi para penjaga lingkungan di wilayah adat.

Kepala kewang di Haruku, Eliza Kissya menjelaskan ketika Sasi Lompa dimulai, ikan lompa akan masuk ke sungai untuk dipanen enam bulan berikutnya. “Sungai harus bersih. Tidak boleh buang air dan mengotori sungai karena saat sasi, ikan lompa akan dipanggil ke sungai untuk ditangkap sehingga harus dijaga kebersihannya,” ujar Eli.

Eli juga menambahkan bahwa selama ritual tutup sasi, tetua adat bersama kewang membacakan pengumuman dan aturan adat sembari berkeliling kampung dengan menabuh alat musik adat tanda tutup sasi telah dimulai. Sementara saat Sasi sudah dibuka, masyarakat adat Haruku akan melakukan serangkaian ritual yang diawali dengan acara Panasasi dimana tetua adat kembali berkeliling kampung di untuk membaca aturan buka sasi dan membakar lobe atau daun kelapa kering semalam sebelum pembukaan Sasi.

Pembukaan sasi hanya dilaksanakan selama satu hari. Pada pagi hari, masyarakat yang datang akan membentangkan jaringnya di muara sungai yang disasi. Setelah jamuan pemanggilan ikan lompa dilakukan, mereka dipanggil untuk berkumpul di pesisir kali dan boleh mengambil ikan lompa setelah acara pembukaan oleh Bapa Raja selaku tetua adat maupun pendeta.

Tak hanya mengatur pengambilan hasil laut, sasi juga mengatur alat penangkap ikan yang boleh digunakan untuk mengambil ikan lompa. “Dalam menangkap ikan, ada aturan khusus untuk jenis mata jaring. Biasanya mata jaring yang seperti kelambu dilarang,” kata Eli.

Lebih lanjut, Eli mengungkapkan hasil panen setiap buka sasi dapat mencapai 40 ton ikan lompa. Hasil tangkapan tersebut juga dapat dinikmati oleh masyarakat di luar wilayah adat Haruku maupun para wisatawan yang berkunjung. “Ikan lompa ini milik bersama, namun hasil sasi dilarang dijual oleh masyarakat adat karena prinsipnya memperkuat ekonomi masyarakat adat Haruku.”

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement