Semangat Kebangkitan Siti Sundari,
Wisata Alam di Tepi Gunung Semeru

Ekowisata Siti Sundari menjadi salah satu destinasi berbasis alam andalan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kini, para pengelola sedang berjuang membangun kembali wisatanya.

waterfall near trees at daytime timelapse photo

Penulis : Ardhia Annisa Putri & Hanna Farah Vania

Penulis : Ardhia Annisa Putri & Hanna Farah Vania

Lumajang punya keindahan alam tersembunyi dari pegunungan hingga pantai. Kabupaten di Jawa Timur ini mengemas keindahan alam tersebut dalam sebuah paket wisata lengkap yang menarik bagi pengunjungnya.

Salah satunya Wanawisata Siti Sundari di Dusun Karanganyar, Desa Burno, Kecamatan Senduro yang menawarkan wisata berbasis alam dengan hamparan pohon damar. 

Tim Katadata Green berkesempatan mengunjungi lokasi ekowisata ini pada Rabu (24/1/24). Menuju Siti Sundari, Tim menyusuri Jalan Ranupani yang berliku-liku melewati perkampungan dan warga yang sedang beraktivitas. Sepanjang perjalanan, deretan pepohonan hijau, seperti pohon damar, jati putih, sonokeling, dan pakis memanjakan mata pengunjung yang melewati jalur tersebut. 

Untuk menuju ke sana, ada beberapa rute yang bisa diakses. Rute pertama, dari Malang melewati Probolinggo dengan jarak 158 kilometer (km) selama 4 jam. Kedua, dari Malang menyusuri lereng Gunung Semeru dengan jarak 66,6 km selama 2 jam. 

Ketiga dari Kota Surabaya dengan jarak 151 km selama 3-4 jam perjalanan. Sementara dari pusat kota Lumajang, Wanawisata Siti Sundari dapat diakses 35 menit dengan jarak 25 km. 

Hamparan pepohonan menemani perjalanan menuju Wanawisata Siti Sundari. (Katadata)

Hamparan pepohonan menemani perjalanan menuju Wanawisata Siti Sundari. (Katadata)

Menurut Edi Santoso, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wono Lestari periode 2017-2021 sekaligus Perintis Wanawisata Siti Sundari, sebelum pandemi Covid-19 melanda, selain pemandangan alam, Wanawisata Siti Sundari juga menyediakan wisata edukasi. Taman bunga misalnya, didesain untuk memberikan pengetahuan tentang lingkungan alam dan keanekaragaman hayati kepada pengunjung.

Bagi yang ingin mencoba atau menikmati suasana alam, Siti Sundari juga memiliki area perkemahan yang nyaman. Pengunjung dapat merasakan kebersamaan dengan alam sambil berkumpul di sekitar api unggun sehingga menjadikan pengalaman berkemah semakin berkesan.

Wanawisata Siti Sundari menghidupkan perekonomian lokal dengan adanya warung-warung milik warga yang menjajakan kopi, susu, dan bermacam-macam makanan.

Taman bunga di Wanawisata Siti Sundari sebagai salah satu area yang ada di paket wisata edukasi. (Katadata)

Taman bunga di Wanawisata Siti Sundari sebagai salah satu area yang ada di paket wisata edukasi. (Katadata)

Dahulu pengunjung yang datang ke Siti Sundari sangat ramai. Namun, Pandemi Covid-19 yang mewabah pada 2020 di Tanah Air mengubah ekowisata Siti Sundari. Pandemi membuat Siti Sundari menjadi sepi.

“Padahal sebelum pandemi, saat libur tiba, sehari bisa mencapai 3.000 pengunjung,” ujar Edi mengenang masa jaya Wanawisata Siti Sundari.

Tim Katadata Green bertemu dengan salah satu pengunjung, Ilham. Ia bercerita sering mengunjungi Wanawisata Siti Sundari untuk melepas penat, terutama pada akhir pekan. Sebelum pandemi Covid-19, kata dia, Siti Sundari menjadi primadona wisatawan lokal karena letaknya yang tidak jauh dari pusat kota.

people riding on boat

Deretan warung milik warga sekitar di Wanawisata Siti Sundari. (Katadata)

Deretan warung milik warga sekitar di Wanawisata Siti Sundari. (Katadata)

Ikhtiar Menghidupkan Kembali

Kini, pasca pandemi, kendati pengunjung tidak sebanyak dahulu, semangat penduduk Desa Burno tidak meredup. Mereka yakin wisata berbasis alam masih menjanjikan.

Edi menceritakan awal mula Wanawisata Siti Sundari terbentuk. “Latar belakang kami sebetulnya ingin membangun ekowisata edukasi dan mengangkat kearifan lokal,” katanya.

Dari keinginan itu, kemudian terbentuk pengelolaan kelompok dan LMDH Wono Lestari mendapat izin Perhutanan Sosial pada 2017. Edi optimistis bahwa wisata berbasis masyarakat yang dirintisnya akan terus berkembang.

Wanawisata Siti Sundari memberikan kesan nyaman dan tentram bagi pengunjung. (Katadata)

Wanawisata Siti Sundari memberikan kesan nyaman dan tentram bagi pengunjung. (Katadata)

Desa Burno juga kaya dengan wisata kulinernya. Masyarakat setempat terbiasa memakan berbagai jenis nasi, seperti nasi singkong dan nasi empok atau nasi yang digabungkan dengan jagung giling sehingga teksturnya sangat halus.

Warga setempat biasanya makan nasi campur lauk khas seperti jangan lombok atau masakan berkuah santan. Makanan ini bahan dasarnya cabai besar yang dimasak dengan ikan asin atau ikan tongkol. Tidak hanya itu, mereka juga memiliki tumis jantung pisang, tumis pakis, dan krecek bung atau krecek dari rebung.

Sesuai julukannya sebagai ‘Kampung Susu’, Burno merupakan desa penghasil susu sapi dan kambing. Salah satu pengelola ekowisata, Hariyanto atau biasa dipanggil Hari mengatakan, kuliner-kuliner andalan Desa Burno akan ditawarkan dalam pengelolaan ekowisata.

“Kuliner daya tarik paling besar buat pengunjung untuk datang lagi ke wisata yang kami tawarkan,” kata Hari,”Jadi kami mencoba untuk mengembangkan ini ke depannya.”

Keanekaragaman kuliner di Desa Burno. (Katadata)

Keanekaragaman kuliner di Desa Burno. (Katadata)

Dengan lokasinya berada di kaki gunung, Hari mengatakan bahwa Wanawisata Siti Sundari sempat menawarkan wisata petualangan. Beberapa di antaranya, seperti outbound, motor trail, wisata off-road, dan sepeda kayu. 

Tidak hanya wisata kuliner dan petualangan, masyarakat setempat menyadari unsur edukasi dalam pengembangan ekowisata. Wanawisata Siti Sundari juga tempat yang tepat untuk wisata edukasi. 

Siti Sundari dapat dijadikan wisata edukasi, seperti jelajah hutan dan pengenalan flora fauna di kawasan Gunung Semeru. Tidak hanya itu, pengelola akan mengembangkan wisata edukasi peternakan sapi dan kambing dengan memanfaatkan kandang masyarakat setempat. 

Harapannya, kata dia, upaya pengembangan berbagai potensi wisata tersebut bisa ikut memberdayakan masyarakat Desa Burno. “Pelan-pelan mengubah pola pikir mereka dari hanya sebagai peternak, nantinya bisa juga menjadi pengelola wisata alam,” kata Hari. 

Salah satu peternakan sapi milik warga yang dapat dikunjungi oleh wisatawan Wanawisata Siti Sundari. (Katadata)

Salah satu peternakan sapi milik warga yang dapat dikunjungi oleh wisatawan Wanawisata Siti Sundari. (Katadata)

Desa Burno juga terkenal akan keunikan batiknya. Namanya Batik Damaran. Pengelola berupaya mengkolaborasikan batik dengan ekowisata. 

Tidak sampai di situ, Desa Burno memiliki sejumlah industri rumahan, seperti olahan pisang berupa keripik dan sale. Olahan pisang ini biasa dikirim ke pusat kota Lumajang atau beberapa daerah lainnya, seperti Surabaya dan Malang. Masyarakat setempat bahkan bercerita, Ibu Negara Presiden ke-6 Ani Yudhoyono pernah membeli keripik pisang ini untuk menjamu tamu dari luar negeri. 

Ke depannya, potensi-potensi yang ada akan diintegrasikan ke dalam paket wisata. Paket yang ditawarkan tentu saja termasuk jelajah alam di sekitar Siti Sundari serta air terjun dan taman bunga. 

Pengelola Wanawisata Siti Sundari telah menyiapkan jalur khusus untuk motor trail. (Katadata)

Pengelola Wanawisata Siti Sundari telah menyiapkan jalur khusus untuk motor trail. (Katadata)

Dukungan Pemangku Kepentingan

Melihat besarnya potensi yang dimiliki Wanawisata Siti Sundari, sejumlah pemangku kepentingan turut mendorong pengembangannya. Misalnya, Yayasan Bicara Data Indonesia (YBDI) yang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Ketiganya menyelenggarakan kegiatan lokakarya bersama Katadata Green pada 17-19 Oktober 2023 lalu. Lokakarya diisi oleh ahli perhutanan sosial dan ahli ekowisata. Salah satunya Pendiri Eksotikadesa Panji Kusumah. 

Panji Kusumah, salah satu pemateri lokakarya sedang menjelaskan pentingnya mengembangkan potensi untuk ekowisata. (Katadata)

Panji Kusumah, salah satu pemateri lokakarya sedang menjelaskan pentingnya mengembangkan potensi untuk ekowisata. (Katadata)

Menurut dia, banyak potensi alam tersembunyi yang masih belum dikembangkan dan bisa menjadi daya tarik wisata. Tidak hanya keindahan alam, Panji melihat potensi budaya, hasil hutan, serta ternak sapi bisa dikemas menjadi paket wisata. 

“Di sana ada batik dengan motif yang bercerita tentang alam dan ekosistemnya, itu bisa menjadi daya tarik tersendiri,” katanya kepada tim Katadata Green, Jumat (16/2). 

Batik juga tidak hanya bisa dijual, melainkan bisa menjadi paket wisata edukasi. Tidak hanya itu, dengan banyaknya hasil olahan pangan di Desa Burno, Panji melihat itu sebagai peluang masyarakat memperkenalkan budayanya. 

Rahayu Ningsih, pengrajin batik tulis sedang menjelaskan motif batik yang menggambarkan kehidupan desa di sekitar Gunung Semeru dan Bromo. (Katadata)

Rahayu Ningsih, pengrajin batik tulis sedang menjelaskan motif batik yang menggambarkan kehidupan desa di sekitar Gunung Semeru dan Bromo. (Katadata)

“Selain berbagai menu makanan dan minuman, wisatawan bisa ditawarkan cooking class di dapur yang khas desa, hingga ke penyajian yang menggugah selera,” ujar Panji. 

Tidak kalah menarik, budaya ternak sapi juga bisa menjadi wisata edukasi untuk diperkenalkan kepada anak-anak. Menurut Panji, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pengelola. 

Pertama, pengelola perlu mematangkan konsep ekowisatanya dengan memetakan zonasi berbasis tema. Kedua, membuat produk jasa dan barang sebagai hasil olahan dari zona-zona tersebut. 

Ketiga, mendokumentasikan berbagai potensi yang akan dikembangkan untuk keperluan penyusunan buku panduan dan sebagai bahan promosi di media sosial. Terakhir, tidak lupa untuk berjejaring dan merancang berbagai pelatihan teknis untuk penguatan kapasitas sumber daya manusianya.

“Harapannya, semoga Wanawisata Siti Sundari menjelma menjadi perkampungan ekowisata yang unik dan semakin kuat daya tarik wisatanya,” kata Panji.

Keripik dan sale pisang yang dapat dijadikan buah tangan. (Katadata)

Keripik dan sale pisang yang dapat dijadikan buah tangan. (Katadata)

Pemerintah Kabupaten Lumajang pun melihat ini sebagai potensi. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lumajang Yuli Harismawati mengatakan, pemerintah kabupaten akan mendorong pembangunan area terintegrasi atau Integrated Area Development (IAD). 

IAD adalah pengembangan wilayah terpadu berbasis perhutanan sosial. Pengembangan IAD di Lumajang sebetulnya dimulai dari perluasan pengelolaan Perhutanan sosial oleh LMDH Wono Lestari. 

“Lokasi IAD ini sangat strategis karena kami menyatukan seluruh potensi wisata alam yang berada di dekat Gunung Semeru,” kata Yuli kepada tim Katadata Green, Selasa (23/1). 

Saat ini, IAD di Lumajang sudah meliputi lima desa di dua kecamatan dengan total luasan mencapai 4.189 hektare (ha). Namun, Yuli mengatakan, pengembangan IAD di Desa Burno justru masih menjadi tantangan. 

Wanawisata Siti Sundari berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk Desa Burno. (Katadata)

Wanawisata Siti Sundari berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk Desa Burno. (Katadata)

Saat ini, Perhutanan Sosial di Desa Burno sedang berada dalam proses perubahan status menjadi Kelompok Tani Hutan (KTH). Alhasil, para pengelola ekowisata pun masih menunggu kepastian status untuk mengembangkan wisata. 

“Saya harap proses ini bisa cepat selesai, agar masyarakat bisa semakin semangat mengembangkan wisata berbasis alam di desanya,” kata Yuli. 

Menurut Yuli, semangat masyarakat setempat tidak pernah pudar. Pemerintah Kabupaten Lumajang juga terus memberikan berbagai dukungan seperti peningkatan kapasitas dalam bentuk lokakarya dan membantu masyarakat mendapat kepastian hukum terkait kelembagaannya. 

Semua harapan dan upaya berbagai pihak pun selaras dengan semangat masyarakat. Wanawisata Siti Sundari akan terus menawarkan wisata berbasis alam di tengah perjuangannya bangkit dan memperkuat kelembagaannya. 

TIM PRODUKSI

SUPPORTED BY