Geoforest Watu Payung 

Keindahan Alam
Mengandung Banyak Cerita

Destinasi wisata yang dikelola kelompok tani Perhutanan Sosial, Geoforest Watu Payung menawarkan keindahan bentang alam disertai seni instalasi sarat makna.

trees on forest with sun rays

Penulis : Muhammad Taufik
22 Mei 2023

Penulis : Muhammad Taufik
22 Mei 2023

Perjalanan mencapai Geoforest Watu Payung pada Selasa (24/1), pukul delapan pagi, ditemani kabut yang masih menyelimuti hutan jati Dukuh Turunan. Jalanan tampak licin dan mengkilap, sebab hujan deras sudah mengguyur sejak malam sebelumnya.

Selama perjalanan di Dukuh Turunan, dari sela rimbun pohon jati di sisi jalan, pengunjung dapat melihat sungai yang mengalir di kaki bukit karst. Pemandangan kian semarak dengan adanya sawah tadah hujan di antara kaki-kaki pohon jati. 

brown metal fence near green trees during daytime

Gerbang masuk geoforest Watu Payung. (C. Bregas Pranoto/ Katadata)

Gerbang masuk geoforest Watu Payung. (C. Bregas Pranoto/ Katadata)

Lokasi Dukuh Turunan berada di Pegunungan Karst Sewu. Dukuh ini, secara administratif berada di bawah Kelurahan Girisuko, Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Wilayah Dukuh Turunan sebagian besar diliputi hutan jati yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi hutan lindung. Di tengah hutan jati, dukuh ini memiliki tiga destinasi wisata, salah satunya Geoforest Watu Payung. 

Perjalanan ke Geoforest Watu Payung dapat ditempuh menggunakan kendaraan bermotor dengan waktu tempuh kurang lebih 45 menit. Jarak tempat ini dari pusat Kota Yogyakarta sekitar 27 kilometer dengan melewati Kecamatan Imogiri, Bantul. 

Ketika sampai di Geoforest Watu Payung, pengunjung akan mendapati papan di atas gerbang bertuliskan ”Wisata Alam Watu Payung”. Sedangkan di sebelahnya, terdapat papan informasi seputar Geoforest Watu Payung. 

Salah satu informasi yang tertera di papan itu menjelaskan latar belakang pemberian status ”Geoforest” oleh UNESCO pada 2015. Alasannya, Watu Payung berada di kawasan Pegunungan Karst Sewu yang dinobatkan sebagai Global Geopark Network.

UNESCO juga menilai Watu Payung memiliki keanekaragaman geologi, hayati, dan budaya. Terlebih, ada banyak bekas plasma nutfah yang mengendap di Watu Payung. Dahulu tempat ini memang merupakan dasar laut yang terangkat usai mengalami erosi. 

Selepas memasuki gapura, pengunjung perlu berhati-hati karena jalan ke tengah lokasi cenderung berbelok-belok, sempit, dan cukup curam. Kendati demikian, jalan itu masih bisa dilalui kendaraan bermotor, termasuk mobil.

Setibanya di tengah lokasi, rasa lelah selama perjalanan akan terbayar tuntas. Pengunjung disambut udara sejuk dari rimbun pepohonan jati dan beragam kicau burung yang terbang lalu hinggap di atas ranting-ranting pohon. 

Asal Muasal Watu Payung

Di lokasi ekowisata ini pengunjung akan mendapati batu karang berukuran dua sampai tiga kali ukuran orang dewasa dengan bentuk menyerupai payung terbalik. Batu itulah yang oleh warga sekitar dinamai Watu Payung dan dianggap sebagai cikal bakal keberadaan Geoforest Watu Payung.

Ketua Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Desa Girisuko, Endarto mengatakan, batu tersebut telah lama dikeramatkan warga Dukuh Turunan. Batu ini dianggap memiliki cerita magis dan keterkaitan khusus dengan sejarah penyebaran Islam di pesisir selatan tanah Jawa.

”Batu ini istimewa karena berada di dalam lokasi geoforest yang diakui oleh UNESCO dan punya sejarah panjang yang lekat dengan tradisi dan sejarah penyebaran Islam di masa lampau,” ujar Endarto.

landscape photo of mountain island

Situs batu Watu Payung (C. Bregas Pranoto/ Katadata).

Situs batu Watu Payung (C. Bregas Pranoto/ Katadata).

Endarto menceritakan sejarah keberadaan Watu Payung dimulai dari perjalanan spiritual seorang pembesar dari Kerajaan Islam Demak bernama Raden Joko Omyang. Dikisahkan pada suatu masa, Raden Joko Omyang mencari tempat tetirah dan menyingkir dari pusat kerajaan Islam Demak.

Sebagaimana kebiasaan para pembesar kerajaan di masa lampau, ia melakukan perjalanan dari pesisir utara ke pesisir selatan tanah Jawa demi mencari tempat tenang untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Selain itu, ia sendiri sedang menjauhi ingar bingar pusat kerajaan yang dipenuhi intrik politik.

Sampai di suatu tempat di pesisir selatan tanah Jawa, Joko Omyang berhenti untuk mencari sumber air. Namun ia  hanya menemui bebatuan karang di tengah hutan lebat. Ia pun berdoa kepada Tuhan, meminta sumber air. 

Tidak lama kemudian, mengalirlah air dari batu karang yang menyerupai bentuk payung terbalik itu. “Sejarah Raden Joko Omyang ini dituturkan secara turun-temurun di masyarakat Dukuh Turunan,” ujar Endar.

Batu tersebut kini dirawat oleh Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan Sidomulyo III yang mengelola kawasan ekowisata Geoforest Watu Payung. Kelompok itu beranggapan bahwa batu karang tersebut menjadi simbol pemersatu dan kesejahteraan warga Dukuh Turunan. 

“Maka dari itu, apapun momennya, batu Watu Payung ini menjadi saksi sejarah dari kelompok tani dan warga Dukuh Turunan juga. Kami di sini tidak hanya melakukan konservasi dan membuka ekowisata, tetapi juga merawat batu ini sebagai simbol kesejahteraan,” ungkap Endar. 

Instalasi Seni di Bekas Terumbu Karang

Sementara itu, di balik batu Watu Payung terdapat sebuah pendopo. Bertolak dari pendopo, pengunjung dapat berjalan menyusuri bagian bawah Watu Payung. Namun, pengunjung perlu berhati-hati, sebab struktur tanah di situ menurun, keras, dan agak licin.

Pemandangan Sungai Oya dan Karst Gunung Sewu dari salah satu seni instalasi di Geoforest Watu Payung (C. Bregas Pranoto/ Katadata).

Pemandangan Sungai Oya dan Karst Gunung Sewu dari salah satu seni instalasi di Geoforest Watu Payung (C. Bregas Pranoto/ Katadata).

Di bagian bawah itu pula, terdapat seni instalasi yang tersebar di antara sela-sela pohon jati dan bebatuan. Seni instalasi tersebut merupakan karya sekelompok seniman dari Yogyakarta bernama Pandai Ruang pada 2019 silam.

Para seniman Pandai Ruang mengkonsep seni instalasi mereka dengan memadukan identitas Dukuh Turunan dan visi ekowisata berbasis konservasi dan budaya. Mereka juga melakukan riset selama beberapa bulan untuk mengolah sejarah, budaya, dan geografi di Watu Payung dan Dukuh Turunan.

Deretan seni instalasi itu oleh seniman Pandai Ruang dinamai Telek Oseng yang berarti hal yang dipandang sebelah mata, tetapi masih menyimpan beragam makna. Hal itu sejalan dengan visi pengelolaan ekowisata Watu Payung untuk menjadi tempat menepi dari riuh-rendah kebisingan dan kesibukan perkotaan.

a close-up of a ferris wheel

Salah seorang pengunjung bercengkrama dengan pengelola Geoforest Watu Payung (C. Bregas Pranoto/ Katadata).

Salah seorang pengunjung bercengkrama dengan pengelola Geoforest Watu Payung (C. Bregas Pranoto/ Katadata).

Beberapa karya seni ini terletak di sela pohon jati dan bentuknya menyerupai pohon. Pengunjung pun bisa melihat seakan karya-karya seni itu melebur dengan deretan pohon yang ada di sana.

Adapun, beberapa karya seni lainnya terdapat di dekat tebing Geoforest Watu Payung. Pendirian beberapa karya seni yang ada di dekat tebing dimaksudkan untuk memperluas sudut pandang pengunjung untuk menikmati lanskap Sungai Oya yang mengalir di kaki bukit karst. 

Salah seorang pengunjung dari Jakarta bernama David mengungkapkan, ia menyukai karya seni yang berada di dekat tebing. Sebab dari sudut ini, ia bisa menikmati keindahan bentang alam di Watu Payung secara utuh. Karena itulah ia ingin kembali lagi bila ada waktu di kemudian hari. 

”Di sini sepertinya yang saya tangkap konsepnya dibuat naturalis. Ini yang jarang kita jumpai di kota ya. Mungkin destinasi ini kurang terekspose, jadi perlu diangkat lagi supaya lebih terkenal,” ujar David kepada tim Katadata, Kamis (26/1). 

Potensi Pengembangan Watu Payung

Menurut Kepala Bagian Destinasi Pariwisata Gunungkidul, Aning Sri Mintarsih, destinasi wisata di lingkar Pegunungan Karst Sewu bisa memanfaatkan budaya sehari-hari untuk mempertegas ciri khas tempat mereka. Kebiasaan dalam bertani, memasak, atau merawat lingkungan adalah beberapa keunikan yang dimaksud. 

“Geoforest Watu Payung apalagi. Mereka ini sudah cukup berpengalaman dalam mengelola kawasan wisata, terlepas dari kendala-kendalanya. Prestasi juga sudah ada,” ujarnya kala ditemui tim Katadata di Kantor Dinas Pariwisata Gunung Kidul pada Rabu (23/01). 

Aning menyebut, salah satu ciri khas yang menonjol dari Geoforest Watu Payung itu sebenarnya ada pada budaya pertanian. Andil para petani dalam merawat lingkungan dan bertahan hidup di antara hutan jati dan pegunungan karst dapat dikemas menjadi cerita menarik bagi wisatawan. 

”Contohnya seperti cangkul mereka. Itu kan berbeda dengan yang lain karena lahan kawasan karst cenderung lebih keras. Kreativitas budaya itulah yang menghasilkan perbedaan alat-alat produksi yang ada di sana dari daerah-daerah lain,” ungkapnya. 

people running on dirt road during daytime

Anggota HKm Sidomulyo III menanam sereh wangi di area Geoforest Watu Payung. (Kelompok Tani HKm Sidomulyo III)

Anggota HKm Sidomulyo III menanam sereh wangi di area Geoforest Watu Payung. (Kelompok Tani HKm Sidomulyo III)

Endarto dan pengelola Geoforest Watu Payung lainnya menyadari keunikan ini. Namun demikian, aktivitas pertanian di Dukuh Turunan saat ini tersisa tinggal 10 persen saja. Oleh sebab itu, mereka memerlukan strategi lain untuk mengemas sisa-sisa budaya pertanian mereka.

”Jadi para pengelola yang petani tetap bisa bertani sekaligus membuka jasa lingkungan ekowisata. Karena kami berangkat sebagai petani, kami tidak akan meninggalkan pertanian begitu saja meski sudah beralih profesi,” ungkap Endarto.

Kawasan Geoforest Watu Payung termasuk wilayah Perhutanan Sosial. Kawasan ini dikelola HKm Sidomulyo III yang menerima SK untuk pengelolaan jasa lingkungan pada 2007 silam. “Peralihan dari hutan produksi ke hutan lindung ini menuntut penyesuaian bagi anggota kelompok. Ini adalah tantangan kita di HKm Sidomulyo III,” kata Endarto.  

TIM PRODUKSI

SUPPORTED BY