Perbukitan Memukau
di Ekowisata Pemuteran, Bali
Dengan filosofi Nyegara-Gunung, pengelola ekowisata di Desa Pemuteran, Buleleng berharap dapat memanfaatkan sekaligus melestarikan perhutanan sosial di desa.
Penulis : Carolus Bregas Pranoto
Penulis : Carolus Bregas Pranoto
Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WITA. Sinar matahari pagi menyibak embun bekas hujan semalam sebelumnya (17/2). Pagi itu, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Sari Nadi, Nyoman Surya Armaya dan Sekretaris LPHD Sari Nadi Ketut Karya sudah berada di pinggiran jalan Singaraja-Gilimanuk, Bali. Surya dan Karya akan menemani Tim Katadata Green menyusuri hutan lindung di Pumuteran dan lokasi Air Terjun Ababi, di Kabupaten Buleleng, Bali.
Mobil Tim Katadata Green, Surya dan Karya meninggalkan penginapan dan menyusuri Jalan Singaraja-Gilimanuk yang membentang di sisi utara desa. Untuk mencapai hutan lindung harus menempuh beberapa pertanian hutan yang dikelola LPHD Sari Nadi.
Surya bercerita dahulu pengelolaan lahan hutan sempat mengalami sengketa dengan desa tetangga, Sumberkima. “Tapi itu dulu. Sekarang, kami sudah sepakat kelola bersama, termasuk untuk sumber air dari hutan,” katanya.
Selama berjalan menembus hutan untuk mencapai Air Terjun Ababi, Surya dan Karya juga menjelaskan satwa endemik yang ada di hutan Pemuteran. Sesekali, rombongan menepi untuk melihat tupai dan kera bergelayutan di atap hutan.
Sepanjang perjalanan Surya dan Karya juga bercerita tentang pohon-pohon lokal, seperti jambu dan mangga hutan, dan juga ababi, pohon yang menjadi nama air terjun. Pohon berbatang tebal, berakar pipih dan lebar ini banyak dijumpai sepanjang perjalanan.
“Orang tua saya bilang, dulu waktu beras dan jagung masih mahal dan sulit dicari, mereka masuk hutan dan mencari buah sebagai pengganti nasi,” ungkap Karya. Buah berukuran kecil dan berwarna hijau seperti beri ini masih bisa ditemukan tumbuh dari batang-batang pohon, tapi sudah tidak lagi menjadi sumber pangan.
Surya menjelaskan peran ekologis jambu dan mangga hutan. Jambu hutan ini bagus untuk mengikat air di tanah dan membuat lahan menjadi lebih subur.
“Mangga hutan juga bagus agar kera atau hewan hutan lainnya punya makanan. Jadi tidak merambah pertanian sekitar,” katanya. Selain dua tanaman ini, dia dan pengelola LPHD berusaha mendokumentasikan tanaman endemik lain yang akan dibudidayakan untuk menjaga keragaman hayati Pemuteran.
Sampai di kaki bukit, terlihat jelas Air Terjun Ababi. Semakin dekat ke lokasi, terdengar suara gemuruh air jatuh dari bebatuan tertinggi. Air beningnya mengucur deras menghujam bebatuan dan ceruk atau kolam di bawahnya tiada henti.
Air terjun ini terdiri dari dua tingkat bebatuan. Surya dan Karya mengajak Tim Katadata Green memanjat ke puncak bebatuan pertama dan duduk di tepi kolam terjun. Tidak ada begitu banyak tempat duduk di tepian kolam karena batuan licin dan curam. Sementara, Surya dan Karya memastikan semua bisa duduk di atas menikmati pemandangan tanpa jatuh ke kolam.
"Dulu pernah ada penyelam yang mencoba masuk ke dalam kolam. Katanya mungkin kedalaman kolam sekitar 11 meter," ujar Surya.
Di tepi bebatuan rendah, ada pura tua. Karya mengatakan, pura kecil tersebut menandakan pentingnya Air Terjun Ababi sebagai salah satu sumber mata air penduduk desa.
"Di Bali, tempat air dianggap suci. Jadi penduduk desa membangun pura sebagai bentuk penghormatan," katanya menjelaskan. Dari atas, Tim Katadata Green bisa melihat air mengalir pelan melalui sisi curam bebatuan, mengalir ke sungai kecil yang dimanfaatkan petani Pemuteran dan Sumber Kima.
Keesokannya (18/2), Surya memandu Tim Katadata Green menaiki Bukit Udeng-Udengan. Bukit ini berada di dalam wilayah kelola LPHD. Pintu masuknya tidak jauh dari jalan raya. Di puncak bukit ini terdapat Pura Ulun Jagat Kerta.
Kali ini, Tim ditemani Surya dan Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Ekowisata Pemuteran Kadek Sudana yang sudah menunggu di kaki bukit. Sekitar pukul 07.30 WITA, pendakian dimulai.
Menurut Sudana, bukit ini diberi nama Udeng-Udengan karena puncaknya menyerupai bentuk Udeng, pakaian kepala khas Bali. Masyarakat Pemuteran sudah lama menggunakan bukit ini untuk menggelar acara keagamaan Hindu bulanan.
Jalan ke puncak dilandasi anak tangga bersemen. Di beberapa tempat, jalan ini terputus dan dilapisi batuan sirtu sebagai pijakan. Jalan diapit oleh beberapa tanaman, seperti Jati Putih, Sengon, Intaran, dan Kelor. Sementara lantai bukit bertaburan ilalang hijau yang mengayun diterpa angin.
Sudana mengatakan, Bukit Udeng-Udengan sangat rentan kebakaran hutan. “Kalau kebakaran, pengurus LPHD, dan penduduk langsung menangani,” ujarnya saat mengingat kejadian pertengahan tahun lalu.
Kebakaran hutan mengancam permukiman dan juga pertanian hutan yang ada di dekat wilayah kelola. Sejauh ini, LPHD selalu berhasil memadamkan dan siaga mengawasi bukit dan hutan.
Dia dan Surya menunjukkan beberapa titik yang teduh dan rimbun oleh pohon Intaran sebagai tempat peristirahatan. “Di sini, kami mau buatkan semacam kedai kecil untuk pendaki. Nanti mereka akan disuguhkan minuman dan buah-buahan dari kebun tani hutan,” ujar Surya.
Di puncak bukit, pengunjung dimanjakan cakrawala sekitar Pemuteran. Deburan ombak Laut Bali menghantam pantai berpasir hitam di arah utara. Lalu perbukitan dan hutan hijau membentang di sisi selatan sampai ke kaki Gunung Merbuk di Kabupaten Jembrana.
Lanskap ini juga menjadi tempat tinggal bagi kidang atau kijang. “Di sisa musim panas begini, mereka tinggal di bukit-bukit sana,” ujar Sudana menunjuk bukit dekat kaki Gunung Merbuk, “baru kalau bukit sudah lebih hijau mereka turun ke sini lagi.“
Surya, Karya, Sudana, serta seluruh pengelola LPHD berharap kekayaan hutan dan bukit Pemuteran dapat memberikan manfaat dari hasilnya saja, melainkan juga keindahan alamnya juga melalui kegiatan ekowisata.
Sekilas Sejarah Hutan Pemuteran
Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng terletak di wilayah pantai utara Bali. Sebagaimana kebanyakan tempat, desa ini salah satu tujuan wisata yang menawarkan keindahan Laut Bali, seperti kegiatan penyelaman sekaligus konservasi terumbu karang. Namun, Pemuteran memiliki kekayaan yang tidak kalah menawan: hamparan bukit dan hutan alami.
Di sela deru motor yang menembus kebun hutan masyarakat, Surya mengisahkan sedikit sejarah Pemuteran.
“Dahulu, jalan ke arah Singaraja (ibukota Buleleng) belum ada. Masih tertutup bukit karang yang jadi Pura Pulaki di arah timur desa,” katanya. Kendaraan besar yang berjalan ke arah timur Pemuteran terhalang, sehingga tidak ada jalan lain selain berputar balik.
Situs Pemerintah Desa Pemuteran mengatakan hal senada, sekaligus mencatat penjelasan lain. Nama Pemuteran muncul dari keberadaan Pura Pemuteran yang merupakan bagian dari Pura Agung Pulaki.
Pada kesempatan lain, Surya mengisahkan sejarah permukiman Pemuteran dimulai sekitar tahun 1920-an. ”Orang Pemuteran aslinya berasal dari Karangasem. Kakek saya salah satu penduduk pertama desa,” kata Surya.
Pada masa yang sama, datang penduduk Madura dan Bugis, baik melalui migrasi sukarela maupun didatangkan pemerintah kolonial Belanda. Dia menambahkan, dahulu sempat ada perkebunan kapuk Belanda yang kemudian dikelola yayasan veteran Perang Kemerdekaan di desa itu. “Memang sejak dulu penduduk di Buleleng sudah beragam, termasuk di Pemuteran ini,” ujar Surya.
Migrasi ini mendorong pembukaan hutan untuk permukiman dan lahan pertanian. Penduduk Pemuteran dari dahulu hidup bergantung pada hutan. “Dahulu orangtua saya, Pak Sudana, Pak Karya, itu semuanya bertani, sama-sama memanfaatkan hasil hutan,” katanya.
Surya mengingat sampai sekitar tahun 1990-an, sebagian warga Pemuteran masih menebang kayu dari hutan untuk mendapatkan kayu bakar. “Zaman itu belum ada banyak kompor gas. Masih susah. Jadi orang selalu ke hutan membalak kayu,” kata dia mengenang.
Adapun, wilayah selatan Pemuteran merupakan hutan lindung. Melansir data 2020 dari situs Satu Data Indonesia Provinsi Bali, Kabupaten Buleleng merupakan provinsi dengan hutan lindung terbesar kedua di Bali, dengan luas 31.556,72 hektare (ha).
Sebagai perbandingan, total luas hutan produksi terbatas dan tetap Buleleng hanya mencapai 4.692,46 ha.
Dengan pembentukan LPHD Sari Nadi pada 2019, Surya merasa cara pandang pemanfaatan hutan juga harus beralih. “Dahulu memang kami dapat manfaat dengan menebang kayu. Sekarang, manfaatnya tetap kami dapatkan dari pertanian dan air, itu juga hasil dari melestarikan hutan,” kata Surya dengan antusias. Menurut dia, masyarakat menjadi lebih sadar untuk melestarikan hutan, terlebih sejak kejadian kebakaran hutan tahun lalu.
Petani hutan juga menyampaikan adanya manfaat dari perhutanan sosial yang dikelola LPHD. Selain itu, hutan juga sudah lama menjadi sumber pakan untuk peternak setempat. Ketua KUPS Wanabakti untuk usaha silvopastura atau wanagembala LPHD Sari Nadi Ketut Mertha menyampaikan, perhutanan sosial sudah lama dimanfaatkan peternak untuk mencari pakan ternak.
“Bukan hanya sekarang saja, sejak dulu kami sudah merasakan dampak dari adanya hutan sosial ini,” katanya pada Tim Katadata Green (18/2).
Meniti Ekowisata Nyegara-Gunung
Saat bercengkrama di salah satu tempat makan setempat, Sudana berkata sudah saatnya Pemuteran mulai mengembangkan potensi wisata dari hutan.
“Pemuteran ini sudah dari lama terkenal wisata lautnya. Tapi sekarang sudah waktunya hutan ini mulai dikembangkan juga,” kata Sudana bersemangat.
Baginya, Pemuteran, sebagaimana kawasan Buleleng pada umumnya, merupakan permukiman yang diapit oleh dataran tinggi dan laut dengan jarak pemisah tidak terlalu lebar. Bagi Sudana, Karya, dan Surya, bentang alam ini tergambar dalam filosofi nyegara-gunung.
Menurut mereka, filosofi Bali tersebut melihat adanya kesatuan antara laut (segara) dan gunung. Kehidupan di gunung serta perbukitan dan hutan di dalamnya bergantung pada kehidupan di laut dan sebaliknya.
“Kami mau bangun ekowisata dari filosofi ini. Ini sudah kami rundingkan dengan pengelola lainnya juga,” ujar Surya.
Menurut dia, KUPS ekowisata telah meresmikan rencana ini dalam rapat perdana pengurus pada Januari tahun ini.
KUPS ekowisata adalah kelompok paling terakhir dibentuk dan diresmikan dibandingkan KUPS lain di bawah naungan LPHD Sari Nadi. Saat ini, LPHD Sari Nadi menaungi tiga kelompok tani hutan (KTH), yakni Wana Bakti, Wana Kelor, dan Wana Lestari. Selain itu, ada juga lima KUPS yang fokus pada silvio pastur, budidaya tanaman Kelor, pengelolaan hutan, Lebah Madu, dan terakhir, ekowisata.
Pemantapan pengurusan ini terjadi setelah pengelola LPHD mengikuti lokakarya bertajuk “Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Ekowisata Berbasis Perhutanan Sosial,” yang digelar pada 29 November-1 December 2023 di Desa Pemuteran.
Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Yayasan Bicara Data Indonesia dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, serta sejumlah pakar di bidang perhutanan sosial dan ekowisata.
Dalam lokakarya ini, Surya menyampaikan LPHD memang belum mengisi kepengurusan karena belum begitu paham apa saja yang diperlukan untuk mengelola ekowisata. Namun, ide sudah ada banyak.
Di salah satu sesi Wakil I Dewan Kehutanan Nasional Nurka Cahyaningsih mengungkapkan, pemanfaatan hutan desa harus memperhatikan keseimbangan antara tiga hal, yaitu ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi.
“Pemanfaatan perhutanan sosial harus memberikan manfaat ekonomi bagi penggarap dan masyarakat sekitar, dan dilakukan sesuai kondisi sosial-budaya setempat. Tapi hutan dan lingkungannya juga harus dilestarikan,” ujarnya.
Berangkat dari prinsip ini, pengelola merancang beberapa langkah untuk merintis ekowisata yang diawali di Bukit Udeng-Udengan terlebih dahulu.
Beberapa rencananya, pembangunan gazebo di jalur pendakian bukit, menanam bunga dan tanaman endemik sepanjang jalur, serta pengembangan paket wisata.
Menurut Surya, gazebo akan dibangun dari limbah kayu di sekitar wilayah LPHD dan sesuai dengan gaya arsitektur tradisional Bali. Sarana ini akan menjadi tempat peristirahatan bagi pendaki untuk menikmati hasil hutan seperti jamu dan buah-buahan dari petani hutan Pemuteran.
“Pendaki bisa menikmati keindahan bukit sambil beristirahat, dijamu hasil petani dari hutan. Bisa juga nanti ke depannya, sambil kita tampilkan tari-tarian,” katanya menjelaskan.
Surya menambahkan, hamparan Bukit Udeng-Udengan akan lebih banyak ditanami tanaman yang tahan cuaca seperti Kamboja Bali dan Bougenville. Pengelola juga akan menanam tanaman lain seperti Intaran yang menjadi tanaman pelopor setelah kekeringan dan kebakaran hutan.
“Tanaman-tanaman ini nanti akan membuat jalan pendakian jadi lebih cantik dan teduh, sekaligus menjaga pertumbuhan tanaman lain di bukit ini,” ujarnya.
Bagi Surya dan pengelola ekowisata lainnya, rencana ini meyakinkan mereka untuk mewujudkan ekowisata nyegara-gunung di Pemuteran.
Koordinator | Fitria Nurhayati |
Editor | Padjar Iswara, Jeany Hartriani, Rezza Aji Pratama, Fitria Nurhayati |
Konten | Ardhia Annisa Putri, Carolus Bregas Pranoto, Fitria Nurhayati, Hanna Farah Vania, Muhammad Taufik Nandito |
Infografik | Ajeng Ayu Pertiwi, Andrey Rahman Tamatalo, Aris Luhur, Very Anggar Kusuma, Wahyu Risyanto, Zulfiq Ardi Nugroho |
Desain & Development | Firman Firdaus, Rizqi Rahmansyah, Daffa Ridho Alfarisi, Farizan Kazhimi |
Multimedia | Benny Chandra Gea, Danu Yusuf Anggara Rusli, Ezra Damaraputra, Febrian Ramadan, Giswa Miraj Patanrey, Gun Gun Gunawan, Muhammad Zaenuddin, Wahyu Dwi Jayanto |