Geliat Desa Dabong Merintis Ekowisata

Pesona bentang hutan mangrove dan kehidupan bahari yang berbalut partisipasi masyarakat untuk membangun ekowisata.

kubu raya cover

Penulis : Muhammad Taufik

Penulis : Muhammad Taufik

Siang itu terik matahari menyengat begitu panas di Desa Dabong, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (28/1). Terlihat, rombongan delapan wisatawan asal Hong Kong baru turun dari kapal penumpang yang menepi di dermaga Desa Dabong.

Dari tempat bongkar muat kepiting bakau, tidak jauh dari dermaga desa, rombongan wisatawan asal Tiongkok Daratan saling bercakap-cakap sambil sesekali tertawa terbahak-bahak. Suasana desa pun terasa lebih riuh dari biasanya. 

Menurut Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Mulyadi, penduduk desa sebenarnya sudah akrab dengan suasana kedatangan wisatawan, apalagi sebelum pandemi. Pada masa itu, kunjungan wisatawan asing dan domestik bisa mencapai ratusan orang tiap akhir pekan. 

“Mereka biasanya menaiki kapal penumpang, lalu turun di sana. Tapi sekarang kondisinya terus menurun hingga saat ini,” kata Mulyadi saat ditemui Katadata Green di rumahnya tak jauh dari dermaga desa, (28/1). 

Pada awalnya, wisatawan asing datang ke Desa Dabong karena tertarik dengan keunikan ekosistem hutan mangrove yang melingkupi sekeliling desa. Para wisatawan berasal dari berbagai negara dan kawasan, mulai Asia Tenggara, Asia Timur, hingga Eropa. 

Passenger ship arrives at Dabong Village Pier

Kapal penumpang tiba di Dermaga Desa Dabong. (Katadata)

Kapal penumpang tiba di Dermaga Desa Dabong. (Katadata)

Sekretaris Pokdarwis Desa Dabong Aisyah Fitriyani berujar, seiring berjalannya waktu, tujuan kedatangan wisatawan asing mulai berbeda-beda. Wisatawan dari negara Asia Timur, seperti Hong Kong dan Tiongkok misalnya, datang untuk mempelajari pemanfaatan mangrove bagi kebutuhan hidup. 

Berbeda dengan wisatawan dari Inggris dan Italia. Wisatawan dari Benua Biru itu biasanya datang bersama kemitraan lokal maupun nasional. Tujuan mereka meneliti hamparan tanah gambut maupun menjadi donatur dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat. 

Dari Asia Timur biasanya datang bersama dosen dari Universitas Tanjungpura Pontianak (Untan). “Sementara dari Inggris biasanya mereka menjadi donatur bersama kelompok usaha mangrove konservasi di Desa Dabong,” ungkap Aisyah yang juga menjadi pegawai Pemerintahan Desa Dabong kepada Katadata Green, (27/2). 

Hutan mangrove di Desa Dabong memiliki beragam jenis bakau. Berdasarkan data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sampan Pontianak, ada empat jenis mangrove yang umum ditemui di sekitar desa, yakni bakau lumut, berembang, perepat, dan api-api. 

Beragam hewan laut dan satwa endemik juga bisa ditemukan di sekitar hutan mangrove Desa Dabong. Hasil tangkapan yang terkenal antara lain kepiting bakau dan ikan tirus. Sementara, satwa endemik Kalimantan yang bisa dijumpai antara lain monyet jenis bekantan yang kini termasuk hewan langka. 

The group of visitors arrived at Beteng Batang Beach

Rombongan pengunjung tiba di Pantai Beteng Batang menggunakan robin penduduk setempat. (Katadata)

Rombongan pengunjung tiba di Pantai Beteng Batang menggunakan robin penduduk setempat. (Katadata)

Pada sore sebelumnya (27/1), Mulyadi memandu Katadata Green ke Pantai Beteng Batang lewat jalur sungai yang membelah Desa Dabong. Perjalanan ini menggunakan robin–semacam perahu kecil– milik salah seorang penduduk yang biasa dipakai untuk menangkap kepiting bakau. 

Sepanjang menyusuri sungai, deretan pohon bakau mendominasi pemandangan. Terlihat juga sejumlah tambak kepiting bakau milik penduduk setempat di bahu sungai. Jelang tiba di pantai, terdengar suara bekantan sahut-menyahut. Seekor bekantan terlihat bergelantungan di pohon.

Hingga kini, ujar Mulyadi, perjalanan ke Pantai Beteng Batang masih harus melewati jalur sungai. Fasilitas pejalan kaki menuju pantai sebenarnya sudah ada sejak lima tahun lalu. Namun kondisinya saat ini terbengkalai karena berbagai faktor.

“Pertama, kualitas kayunya kurang baik. Kedua, kondisi semakin parah karena rayap sungai air asin yang terkenal ganas ikut melahap kayu tersebut,” kata Mulyadi.

Kisah Pendirian Ekowisata

Pendamping Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bentang Pesisir Dabong dari LSM Sampan Erlin, membawa Katadata Green menengok jalur jelajah mangrove itu. Lokasinya cukup strategis, berada tak jauh dari Balai Desa Dabong dan dermaga desa.

Erlin menuturkan, jalur ini terbentang sepanjang 1,2 kilometer. Dari titik berangkat, jalur itu dalam kondisi baik. Akan tetapi, usai melewati seratus meter, jalurnya rusak. Tak pelak, rute perjalanan menuju Pantai Beteng Batang akhirnya dialihkan lewat jalur sungai oleh Pokdarwis.

“Saat pandemi tidak ada perputaran uang yang dikelola oleh kelompok, sehingga tidak ada dana untuk merawatnya. Setelah seratus meter juga kayunya bukan kayu yang kuat,” kata Erlin yang setiap bulan pendampingan bisa 10-15 hari menginap di Desa Dabong, (28/1).

A visitor is among a row of trees in the Beteng Batang Beach

Seorang pengunjung berada di antara deretan pohon di kawasan Pantai Beteng Batang Ekowisata Desa Dabong. (Katadata)

Seorang pengunjung berada di antara deretan pohon di kawasan Pantai Beteng Batang Ekowisata Desa Dabong. (Katadata)

Hutan mangrove Desa Dabong termasuk ke dalam wilayah kelola LPHD Bentang Pesisir Dabong dengan skema Hutan Desa. Pada 2015, para punggawa LPHD berdiskusi untuk memanfaatkannya sebagai kawasan wisata. Dari situ tercetus ide membuat jalur jelajah mangrove dari desa hingga ke pantai.

Berbagai diskusi dan rapat dihelat untuk menentukan panjang jalur, material, hingga pendanaan. Bank Pesona sepakat menggelontorkan dana sebesar Rp50 juta untuk LPHD. Punggawa LPHD pun dapat membangun jelajah mangrove dengan kayu ulin sepanjang 100 meter.

“Kami memakai kayu ulin karena tidak mudah lapuk dan tahan dari berbagai faktor lingkungan seperti perubahan suhu dan cuaca,” kata pria yang akrab disapa Yanto ini.

Alokasi dana di tahap pertama pembangunan telah tandas. Melalui berbagai usaha, LPHD berhasil memperoleh Alokasi Dana Desa (ADD) dari Pemerintah Desa Dabong untuk melanjutkan pembangunan jalur. Hanya saja, material yang dipakai bukan lagi kayu ulin, melainkan kayu golongan tiga.

Mangrove forest in Dabong Village

Hamparan hutan mangrove di Desa Dabong. (Katadata)

Hamparan hutan mangrove di Desa Dabong. (Katadata)

Di tengah pembangunan, pengunjung mulai berdatangan. LPHD pun memutuskan ekowisata jelajah mangrove masuk ke dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) pada 2017. Tujuannya terkait dengan salah satu visi Perhutanan Sosial, yakni melestarikan hutan melalui jasa lingkungan.

Setahun kemudian, pembangunan jalur jelajah mangrove sepanjang sejauh 1,2 kilometer berhasil diselesaikan. Pada Desember 2019, kawasan ini diresmikan dengan nama Ekowisata mangrove Beteng Batang Dabong. Agar memudahkan, pengunjung biasa menyebutnya dengan nama Ekowisata Dabong.

Pokdarwis Desa Dabong resmi menjadi pengelola Ekowisata mangrove Beteng Batang. Sementara, LPHD berperan sebagai penasihat dalam pengelolaan ekowisata. Kendati berbeda kelembagaan, sebagian pengurus LPHD juga ikut andil dalam kepengurusan Pokdarwis Desa Dabong.

“Karena yang punya dana untuk membangun 1,1 kilometer trek itu pemerintah desa, maka pengelolaan dilakukan oleh pemerintah desa dan pokdarwis,” kata Yanto,” mengingat Hutan Desa di wilayah kelola Pokdarwis, kami menekankan agar pengelolaan dan pembangunan tidak merusak dan mengubah alam.”

 

Partisipasi Masyarakat

Bagi Yanto, aktivitas bahari begitu dominan dalam kehidupan penduduk Desa Dabong. Sebab, kebanyakan penduduk Desa Dabong menggantungkan pendapatan dari hasil laut. Mereka terdiri atas nelayan, petambak, sekaligus pedagang.

Menurut Yanto, mengelola ekowisata ibarat menanamkan pola pikir baru. Setidaknya partisipasi penduduk desa telah meningkat pada proses pendiriannya.

“Lihat saja susunan Pokdarwis itu diambil dari banyak latar belakang, dari pedagang, pegawai pemerintahan desa, kepala dusun, sampai anggota LPHD," ungkap dia.

Villagers are looking for kepah at Beteng Batang Beach

Penduduk desa sedang mencari kepah di Pantai Beteng Batang. (Katadata)

Penduduk desa sedang mencari kepah di Pantai Beteng Batang. (Katadata)

Partisipasi penduduk Desa Dabong merupakan cerminan modal sosial khas perdesaan pesisir, saling bahu-membahu dalam agenda pembangunan. Keterbatasan fasilitas di desa biasa diatasi dengan kerja kolektif. Ini terlihat saat pemulihan aktivitas ekowisata dilakukan Pokdarwis usai pandemi.

Mulyadi menjadi saksi kerja kolektif itu. Belakangan, ia dapat mengajak sejumlah nelayan menyediakan robinnya ketika jalur jelajah mangrove masih rusak. Bahkan, berkat komunikasi yang terjalin, kini salah seorang warga tak ragu menjadikan rumahnya sebagai penginapan untuk para wisatawan.

Sementara, tak jarang local champion atau penduduk desa terlibat dalam program pendampingan dari pihak luar. Program itu berupa pengolahan potensi sumber daya alam di sekitar desa sebagai sumber pendapatan penunjang ekowisata. Misalnya seperti pembuatan kerajinan tangan dan makanan olahan dari hasil bakau.

“Kami belajar dari pendampingan oleh Yayasan Katadata juga, terutama dalam membuat paket wisata. Ini kan membutuhkan sinergi dari berbagai pihak. Terpenting mereka mau belajar,” kata dia.

Partisipasi masyarakat menjadi aspek penting dalam membangun ekowisata. Hal ini dibahas dalam kegiatan lokakarya bertajuk, “Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Ekowisata Berbasis Perhutanan Sosial” yang digelar pada 31 Oktober-2 November 2023 di Desa Dabong.

One of the sessions at the Indonesian Data Talk Foundation Workshop

Salah satu sesi pada Lokakarya Yayasan Bicara Data Indonesia 31 Oktober- 2 November 2023 di Desa Dabong. (Katadata)

Salah satu sesi pada Lokakarya Yayasan Bicara Data Indonesia 31 Oktober- 2 November 2023 di Desa Dabong. (Katadata)

Acara ini dihelat oleh Yayasan Bicara Data Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sejumlah ahli di bidang kehutanan dan ekowisata menjadi fasilitator dalam acara ini.

Pada salah satu sesi, pakar ekowisata Tri Sulihanto mengungkapkan, kunci pengembangan ekowisata terletak pada kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Adapun, peningkatan kapasitas terkait dengan kemampuan menggali potensi lokal menjadi cerita kepada para pengunjung.

“Ekowisata jualan utamanya cerita dan edukasi. Ini harus terus digali. Maka kita bersama-sama harus terus belajar bertukar ide dan referensi," kata pria yang akrab disapa Aan ini, (27/1).

Ekowisata Dabong juga perlu mempertegas ciri khas terhadap kompetitor dengan bentang alam serupa. Kesempatan itu bisa diperoleh dari kompetisi yang diadakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yakni Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI)

Menurut Tri, kompetisi bukan hanya untuk mencari ekowisata tertentu yang terbaik, tetapi lebih ke arah capacity building. “Lebih merupakan sarana belajar dari desa lainnya,” ungkap pria yang berkecimpung di komunitas Malang Travelista ini.

 

Kerja Sama untuk Pengembangan

A mud crab pond owned by local residents

Sebuah tambak kepiting bakau milik penduduk setempat. (Katadata)

Sebuah tambak kepiting bakau milik penduduk setempat. (Katadata)

Kerja sama dan perencanaan juga dijajaki ke tiap instansi. Kepala Dinas Pemuda Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat Rini Kurnia Solihat mengatakan, Disporapar sedang mempersiapkan sejumlah desa untuk berpartisipasi di kompetisi ADWI 2024. Salah satunya Ekowisata Dabong.

Disporapar akan memperkuat SDM lewat berbagai workshop di sejumlah lokasi. Termasuk meremajakan pengurus Pokdarwis. “Semoga juga dengan ini akan ada pembaruan, seperti misal pembentukan paket wisata,” ungkap Rini ketika diwawancarai Katadata Green di kantornya, (25/1).

Kepala Bidang Rehabilitasi dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalimantan Barat Setiyo Haryani menyebut, LPHD Bentang Pesisir Desa Dabong sempat mendapat bantuan dari Badan Layanan Umum yang dikelola oleh DLHK Kalimantan Barat. Bantuan diberikan untuk pengembangan agroforestri, seperti madu dan kepiting.

“Ini karena budidaya di Desa Dabong memiliki keunikan. Itu bisa dimanfaatkan sebagai potensi wisata juga sebenarnya,” kata Haryani, (25/1).

Pemerintah Desa Dabong juga ikut mendorong pengembangan ekowisata. Kepala Desa Dabong Bustami menuturkan, sejumlah kegiatan LPHD di sekitar Hutan Desa bisa dimanfaatkan sebagai atraksi wisata. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa bekerja sama di sisi pemberdayaan dan bisnisnya di masa depan.

“Tetapi saat ini Dana Desa masih diprioritaskan untuk infrastruktur dan pemberdayaan. Nanti kami lihat bagaimana perkembangannya,” kata Bustami, (27/1).

Yanto mengungkapkan aset-aset milik LPHD yang ada di sekitar hutan mangrove memang bisa dimanfaatkan sebagai atraksi wisata. Perjalanan menuju tambak dengan robin juga dapat dijadikan daya tarik utama, termasuk kegiatan menangkap kepiting di tambak secara langsung.

“Bila ingin bersantai sejenak bisa juga minum kelapa muda, tak jauh dari lokasi tambak. Selain itu, tanaman-tanaman yang ada di tambak ini juga bisa menjadi pengetahuan baru bagi pengunjung,” ujar Yanto.

Visitors are showing off their catch of mud crabs

Pengunjung sedang menunjukkan hasil tangkapan kepiting bakau di sebuah tambak milik penduduk. (Katadata)

Pengunjung sedang menunjukkan hasil tangkapan kepiting bakau di sebuah tambak milik penduduk. (Katadata)

Saat ini, menurut Mulyadi, anggotanya sedang mempersiapkan paket wisata. Skema bagi hasil dengan LPHD juga telah disepakati bersama. Infrastruktur penunjang wisata memang belum bisa diperbaiki dalam waktu dekat. Namun, paket wisata ini memanfaatkan fasilitas yang sudah ada dengan sedikit perbaikan.

“Objek wisata akan kami perluas, seperti menangkap kepiting dengan patokan harga tiket masuk. Ada pula homestay yang sudah bisa digunakan,” ujar Mulyani seraya menambahkan,”Robin nelayan sekitar juga bisa dimanfaatkan di saat jalur mangrove belum diperbaiki.”

TIM PRODUKSI

SUPPORTED BY